I.
Pendahuluan
Hakim dalam memeriksa setiap perkara
harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu
belum tentu ditemukan. Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan
sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang dilakukan para pihak di
persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari di dalam hukum acara perdata
sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak
dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena
alat-alat bukti, baik berupa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat, yang
diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar, palsu atau
dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan
kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Berkaitan dengan masalah pembuktian
ini, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain:
"...Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis
berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
oleh para pihak di persidangan....”
Memberikan dasar yang cukup kepada
hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan
diambil oleh hakim setelah keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan
yang akan dijatuhkan oleh hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya telah terjadi.
Di dalam hukum acara perdata,
kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat
tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai
apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan hakim (hasil proses) dengan peristiwa
yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti
kebenaran itu tidak tercapai.
Setelah pemeriksaan suatu perkara di
persidangan dianggap selesai dan parapihak tidak mengajukan bukti-bukti lain,
maka hakim akan memberikan putusannya. Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan
agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti
bahwa putusan tersebut akan dapat diterima tidak hanya oleh penggugat akan
atetapi juga oleh tergugat.
Putusan pengadilan semacam itu
penting sekali, terutama demi pembinaan kepercayaan masyarakat kepada lembaga
peradilan. Oleh karena itu hakim dalam menjatuhkan putusan akan selalu berusaha
agar putusannya kelak seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, dan akan
berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya itu seluas
mungkin.
Apabila harapan itu terpenuhi, maka
dapat diketahui dari indikatornya antara lain masing-masing pihak menerima
putusan tersebut dengan senang hati dan tidak menggunakan upaya hukum
selanjutnya (banding maupun kasasi). Seandainya mereka masih menggunakan
upaya-upaya hukum banding dan kasasi, itu berarti mereka masih belum dapat
menerima putusan tersebut secara suka rela sepenuhnya.
Digunakannya hak-hak para pihak
berupa upaya hukum banding dan kasasi, bukan berarti bahwa putusan peradilan
tingkat pertama itu keliru. Secara yuridis, setiap putusan itu harus dianggap
benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi (asas res
judicata pro veritate habetur). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya
kepastian hukum, bukan berarti kebenaran peristiwa yang bersangkutan telah
tercapai dan persengketaan telah terselesaikan sepenuhnya dengan sempurna. Akan
tetapi secara formal harus diterima bahwa dengan dijatuhkannya suatu putusan
oleh hakim atas suatu sengketa tertentu antara para pihak, berarti untuk
sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai.
Seperti telah dikemukakan di atas,
bahwa di dalam proses perkara perdata di persidangan yang dicari oleh hakim
adalah kebenaran peristiwa yang ditemukan para pihak yang bersangkutan. Untuk
merealisasikan hal tersebut, hakim tidak boleh mengabaikan apapun yang
ditemukan para pihak yang berperkara. Dalam kondisi seperti ini nyata sekali
bahwa dalam perkara perdata hakim bersifat pasif. Artinya ruang lingkup atau
luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat, dan biaya
ringan.
Hakim dalam mengadili sengketa, hanya
memeriksa apa yang ditemukan para pihak sebagai usaha membenarkan dalil gugatan
atau bantahannya. Inisiatif beracara datangnya dari para pihak yang
bersangkutan. Hakim hanya mempunyai kebebasan untuk menilai sejauhmana yang
dituntut oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi sudah barang tentu hakim tidak
semata-mata bergantung kepada apa yang dikemukakan para pihak, akan tetapi hakim
mempunyai kewajiban untuk menilai sejauhmana kebenaran peristiwa-peristiwa itu,
sehingga apa yang dikemukakan para pihak tersebut akan dapat membentu hakim
untuk memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusannya.
II.
Sistem
Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata
Peradilan memiliki fungsi yang cukup
penting di dalam masyarakat. Fungsi tersebut antara lain dalam rangka membantu
menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul akibat benturan
kepentingan anggota masyarakat satu sama lain. Oleh karena itu eksistensi
perangkat hukum acara perdata yang memadai sesuai perkembangan masyarakat
dengan segala macam kompleksitasnya sangat diperlukan.
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum
acara perdata positip yang dinyatakan secara resmi berlaku berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 19 Tahun 1964 dan Nomor 3 tahun 1965 adalah
"het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)"4 untuk Jawa dan Madura,
sedangkan untuk luar Jawa dan Madura 3 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14
tahun 1970. diberlakukan “Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg)".5 Kecuali
dua ketentuan di atas, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, memuat juga beberapa ketentuan tentang hukum acara
perdata. Selebihnya peraturan hukum acara perdata tersebar pula di laman BW,
WvK, dan Peraturan Kepailitan.
