Selasa, 25 November 2014

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

Seiring perkembangan zaman yang serba kompleks akan bermacam-macam masalah yang timbul seiring perkembangan ilmu pengetahuan, produksi dan gaya hidup baerdampak pada bermacam-macam masalah yang baru pula. Telah kita ketahui bahwa dalam Islam semua hal muamalah baik secara vertical maupun horizontal mempunyai hokum yang dikandung. Itulah rahmat dari agama islam yang mengarahkan umat islam menuju jalan yang benar melalui ketetapan hokum dalam bentuk nash. Hal yang dicemaskan adalah apakah Islam mampu menjawab tantangan zaman yang serba berkembang  sedangkan adakalanya nash tidak sesuai bahkan tidak terdapat nash yang menunjukkan akan hukum masalah tersebut. Diperlukan adanya pembaharuan dan ijtihad guna kesejahteraan umat Islam di zaman yang berkembang ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Perkawinan
Di dalam masalah perkawinan, bangunan budaya patriarkhis ini tampak nyata.Ini misalnya terlihat dalam definisi perkawinan yang dirumuskan oleh mayoritas ulama fiqh terkemuka. Dari sejumlah besar pandangan para ahli fiqh empat mazhab, Abd al Rahman Al Jaziri kemudian menyimpulkan bahwa nikah adalah akad yang memberikan hak (keabsahan) kepada laki-laki untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya. Al Jaziri mengatakan ini merupakan pengertian yang disepakati para ulama meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda. Hal yang perlu dicatat dari definisi tersebut adalah bahwa perkawinan tampak hanya dimaksudkan sebagai wahana kenikmatan seksual, atau paling tidak ia (rekreasi, kesenangan seksual) sebagai tujuan utama. Tujuan lain sebagaimana disebutkan al Qur-an bahwa perkawinan dimaksudkan untuk sebuah kehidupan bersama yang sehat dan penuh cinta-kasih tidak dikemukakan secara eksplisit.(Q.S. al Rum, 21). Ayat al Qur-an ini agaknya merupakan kritik Tuhan terhadap perkawinan yang semata-mata untuk tujuan rekreasi sebagaimana tradisi masyarakat selam itu : “Inna fi dzalika la aayaat li Qaum Yatafakkarun” (Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir).
Hilangnya perkawinan sebagai interaksi yang secara sosial memiliki makna kemanusiaan, cinta dan kebersamaan akan dapat memunculkan sejumlah masalah. Lebih dari itu adalah bahwa penikmatan seksual tersebut tampak hanya diberikan kepada laki-laki (suami) bukan kepada perempuan.. Pandangan-pandangan ini membawa konsekuensi bahwa laki-laki dapat memaksa isterinya dan tidak sebaliknya untuk berhubungan seksual. Kalaupun ada kewajiban maka ia hanya sekali saja dan dalam rangka menjaga moralitas isteri (anna li al rajul an yujbira al mar’ah ‘ala al istimta’ biha bi khilafiha fa laisa laha jabruhu illa marrah wahidah wa yajibu ‘alaihi diyanatan).

B.     Perceraian
Dalam masalah putusnya hubungan perkawinan (perceraian, talak) keputusan untuk bercerai atau tidak sangat tergantung kepada laki-laki (suami). Suami dapat menjatuhkan kata-kata cerai kepada isterinya kapan saja dan di mana saja. Argumen yang dikemukakan untuk masalah ini tetap menggunakan argumen tafsir ayat tentang “keunggulan laki-laki” (afdhaliyah al rajul) dan kekuasaan ekonomi ; laki-laki rasional dan penuh pertimbangan, sementara perempuan cepat emosional, laki-laki menafkahi, perempuan dinafkahi, laki-laki membayar maskawin dan kebutuhan ekonomi lainnya, perempuan menerima semuanya, dst. Ini benar-benar bias gender. Jika relasi suami isteri adalah relasi privacy, maka perlindungan hukum bagi perempuan menjadi sangat sulit dan tertutup. Dengan begitu, keselamatan perempuan dari tindakan suami untuk suatu perceraian sangat tergantung pada tingkat moralitas suaminya yang tentu saja sangat subyektif. Dengan bahasa yang provokatif ; nasib perempuan memang berada di tangan laki-laki.
Bagaimana jika perempuan (isteri) ingin bercerai dari suaminya karena alasan-alasan yang dibenarkan ?. Para ahli fiqh menyatakan bahwa perempuan dapat mengajukan perceraian melalui apa yang disebut “khulu’”. Ia adalah perceraian yang diajukan isteri kepada suami dengan ‘iwadh/fidyah (uang pengganti atau tebusan) kepada suami. Dalam bahasa yang umum ‘khulu’ sering dikatakan sebagai gugatan cerai. Keputusan kata cerai dalam hal ini tetap diucapkan oleh suami. Dengan demikian perbedaan antara talak dengan khulu’ hanya terjadi dalam proses, sementara keputusan tetap berada ditangan laki-laki (suami).
