A. Pendahuluan
Dalam
Hukum Acara Perdata dikenal beberapa alat bukti yang dipakai pedoman oleh
seorang hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Dalam memandang sebuah
alat bukti, seorang hakim tidak dapat begitu saja menerima sebagai alat bukti
yang mampu dipakai pedoman untuk mengambil keputusan, namun seorang hakim harus
bisa menimbang serta memilah dan memilih apakah bukti yang diserahkan oleh
pihak yang bersengketa terhadap sang hakim bisa dijadikan sebagai pedoman
memutuskan persengketaan tersebut.
Dalam kesempatan kali ini penulis dengan sengaja
mencoba membahas atau sedikit menjabarkan tentang Surat sebagai alat bukti
sempurna bagi hakim untuk pedoman pengambilan sebuah keputusan dalam sebuah
persengketaan.
B. Rumusan Masalah
- Pengertian surat / akta sebagai salah satu alat bukti.
- Siapakah pihak yang berwenang untuk membuat.
- Macam-macam surat / akta.
- Status surat sebagai alat bukti
C. Tujuan Pembahasan
- Mengetahui pengertian surat.
- Mengetahui pihak yang berwenang untuk membuat.
- Mengetahui macam-macam surat.
- Mengetahui status surat sebagai alat bukti.
D. Pembahasan
Sebagaimana
sudah diketahui, bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan alat bukti yang
paling utama, karena dalam lalu-lintas keperdataan seringkali orang dengan
sengaja menyediakan suatu bukti yang dimungkinkan timbul permasalahan dalam hal
ini perselisihan / persengketaan dan lazimnya bukti yang disediakan berupa
tulisan.
Dari bukti-bukti tulisan itu ada segolongan yang
sangat berharga untuk pembuktian, yaitu dinamakan “akta”. Apakah yang disebut
akta itu ? Suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, sehingga
unsur-unsur yang penting dalam sebuah akta ialah kesengajaan untuk menciptakan
suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Syarat penandatangan
terdapat pada pasal 1 Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah
tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat
perjanjian jual-beli adalah suatu akta, demikian juga surat sewa-menyewa,
bahkan sepucuk kwitansi, karena ia dibuat sebagai bukti dari pelunasan suatu
utang dan ditandatangani oleh si piutang.
Dalam Hukum Acara Perdata mengenal 3 macam surat, yaitu :
- Akta otentik
- Akta di bawah tangan
- Surat biasa
- Akta Otentik
Dalam
pasal 165 H.I.R. atau pasal 285 R.B.G. memuat definisi apa yang dimaksud dengan
Akta Otentik, yang berbunyi sebagai berikut :
“Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya”.
Di atas tertera bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai pejabat umum yang berwenang membuatnya. Akta otentik yang dibuat “oleh” misalnya adalah surat panggilan Juru Sita, Surat Putusan Hakim, sedangkan Akta Perkawinan dibuat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan surat perjanjian dibuat di hadapan Notaris. Pegawai umum yang dimaksud yaitu Notaris, Hakim, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil, dan sebagainya
“Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya”.
Di atas tertera bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan pegawai pejabat umum yang berwenang membuatnya. Akta otentik yang dibuat “oleh” misalnya adalah surat panggilan Juru Sita, Surat Putusan Hakim, sedangkan Akta Perkawinan dibuat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan surat perjanjian dibuat di hadapan Notaris. Pegawai umum yang dimaksud yaitu Notaris, Hakim, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil, dan sebagainya
Menurut pasal 165 H.I.R., ada 2 macam akta otentik,
yaitu suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat di hadapan pegawai umum yang
ditunjuk oleh undang-undang itu, seperti apabila seorang notaris membuat suatu
verslag atau laporan mengenai suatu rapat, yang dalam rapat tersebut dihadiri
oleh para pemegang sero dari sebuah perseroan terbatas, maka yang demikian
inilah (proses verbal) dikatakan suatu akta otentik yang telah dibuat oleh
notaris tersebut. Begitu pula proses verbal yang dibuat oleh seorang Juru Sita
Pengadilan tentang pemanggilan seorang tergugat atau seorang saksi merupakan
akta yang dibuat oleh Juru Sita tadi. Akta-akta seperti itu sebenaranya
merupakan suatu laporan (relas) tentang suatu perbuatan resmi yang telah
dilakukan oleh pegawai umum tersebut.
Apabila dua orang datang kepada seorang notaris,
menerangkan bahwa mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misal : jual-beli
atau sewa-menyewa) dan kedua orang itu meminta kepada notaris agar mengenai
perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta, maka akta ini adalah suatu akta yang
dibuat di hadapan notaris itu. Notaris hanya mendengarkan apa yang dikehendaki
oleh kedua belah pihak yang menghadap itu dan meletakkan perjanjian yang dibuat
oleh 2 orang tadi dalam suatu akta.
Menurut pasal 165 H.I.R. (pasal 285 R.B.G.), suatu
akta otentik merupakan suatu bukti sempurna tentang apa yang tertera di
dalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti apa yang
ditulis dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai
yang benar, selama kebenarannya tidak dibuktikan. Dan memberikan suatu bukti
sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan
pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang “mengikat” dan “sempurna”.