Keseluruhan ketentuan hukum acara
perdata tersebut merupakan suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Salah
satu dari sub sistem itu adalah sub sistem pembuktian. Untuk lebih memahami
tentang sistem hukum acara perdata tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui
tentang apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.
R. Subekti mengemukakan, bahwa sistem
adalah suatu susunan yang teratur yang merupakan keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian (sub-sub) yang satu sama lain saling kait-mengkait, dan tidak
boleh terjadi suatu tumpang tindih antara bagian-bagian itu dan tersusun
menurut suatu pemikiran tertentu untuk mencapai tujuan.
Hukum sebagai suatu sistem merupakan
suatu kesatuan yang bulat, yang di dalamnya tidak dikehendaki adanya
pertentangan. Apabila ternyata terjadi suatu pertentangan maka akan
diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. Sebagai suatu sistem, hukum
juga memiliki sub-sub sistem di dalamnya, masing-masing sub sistem itu saling
membantu untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat di dalamnya.
Hukum acara perdata sebagai salah
satu sistem bertujuan untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi
dalam masyarakat. Oleh karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan
keseluruhan ketentuan tentang pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu
sama lain saling kait mengkait, dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti
tidaknya suatu peristiwa tertentu yang dikemukakan oleh para pihak di
persidangan.
Di dalam hukum acara perdata dikenal beberapa sistem
beracara yaitu sebagai berikut:
A.
Sistem
beracara secara langsung dan tidak langsung
Sistem beracara secara langsung
artinya para pihak langsung menghadap sendiri di persidangan tanpa mewakilkan
kepada kuasa atau pengacara. Di dalam sistem semacam ini hakim langsung
berhadapan dan mendengar pihak-pihak itu sendiri. Oleh karena itu hakim akan
dapat memperoleh keterangan-keterangan secara langsung, sebab para pihak
menghadap sendiri di persidangan.
Para pihak yang bersengketa secara langsung pula akan membuktikan
kebenaran dalil-dalil yang mereka kemukakan, baik dengan mengajukan suratsurat,
saksi-saksi, pengakuan, maupun sumpah. Jadi hakim dapat melakukan pengawasan
secara langsung kepada para pihak, sehingga kemungkinan para pihak untuk
mengemukakan sesuatu yang tidak benar sedapat mungkin akan diminimalkan. Hal
ini disebabkan hakim dapat mengetahui keadaan para pihak yang berperkara atau
para saksi yang memberikan keterangan.
Sedangkan sistem beracara secara tidak
langsung adalah suatu sistem yang para pihak bersengketanya mewakilkan kepada
kuasa atau pengacara. Konsekuensi logis dari sistem ini antara lain para pihak
tidak langsung berhadapan dengan hakim yang memeriksa sengketa mereka.
Pemeriksaan perkara dalam sistem ini berlangsung secara tertulis. Akibatnya di
dalam sistem ini hakim mencari kebenaran peristiwa itu melalui kuasa atau
pengacara para pihak.
Sistem tidak langsung ini mengandung
cukup risiko, terutama bagi pihakpihak yang diwakili. Ini disebabkan antara
lain karena pada dasarnya seorang kuasa atau pengacara acapkali kurang
mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terinci. Oleh karena itu para
kuasa atau pengacara umumnya hanya akan menyampaikan sesuatu berdasarkan pada
keterangan yang mereka peroleh atau ketahui dari para pihak yang bersangkutan.
Dalam kaitan dengan sistem beracara
secara tidak langsung di atas, Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan, antara lain
sebagai berikut:
"... bahwa dengan adanya wakil dari pihak-pihak
yang berperkara, hakim tidak dapat berhadapan langsung dengan orang-orang yang
berkepentingan sendiri. Ini [mungkin] mengakibatkan bahwa hakim tidak mendapat
kesempatan untuk merasakan betul kebutuhan orang-orang itu...".
Akan tetapi sistem beracara secara
tidak langsung juga tidak kaku. Oleh karena berdasarkan pada asas kebebasan
hakim, apabila hakim menganggap perlu dapat memanggil pihak-pihak yang langsung
berkepentingan untuk menghadap di depan sidang guna didengar keterangannya,
meskipun yang bersangkutan telah diwakili oleh seorang pengacara.
Di dalam proses pembuktian, beracara
secara tidak langsung ini juga dapat merugikan. Umpamanya saja jika pembelaan
yang dikemukakan oleh kuasaatau pengacara justru tidak membantu hakim untuk
menemukan kebenaran peristiwanya. Lebih-lebih lagi jika pengacara atau kuasanya
itu bukan seorang ahli hukum. Apabila demikian adanya maka tidak jarang justru
yang terjadi adalah kesulitan bagi hakim untuk menemukan kebenaran peristiwa
yang bersangkutan. Padahal tujuan berperkara dengan menggunakan kuasa atau
pengacara sesungguhnya agar hakim dapat dibantu dalam rangka menemukan hukum
yang tepat, sehingga memudahkan hakim untuk mengambil keputusan yang adil dan
benar.