Dalam rangka menghindarkan terjadinya perceraian sepihak yang tidak terkontrol, subyektif dan sering merugikan perempuan, sejumlah negara Islam telah melakukan pembaharuan hukum melalui proses perceraian di pengadilan termasuk dalam hal ini adalah rumusan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. KHI ini berbunyi : “la yaqa’ al thalaq illa amam al qadhi”.(Perceraian hanya jatuh setelah melalui proses di pengadilan). Walaupun demikian, tradisi perceraian sepihak (oleh suami) sebagaimana ketentuan dalam kitab-kitab fiqh masih terus berlangsung di masyarakat. Kitab ensiklopedi fiqh kontemporer : “al Fiqh al Islami wa Adillatuhu” karya Wahbah al Zuhaili, misalnya, bahkan tetap mempertahankan keabsahan ini sambil menolak keputusan perceraian di tangan lembaga peradilan. “Ini tidak ada gunanya dan bertentangan dengan syara’”. Wahbah selanjutnya menyatakan bahwa perceraian oleh laki-laki tetap sah tanpa harus menunggu keputusan hakim. Proses perceraian di pengadilan menurutnya justeru akan membongkar atau menelanjangi rahasia rumah tangga di hadapan publik.(Wahbah, al Fiqh, IX/6878). Pandangan dan dengan argumen yang sama sebelumnya telah dikemukakan oleh Dr. Musthafa al Siba’i. (Baca : Siba’i, Al Mar-ah baina al Fiqh wa al Qanun, 128). Argumen terakhir ini memperlihatkan bahwa wilayah domestik adalah wilayah privat yang tidak bisa diintervensi pihak luar, bahkan pihak negara, meski di dalamnya mengandung kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap kemanusiaan. 
Perceraian yang sah dalam Negara Indonesia adalah perceraian yang dicatatkan di KUA. Ketentuan ini berbeda dengan kesepakatan ulama klasik yang mencukupkan hanya dengan dua saksi tampa adanya pencatatan. Bahkan ada yang mencukupkan tanpa saksipun perceraian tetap sah dimata hukum.  Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa hukum perkawinan dan perceraian yang berjalan di Indonesia menganut dua sistem hukum ; yaitu menurut UU No. 1/1974 berikut KHI dan menurut kitab-kitab fiqh. Sebagian masyarakat menyebut yang pertama sebagai hukum negara atau sekuler, sementara yang kedua disebut sebagai hukum agama. Pembedaan ini memiliki akibat psikologis masing-masing ; yang pertama dianggap profan sedangkan yang kedua sakral. Kenyatan ini menunjukkan pula bahwa UU perkawinan belum diakui sebagai hukum agama.

C.     Waris
Problem yang sama juga berlaku dalam masalah hukum waris. Sampai hari ini hukum waris sebagaimana yang tertulis di dalam kitab-kitab fiqh klasik masih tetap belum mengalami perubahan. Pembagian waris antara laki-laki dan perempuan adalah     2 : 1. Upaya ke arah reformasi, reinterpretasi dan kontekstualisasi hukum waris seperti yang pernah dikemukakan oleh Munawir Syadzali telah menimbulkan kontroversi dan resistensi yang besar dan kritik yang sangat tajam dari sebagian besar masyarakat. Mereka belum bisa menerima reformasi tersebut karena dipandang menentang teks-teks (nushush) qath’i (pasti). Nash Qathi’ adalah teks yang memiliki makna yang jelas dan tegas atau teks yang hanya mengandung satu makna. Ketentuan pembagian waris termasuk dalam katagori ini, karena dikemukakan dalam bahasa matematis. Teks-teks hukum seperti ini menurut para ahli hukum Islam tidak boleh dilakukan interpretasi. Sebuah kaedah fiqh menyatakan : “La ijtihad ma’a al nash”(tidak ada nalar bersama nash) atau “La majaala li al Ijtihad fi wurud al Nash al Qath’i”(tidak (boleh) ada bidang nalar ketika ada nash yang pasti).