Selain itu akta otentik itu tidak hanya membuktikan, bahwa para pihak sudah
menerangkan apa yang dituliskan di dalamnya, tetapi juga bahwa apa yang
diterangkan tadi adalah benar.
Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yakni :
Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yakni :
- Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
- Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan antara para pihak yang bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di dalam akta itu telah tejadi.
- Kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Oleh karena menyangkut
pihak ketiga, maka disebutkan bahwa kata otentik mempunyai kekuatan pembuktian
keluar (orang luar).
Akta otentik mempunyai kedudukan sebagai alat bukti sempurna atau bebas, alasannya :
Akta otentik mempunyai kedudukan sebagai alat bukti sempurna atau bebas, alasannya :
- Apa yang disebut dalam surat sebagai pemberitaan resmi.
- Apa yang dimuat dalam surat berhubungan langsung dengan pokok persoalannya.
- Apa yang dimuat dalam surat adalah keterangan resmi dari pejabat yang berwenang sehingga dapat dijamin kebenarannya.
- Kekuatan bukti atau surat berlaku bagi setiap orang dan tidak hanya mereka yang menghadap pejabat umum saja.
- Akta Di Bawah Tangan
Pengertian akta di bawah tangan : Surat yang
ditandatangani, dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti, tanpa
perantara pejabat umum.
Mengenai akta di bawah tangan perihal kekuatan
pembuktian harus diperhatikan dengan seksama peraturan yang terdapat dalam
Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat “Ketentuan-ketentuan
tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari
orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka”. Yang dimaksud
dengan tulisan dalam Ordonansi adalah akta.
Pasal 2 Ordonansi tersebut menentukan : “Barang siapa
yang terhadap-nya diajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara
tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya
atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya, cukuplah jika mereka menerangkan
tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan
orang yang mereka wakili”.
Guna memperkuat akta di bawah tangan diperlukan
pengakuan di muka hakim yang berbunyi :
Tanda tangan ini adalah betul tanda
tangan saya dan isi tulisan itu adalah benar.
Alat bukti ini walaupun dianggap sempurna namun masih
dapat dilumpuhkan dengan bukti perlawanan (tigra
bewijs), yaitu pembuktian bahwa hal yang sebaliknya adalah benar.
Bukti perlawanan dapat dilakukan dengan :
- Bukti tulisan
- Bukti saksi-saksi
- Bukti persangkaan-persangkaan
Menurut pasal 1828 B.W., agar akta di bawah tangan
punya kekuatan, pembuktian harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- Ditandatangani yang bersangkutan
- Ada saksi yang mengetahui pemubuatan akta tersebut.
- Isinya harus jelas
Perihal akta di bawah tangan di mana isi dan tanda
tangan itu diakui, maka dalam kekuatan pembuktian mempunyai kekuatan hampir
sama dengan akta otentik. Bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar yang
tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan.
- Surat Biasa
Akta / surat biasa yaitu surat di bawah tangan
non-akta yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum dan pembuatannya tidak
dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti. Dan jika di kemudian hari surat itu
dijadikan bukti, hal itu adalah karena kebetulan belaka.
Menurut pasal 1874 B.W. tak menegaskan bagaimana dan
sampai dimana kekuatan pembuktian dari akta biasa ini.
Contoh :
1)
Surat biasa yang dikirim kepada orang
lain untuk hobi surat-menyurat.
2)
Catatan yang ditulis dalam notes (diary),
buku tulis, tanpa ditandatangani.
3)
Karcis kereta, kapal, bus, telegram,
dimana surat itu tanpa tanda tangan.
Karena kekuatan hukum sebagai alat bukti terhadap
surat itu tidak disebutkan dengan tegas, maka penilaiannya diserahkan kepada
hakim sesuai dengan kondisi yang ada, artinya hakim dapat mengenyampingkan atau
sebagai alat bukti permulaan, yang harus ditambah dengan alat bukti yang lain.
Perbedaan dari ketiga macam akta ini yaitu dalam
kelompok mana suatu tulisan itu termasuk, itu tergantung dari cara
pembuatannya.
E. Kesimpulan
Dalam
perkara perdata, akta/surat merupakan alat bukti utama, karena dalam
lalu-lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti
yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan.
Sebagai alat bukti, ada 3 macam akta :
- Akta resmi / otentik
- Akta di bawah tangan
- Akta biasa
Dari ketiga macam akta ini, akta resmi dan akta di
bawah tangan mempunyai bukti sempurna, namun untuk akta di bawah tangan ada
perbedaan sedikit yaitu dalam pembuatannya tidak di hadapan pejabat umum
Untuk akta biasa, jika memang suatu saat dijadikan
alat bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan, karena akta biasa ini tidak
diniatkan / ditujukan untuk alat bukti.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. R. Subekti, SH. Hukum
Acara Perdata. Bina Cipta, Bandung, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman.
2.
Ny. Retnowulan Susantio, SH., Iskandar
Oerip Kartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju,
Bandung, 1997.
3.
Catatan dan Makalah Mata Kuliah Hukum Acara
Perdata.
0 komentar :
Posting Komentar