B.
Sistem
Pemeriksaan Perkara dalam Ruang Sidang
Dalam hukum acara perdata pada
prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan dalam suatu ruang sidang yang khusus
ditentukan untuk itu. Sidang itu pun harus dinyatakan terbuka untuk umum,
kecuali undang-undang melarangnya.Sifat terbukanya sidang untuk umum ini
merupakan syarat mutlak, namun ada pembatasannya yaitu apabila undang-undang
menentukan lain atau berdasarkan alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam
berita acara atas perintahnya.
Jika demikian maka pemeriksaan perkara
akan dilakukan dengan pintu tertutup. Ketentuan terbukanya sidang untuk umum
itu antara lain dimaksudkan untuk menjaga objektivitas pemeriksaan perkara yang
bersangkutan. Sistem itu sesungguhnya dapat mengakibatkan lambatnya proses
pemeriksaan perkara di persidangan. Keterlambatan itu sangat mungkin terjadi
disebabkan oleh berbagai faktor. Dapat terjadi karena adanya oknum hakim atau
para pihak sendiri yang karena si kapnya kemudian berakibat proses
pemenyelesaian perkara menjadi lambat. Hal itu dapat terjadi oleh karena semua
kegiatan, seperti: mengajukan gugatan, jawaban, replik, duplik, pemeriksaan
alat-alat bukti, saksi-saksi, dan sebagainya, semuanya harus dilakukan dan
diperiksa di dalam suatu sidang yang khusus diadakan untuk itu. Kenyataannya
hal itu sulit untuk dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat.
Pada kesempatan sidang pertama, hakim
akan menawarkan dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai.
Apabila usaha perdamaian itu berhasil, maka hakim akan menjatuhkan putusannya
(acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi
isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akte tersebut memiliki kekuatan
seperti putusan hakim biasa. Akibatnya maka akte tersebut berlaku sebagai
penyelesaian perselisihan.
Sebaliknya jika keadaannya malah
berlarut-larut, ditambah lagi kedua belah pihak menunjukkan kesan seolah-olah
tidak beriktikad baik, maka akan memperlambat proses pemeriksaan sengketa.
Akibat dari keadaan tersebut tidak jarang malahan setelah diupayakan
berkali-kali untuk berdamai, ternyata perdamaian pun tidak berhasil. Apabila
pada kesempatan sidang pertama kedua belah pihak tidak mau berdamai, maka
perkaranya akan mulai diperiksa. Pada saat itu juga kepada penggugat diberikan
kesempatan untuk membacakan gugatannya. Setelah itu, tergugat dapat meminta
waktu untuk mempelajari gugatan dan memberikan jawabannya pada kesempatan
sidang berikutnya. Sidang dapat tertunda atau sengaja diundur jika salah satu
dari para pihak atau bahkan hakimnya sendiri berhalangan hadir pada kesempatan
hari sidang yang telah ditentukan.
Perancis adalah salah satu negara yang
dikenal memiliki manajemen pengadilan yang relatif baik, sehingga kelambatan
jalannya persidangan pengadilan dapat dikurangi. Caranya antara lain dengan
menunjuk seorang hakim yang sebelum perkara disidangkan diberi tugas khusus
mengumpulkan gugatan-gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa
surat-surat bukti, dan saksi-saksi kalau diperlukan, dan sebagainya.
Menurut sistem tersebut
perkara-perkara perdata tidak langsung disidangkan, melainkan diproses terlebih
dahulu oleh seorang hakim yang ditunjuk untuk itu. Setelah segala sesuatunya
dianggap rampung, maka hakim ini menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai,
lalu mengirimkan berkasnya kepada ketua majelis yang akan menyidangkannya.
Semua pekerjaan itu dilakukan oleh hakim tersebut di dalam ruang kerjanya
dengan dibantu oleh seorang panitera, sudah tentu dengan batas waktu maksimum
yang ditetapkan oleh hakim itu sendiri demi kecepatan persidangan.
Akan tetapi dalam visi L.O. Siahaan,
tampak ada kehawatiran jika sistem di Perancis diterapkan pada sistem peradilan
di Indonesia.
Menurutnya, kita harus berfikir dua kali, oleh karena bahayanya dari sistem
tersebut adalah bahwa hakim-hakim dapat menyalahgunakan kekuasaan yang
diberikan kepadanya dengan jalan memanipulasi perkara-perkara yang
bersangkutan.
Kebebasan yang diberikan kepada
seseorang hakim untuk mengolah perkara tersebut sebelum sampai ke persidangan,
justru dapat menciptakan peluang untuk mengulur waktu serta mempermainkan para
pihak supaya maksudnya tercapai. Akibat yang akan terjadi malahan sebaliknya,
yaitu bukan semakin cepat, melainkan semakin lambat dan bertele-tele, sehingga
kemungkinan akan membosankan dan menjengkelkan pihak-pihak yang berperkara.
Atas dasar pertimbangan baik dan
buruknya sistem yang dianut di Perancis tersebut, maka seyogianya
dipertimbangkan lebih matang lagi untuk meniru sistem tersebut. Yang paling
baik bagi keadaan di Indonesia
adalah menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan tentang apa dan
bagaimana yang menurut pertimbangannya dapat mempercepat proses pemeriksaan.
Sebagai contoh umpamanya, dalam
hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan jawaban gugatan, replik, duplik, dan
penyerahan bukti-bukti surat
saja yang dapat disidangkan dalam ruang kerja para hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan. Sedangkan pemeriksaan saksi-saksi, alat-alat bukti, serta
putusannya sendiri haruslah dalam suatu sidang yang khusus ditentukan untuk
itu.
Apabila sistem yang demikian itu yang
dianut, maka hakim tidak mudah untuk dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan
yang diberikan kepadanya. Hal itu kiranya dapat menjadi salah satu usaha untuk
merealisasikan cita-cita peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor14 tahun 1970.
C.
Sistem
Peradilan dua Tingkat
Sistem peradilan dua tingkat adalah
sistem yang terdiri atas pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama
(original jurisdiction) dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat
banding (appellate jurisdiction).
Pada tingkat pertama, pengadilan
negeri menerima surat
gugatan, mendamaikan, menerima jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa
alat-alat bukti, dan menjatuhkan putusan.Pengadilan tingkat pertama ini disebut
juga sebagai pengadilan judex factie karena berurusan dengan fakta-fakta.
Sedangkan pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir,
perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun segi
hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila salah satu pihak tidak
puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Permohonan pemeriksaan ulang
dapat dimintakan baik oleh pihak yang kalah maupun oleh pihak yang dimenangkan.
Akan tetapi biasanya yang menggunakan upaya hukum banding sebagai upaya pemeriksaan
ulangan adalah pihak yang dikalahkan dipersidangan. Namun bukan sesuatu yang
tidak mungkin bahwa pihak yang dimenangkan pun masih menggunakan upaya hukum
banding. Biasanya pihak yang sudah menang akan menggunakan upaya hukum banding,
manakala tuntutannya tidak dikabulkan semua. Upaya banding dapat juga dilakukan
oleh pihak yang sudah dimenangkan apabila putusan pengadilan tingkat pertama
dirasakan sebagai kurang adil.
Sistem banding ini dalam praktiknya
memang tidak digunakan untuk semua jenis dan nilai gugatan perkara perdata. Hal
itu didasarkan pada berbagai pertimbangan, sebab dapat dibayangkan jika semua
jenis perkara dan nilai gugatan dapat diajukan permohonan bandingnya, maka akan
terjadi tumpukan perkara perdata pada pengadilan tinggi. Akibatnya pemeriksaan
perkara perdata akan menjadi lambat. Bahkan tidak mustahil terjadi suatu
perkara perdata dengan nilai gugat relatif kecil akan tetapi memakan waktu
bertahun-tahun untuk dapat memperoleh kekuatan hukum yang pasti, karena perkara
tersebut terus dimintakan uapaya hukum kasasi hingga Mahkamah Agung.
Untuk menghindari hal-hal seperti
tersebut di atas, tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Lintong Siahaan,
bahwa menggunakan sistem yang memberikan kepada pengadilan tingkat pertama
untuk memutus dalam tingkat terakhir atas perkara-perkara perdata yang nilai
gugatnya relatif kecil. Hal itu akan sangat bermanfaat untuk mempercepat
jalannya persidangan. Di samping itu, mengingat upaya hukum banding itu
bertujuan untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, maka
upaya hukum banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang dimenangkan.
Adalah seyogianya jika banding hanya diperuntukan bagi pihak yang yang
dikalahkan atau merasa dirugikan.
Berkaitan dengan hal di atas, terdapat
putusan Mahkamah Agung1 yang menyatakan bahwa: "...permohonan banding itu
hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri yang merugikan pihak yang naik
banding, jadi tidak ditujukan pada putusan pengadilan negeri yang menguntungkan
baginya...".
Walaupun terdapat penegasan di dalam
putusan Mahkamah Agung tersebut, akan tetapi kenyataan acapkali berbeda. Tidak
jarang justeru upaya hukum banding sengaja dipergunakan oleh pihak-pihak yang
dikalahkan, terutama yang beriktikad buruk, sebagai senjata untuk memperlambat
proses kekalahannya. Lebih jauh lagi sikap semacam itu sengaja diciptakan agar
yang bersangkutan (pihak yang telah dikalahkan pada tingkat pertama), tetap
dapat menikmati benda-benda sengketa hingga memperoleh keputusan Kasasi dari
Mahkamah Agung.
Tidak memberikan kesempatan naik
banding terhadap perkara-perkara yang nilai gugatnya relatif kecil, bukan
berarti tidak memberikan keadilan kepada pihak yang kecil. Namun didasarkan
pada pertimbangan risiko dan efisiensi. Artinya risiko sebagai akibat kesalahan
putusan yang mungkin timbul dalam perkara yang nilai gugatnya relatif kecil,
juga akan lebih kecil jika dibandingkan dengan risiko penguluran waktu jika
yang bersangkutan melakukan banding. Demikian pula halnya dengan efisiensi atau
penghematan biaya untuk berperkara pada tingkat banding. Boleh jadi malah biaya
perkara untuk mengajukan banding akan lebih besar jika dibandingkan dengan
besarnya nilai gugat. Itu berarti berperkara dengan nilai gugat kecil tetapi
menggunakan upaya hukum banding, dari segi biaya perkara sama sekali tidak
efisien.
Mahkamah Agung, selain sebagai
peradilan kasasi, dalam sistem peradilan dua tingkat MA juga sebagai peradilan
tertinggi negara untuk semua jenis peradilan. Sebagai peradilan kasasi,
tugasnya antara lain membina keseragaman dalam penerapan hukum. Hal itu berarti
menjaga agar semua hukum dan perundangundangan di seluruh wilayah Indonesia
diterapkan secara tepat dan adil. Berkenaan dengan hal ini R. Subekti
mengemukakan antara lain:
"...Sistem kasasi adalah baik untuk negara kita
yang merupakan negara kesatuan,namun harus kita perhatikan juga bahwa sistem
tersebut memerlukan garis yang panjang untuk mencapai putusan pengadilan yang
pasti (kekuatan hukum yang mutlak...".
Suatu putusan dikategorkan sebagai
telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti apabila terhadap putusan tersebut
tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Sifat putusan demikian dapat saja
dimiliki, baik oleh putusan pengadilan negeri maupun putusan pengadilan tinggi.
Sedangkan setiap putusan Mahkamah Agung telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap.
Apabila para pihak dalam suatu perkara
menerima putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, dengan kata lain
mereka tidak menggunakan upaya hukum banding maupun kasasi, berarti putusan
pengadilan negeri atau pengadilan tinggi itu memperoleh kekuatan hukum yang
tetap. Terhadap putusan semacam itu tidak dapat dilakukan upaya hukum biasa,
kecuali upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (PK).
Tidak digunakannya upaya hukum biasa
berupa banding atau kasasi oleh para pihak, belum tentu berarti bahwa para
pihak telah menerima putusan secara sukarela. Belum tentu juga karena putusan
tersebut telah sesuai dengan rasa keadilan mereka. Terdapat beberapa
kemungkinan dalam kaitan tersebut. Pertama, mungkin disebabkan mereka tidak
mengetahui atau tidak dapat menggunakan upaya-upaya hukum tersebut. Kedua, para
pihak kurang mengerti formalitas beracara perdata perihal upaya hukum banding
maupun kasasi. Hal ini disebabkan untuk mengajukan banding maupun kasasi
pihak-pihak pencari keadilan harus membuat atau menyertakan memori banding
dan/atau memori kasasi. Ketiga, mungkin juga karena memang nilai gugatnya
relatif kecil, sehingga berdasarkan pertimbangan efisiensi memang sangat tidak
efisien bila dibandingkan dengan biaya perkara yang harus dibayar pihak yang
mengajukan banding.
Upaya-upaya hukum banding, kasasi,
maupun peninjauan kembali, disediakan antara lain sebagai upaya untuk
memperbaiki kekeliruan atau kesalahan yang mungkin terjadi pada pemeriksaan
perkara pada peradilan yang lebih rendah. Namun seperti telah dikemukakan di
atas, kesempatan ini hanya layak diberikan kepada pihak-pihak yang memang
memiliki nilai gugat yang relatif besar. Hal itu disebabkan perkara yang nilai
gugatnya relatif besar, risiko terjadinya kekeliruan atau kesalahan pemeriksaan
pada peradilan yang lebih rendah pun lebih besar. Maka selayaknya-lah jika
perkara-perkara yang nilai gugatnya relatif besar diberi kesempatan yang lebih
terbuka untuk diperiksa ulang pada tingkat banding maupun kasasi, bahkan hingga
peninjauan kembali (PK).
III.
Peranan
Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum
perdata materiil dengan hukum perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan
untuk menjelaskan bahwa keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum
perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi
hak-hak dan kewajibankewajiban para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata
adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara
mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum
lain.
Kebutuhan terhadap hukum acara
merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri. Hal itu disebabkan tanpa
ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para
subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat sulit dipulihkan. Oleh
karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas
penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek hukum tertentu. Pada
akhirnya tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan tujuan hukum
secara keseluruhan yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda
dengan hukum acara perdata, karena hukum perdata materiil adalah hukum privat
sedangkan hukum acara perdata adalah hukum publik. Pembedaan ini pun terjadi
karena adanya perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum perdata materiil
berisi kaidah yang mengatur kepentingan individu atau perorangan (mengandung
sifat keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah yang mengatur
tentang bagaimana mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu
dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping
mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik, juga mengandung sifat-sifat
keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal kaidah-kaidah yang mengatur
tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para pihak untuk mempertahankan
kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak dalam kaidah yang mengatur
tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan
terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus
ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat
publik tersebut tidak boleh dikesampingkan. Umpamanya saja, kaidah tentang tata
cara mengajukan gugatan, batas waktu mengajukan banding maupun kasasi, tentang
kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di depan sidang pengadilan,
dan lain-lain.
Menyangkut masalah kekuatan
pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti merupakan sifat
publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan percaya kepada kekuatan
alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan demikian hakim perdata tidak boleh
memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para pihak di
persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau tidak,
demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua
merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.
A. Faktor-faktor yang
Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Dalam menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan
kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan para
pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak
lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.
Menurut sifatnya alat bukti dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Pertama, bukti yang berasal dari diri para
pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang berasal dari luar
diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim, dan keterangan para saksi).
Alat bukti yang berasal dari diri para
pihak dan diberikan berdasarkan atas kejujuran maka dapat dianggap terbukti
sebagai suatu peristiwa tertentu. Sedangkan alat bukti yang berasal dari luar
para pihak kadang-kadang masih perlu didukung oleh alat-alat bukti lain,
terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap terbukti. Umpamanya saja,
hanya terdapat satu orang saksi. Padahal diketahui dari adagium bahwa
"satu saksi itu bukan saksi" (Unus testis nullus testis). Keterangan
seorang saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian yang kuat di dalam hukum.
Hal itu terutama untuk menghindari
adanya kelemahan-kelemahan yang terkandung di dalam kesaksian itu. Kelemahan
yang dimaksud, baik yang berasal dari iktikad buruk orang yang memberi
kesaksian itu maupun kelamahan yang tidak disengaja. Sebagai contoh umpamanya,
diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya. Atau dapat juga saksi yang
keterangannya diperoleh dari orang lain (kesaksian de auditu). Padahal
kesaksian de auditu tidak dapat dianggap sebagai alat bukti kesaksian.
Demikian pula halnya dengan alat bukti
surat yang
kemungkinannya masih harus dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya
masih belum dianggap terbukti. Ukuran perbedaan kekuatan sebagai alat bukti
adalah karena besar atau kecilnya kemungkinan mendekati kepada kebenaran. Akta
otentik umpamanya, lebih besar kemungkinan mendekati kepada kebenaran, karena
telah dikuatkan oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu barangsiapa yang
mengajukan akta otentik sebagai alat bukti di persidangan, maka akta otentik
tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. Sebagai kon sekuensinya,
barangsiapa yang membantah keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan
bahwa akta tersebut tidak benar. Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan,
jika akta di bawah tangan dibantah kebenarannya, maka barangsiapa yang
mengajukan akta di bawah tangan tersebut sebagai alat bukti, maka yang
bersangkutan harus mebuktikan kebenarannya.
Kemudian menyangkut masalah bukti
persangkaan hakim, untuk alat bukti ini masih memerlukan adanya bukti-bukti
lain. Ini disebabkan persangkaan hakim itu timbul berdasarkan adanya bukti atau
dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.
1.
Faktor
Keinsyafan Batin Manusia
"...Pengakuan di muka hakim di
persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik
tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam
perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari
suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang
mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi...".
Dari batasan di atas dapat difahami
bahwa pengakuan merupakan pernyataan dari salah satu pihak di persidangan, yang
timbul atas dorongan naluriah manusia. Naluri manusia-lah yang mengarahkan
untuk mewujudkan cita-cita kebenaran. Oleh karena itu maka pengakuan yang jujur
merupakan pernyataan dari salah satu pihak untuk mengemukakan yang benar,
walaupun merugikan dirinya sendiri.
O. Notohamidjojo, dalam bukunya
mengemukakan antara lain bahwa: "...keinsyafan batin atau nurani manusia
adalah sebagai alat pengontrol dalam diri manusia untuk memihak kepada yang
baik dalam menghadapi suatu keadaan antara yang baik dan yang buruk, antara
salah dan benar...". Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya
merupakan suatu tinjauan tentang kepribadian manusia itu sendiri. Hal itu
karena pengakuan timbul berdasarkan dorongan keinsyafan batin manusia.
Pengakuan itu berarti membenarkan tentang suatu hal atau kejadian. Oleh karena
itu maka pengakuan yang patut dihargai adalah pengakuan yang jujur atau yang
benar-benar timbul dari keinsyafan batin para pihak yang berperkara. Pengakuan
yang timbul karena keinsyafan batin ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras
dengan kebenaran, atau telah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya telah
terjadi.
2.
Faktor
Pemikiran yang Logis
Untuk menentukan kebenaran terhadap
suatu kejadian atau peristiwa tertentu diperlukan akal, sementara akal itu
dimiliki oleh setiap orang. Akal itulah yang
menjadi hakim dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan
pertimbangan dalam menjatuhkan suatu keputusan atas setiap kejadian. Faktor
pikiran logis ini merupakan pendukung bagi para pihak untuk memberikan
pengakuan yang jujur, sebab akal yang ada padanya dapat menentukan pilihannya,
untuk melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang diharapkan. Untuk
dapat menentukan pilihannya itu maka ia berpedoman kepada kaidah-kaidah tentang
apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono Dirdjosisworo, mengemukakan
bahwa masalah kepatuhan hukum itu menyangkut kemampuan individu dalam
menghayati aturan hukum yang dibentuk. Menghayati benar atau tidak kaidah hukum
yang dihadapinya akan menetapkan pilihan sikap untuk patuh atau menyeleweng
dari patokan kaidah yang ada. Kesadaran seseorang untuk melakukan perilaku yang
sesuai dengan hukum,berkaitan dengan penilaian yang diberikan untuk melakukan
perilaku tersebut. Penilaian tersebut timbul oleh karena manusia di dalam
menentukan kehendaknya sangat ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan
perasaannya.
B. Bentuk-bentuk
Pengakuan
Seperti telah dikemukakan terdahulu,
bahwa pada permulaan sidang, hakim haraus senantiasa berusaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila perdamaian itu berhasil, maka hakim
akan membuat akta perdamaian, sehingga sengketa itu berakhir dengan dibuatnya
akta perdamaian tersebut. Akan tetapi apabila para pihak tidak berhasil
didamaikan, maka hakim akan mempersilakan penggugat untuk membacakan
gugatannya. Setelah itu giliran tergugat untuk mengajukan jawabannya. Jawaban
tergugat dapat diajukan secara lisan atau tertulis. Jawaban juga dapata berupa
referte, bantahan, dan pengakuan.
Referte adalah jawaban dari pihak
tergugat yang berupa menyerahkan seluruhnya kepada kebijaksanaan hakim.
Tergugat tidak membantah dan tidak pula membenarkan gugatan. Tergugat memohon
keadilan kepada hakim, sehingga apa yang harus dilakukan selama persidangan itu
diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Referte ini bukan pengakuan dan bukan pula
bantahan.
Sedangkan bantahan (verweer) dapat
berupa tangkisan (eksepsi) atau sangkalan. Tangkisan belum menyangkut pokok
perkara, sedangkan sangkalan telah berhubungan dengan pokok perkara (verweer
ten principale). Di samping referte dan sangkalan, jawaban tergugat juga dapat
berupa sepenuhnya pengakuan (pengakuan murni).
Dalam praktik banyak terjadi
penggabungan antara pengakuan dan sangkalan. Akibatnya terjadi pengakuan yang tidak
bulat. Akan tetapi pada dasarnya pengakuan itu tidak dapat dipisah-pisahkan.
Hal itu karena menyangkut pembuktian, sebab apabila sudah ada pengakuan tidak
perlu lagi pembuktian. Hanya hal-hal yang disangkal yang memerlukan pembuktian
lebih lanjut.
Disebabkan karena adanya pengakuan
yang tidak bulat, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan membedakan pengakuan
menjadi tiga jenis pengakuan. Pertama, pengakuan murni; Kedua, pengakuan dengan
kualifikasi; dan Ketiga, pengakuan dengan klausula. Yang dimaksud dengan
kualifikasi bukan semata-mata sangkalan, tetapi hendak memberikan kualifikasi
terhadap pengakuan. Demikian juga pengakuan dengan klausula adalah pengakuan
dengan tambahan yang bersifat membebaskan.
IV.
Macam-macam
Alat Bukti Pengakuan
A.
Pengakuan
Murni (aveu pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang
sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan. Penggugat menyatakan sesuatu
peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan
seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim
menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat
dikabulkan.
Pengakuan dapat berupa ucapan atau
isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui
perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan. Oleh karena
itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus
alat bukti surat.
Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari
segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan,
sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara
tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah
oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak
lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran
dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan
itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak
mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang
diajukan di muka sidang itu tidak dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan
tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan
yang ditulis dalam surat
jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara
lisan di depan sidang.
Pengakuan secara tertulis tersebut
merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan
bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat
sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan
keterangan dari orang yang menandatanganinya.
Sedangkan kekuatan pembuktian
materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang
bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa
yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian
materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di
dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan
kebenaran".
Apabila tergugat di dalam jawabannya
tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari
gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap
diakui oleh tergugat secara diam-diam.
Pada dasarnya jika tergugat telah
mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa
yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap
sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja, dalam gugatan mengenai hak
milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan
bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya
pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik.
Sedangkan dalam perkara perceraian,
dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya perceraian, sehingga diharapkan tujuan
Undang-undang perkawinan dapat tercapai. Oleh karena itu di dalam kedua perkara
tersebut hanya dengan bukti pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti
peristiwa yang bersangkutan.
Apabila suatu perkara tidak memiliki
bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka
pengadilan menerima pengakuan itu bahwa: “gugatan penggugat seluruhnya dianggap
diakui secara diam-diam kebenarannya apabila hal-hal lain selebihnya dalam surat gugatan penggugat
tidak dijawab oleh tergugat.” sebagai alat bukti sempurna. Terhadap masalah ini
Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan yang justeru lebih luas
interpretasinya. Dalam putusan tentang masalah wanprestasi terhadap utang,
isinya antara lain: bahwa "pengakuan merupakan alat bukti ang sempurna,
bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak perlu diperhatikan karena telah
mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna.
B.
Pengakuan
dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah
pengakuan yang dilakukan oleh tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap
sebagian dari tuntutan. Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat
menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak
mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri.
Berdasarkan hal di atas, pengakuan
dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak
tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di lain pihak
tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap pengakuan
dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan pengakuan
tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam arti tidak
boleh hanya pengakuan yang diterima sebagai terbukti sedangkan sangkalannya
tidak diterima.
C.
Pengakuan
dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)
Pengakuan dengan klausula adalah
pengakuan dari tergugat tentang hal pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi
disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini
pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan. Akan tetapi bedanya
adalah bahwa dalam pengakuan dengan klausula ini terdapat keterangan tambahan
yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat.
Sebagai contoh, pada awalnya tergugat
mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk
melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu
biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan
kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai
tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan
kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan
tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu).
Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW,
sebagai berikut:
"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan
hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang
lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh
dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,
menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam
hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih
diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada
penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan
klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan
dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat
dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa
pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar
pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu
dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih
dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberi pengakuan. Apabila
ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya,
konsekuensinya dia akan dikalahkan. Akibatnya maka tuntutan penggugat akan
dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan.
Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan
memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang
secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat
yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu
ketentuan pasal 173 HIR merupakan akekecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg
dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh
dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat.
Pada hakikatnya pengakuan tergugat
dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan. Akibatnya
penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Pada umumnya
penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila
ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka
ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat,
karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui
oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat
dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama,
dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua,
membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal
tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan
pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna serta mengikat.
V.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
Pertama, Sebagai salah satu alat bukti
di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu
persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak
yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah
satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian,
kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
Kedua, Perkembangan yurisprudensi
menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai
kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti
peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat
tergantung kepada kasusnya masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu
dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan
pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada
keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk
melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara
perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat
formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah
hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata,
hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata,
melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan
dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan
perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia.
Bandung:
Armico, 1983.
Ø Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan
Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita. Jakarta:
Ghalia Indonesia,
1981.
Ø Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum
Benda Nasional. Bandung:
Alumni, 1983.
Ø O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Keamnusiaan,
Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1975.
Ø Pitlo, Hukum Pembuktian dan Daluarsa Menurut BW
Belanda. 1978.
Ø Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek. Bandung:
Alumni, 1980.
Ø Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi
Mahkama Agung. Bandung:
Alumni, 1978.
Ø Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty,
1985.
Ø Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran
Hukum Masyarakat. Yogyakarta: Liberty,
1981.
Ø Sudjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang
Psikologi Hukum. Bandung:
Alumni, 1983.
Ø Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di
Indonesia. Bandung:
Sumurbandung, 1978.
0 komentar :
Posting Komentar