Dengan mengesampingkan perdebatan mengenai teori qathi’-zhanni yang mungkin bisa dilakukan, satu hal yang perlu mendapat perhatian kita adalah mengenai konteks sosio-kultural ketika hukum tersebut diberlakukan. Secara pasti kita dapat mengatakan bahwa keputusan al Qur-an memberi waris kepada perempuan merupakan langkah transformatif yang sangat progresif atas tradisi yang berlangsung ketika itu. Tradisi dan budaya Arab pra Islam seperti diketahui bukan hanya tidak memberikan hak apa-apa kepada perempuan bahkan juga sangat membenci makhluk jenis kelamin ini. Islam melalui ayat-ayat waris yang diturunkan secara tidak langsung mengkritik tradisi tersebut. Islam menghargai perempuan sebagai makhluk yang memiliki hak-hak otonom baik atas dirinya sendiri maupun atas harta benda (properti) atau hak milik. Pada sisi lain secara sosio-kultural pula fungsi-fungsi ekonomi keluarga diurus dan dilakukan oleh laki-laki sepenuhnya. Dengan kata lain seluruh kebutuhan ekonomi isteri dan keluarga menjadi tanggungjawab laki-laki (suami/ayah). Laki-laki juga menanggung beban kewajiban mahar (mas kawin), sandang pangan dan papan (tempat tinggal) isterinya, serta mut’ah jika terjadi perceraian. Sementara isteri berfungsi melayani kebutuhan seksual suami dan mengurus rumah tangga. Fungsi ekonomis keluarga seperti ini dikemukakan secara jelas dalam surah al Nisa 34 di atas. Dalam konstruksi sosial-ekonomi seperti ini, maka pembagian waris 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan adalah keputusan yang proporsional, adil.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uraian serba singkat di atas tampak jelas bahwa pembaruan hukum keluarga Islam merupakan langkah yang perlu dilakukan. Tidak ada alasan lain dari langkah ini kecuali didasarkan atas keinginan yang kuat untuk memperlihatkan watak hukum Islam sebagai hukum yang dinamis dan dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah tersebut dalam konteks sosial yang berubah, tanpa mengabaikan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah tegaknya kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan manusia. Kemaslahatan dan keadilan disepakati para ulama fiqh sebagai tujuan utama hukum Islam (maqashid al syari’ah al Islamiyah).
Karya-karya fiqh klasik yang demikian kaya raya dan memuat beragam pandangan itu sesungguhnya memperlihatkan kepada kita bahwa pikiran-pikiran fiqh tersebut disampaikan di dalam rangka menjawab kasus-kasus yang terjadi dalam ruang dan waktunya masing-masing di bawah prinsip kemaslahatan sosial tersebut. Sulit difahami bahwa fatwa-fatwa fiqh tersebut dimaksudkan oleh pengarangnya (para mujtahid) untuk diberlakukan di seluruh ruang dan sepanjang waktu. Oleh karena itu disadari sepenuhnya bahwa produk-produk fiqh yang dihasilkan para mujtahid adalah sesuatu yang paling baik, paling maslahat, kontekstual dan relevan untuk ruang dan waktunya sendiri-sendiri.
Keniscayaan perubahan hukum karena konteks sosial yang berubah, dalam sejarah pernah diberikan contohnya oleh Umar bin al Khattab untuk sejumlah kasus, termasuk terhadap teks yang jelas dan tegas, misalnya tentang al thalaq al tsalats (talak tiga). Demikian juga para sahabat yang lain dan Imam Syafi’i melalui qaul qadim dan jadid nya. Perubahan hukum karena perubahan konteks sosial juga telah diberikan elaborasi secara cukup luas oleh Ibnu al Qayyim al Jauziyah, guru Ibnu Katsir dalam karya populernya “A’lam al Muwaqqi’in”. Dia membuat judul besar untuk uraian ini : “Taghayyur al Fatwa wa ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al Azminah wa al Amkinah wa al Ahwal wa al Niyyat wa al ‘Awaid”(perubahan fatwa dan perbedaannya didasarkan pada pertimbangan perubahan waktu, tempat, kondisi sosial, motivasi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat). Maka adalah sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat dimaknai sebagai merubah atau mengganti hukum-hukum Tuhan. Syeikh Muhammad Musthafa Syalabi dengan kritis menjawab persoalan ini. Dia mengatakan :”Perubahan hukum sama sekali bukan berarti pembatalan (terhadap hukum-hukumTuhan). Adalah tidak mungkin bagi siapa saja betapapun kedudukannya dapat menyetujui pandangan tersebut. Perubahan hukum tersebut sejatinya terjadi karena kondisi sosial yang berubah dan karena kemaslahatannya yang berganti. Hukum-hukum yang dibangun atas dasar kemaslahatan akan tergantung atas ada atau tidak adanya kemaslahatan itu”.(Syalabi, Ta’lil al Ahkam, 316). Apa yang terjadi adalah sebaliknya ; langkah-langkah perubahan tersebut justeru di dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip syari’ah dalam situasi-situasi yang berubah.
Syalabi lebih jauh berpandangan tentang kemungkinan perubahan atas hukum yang disepati (ijma’) manakala ia sudah tidak lagi sejalan dengan kemaslahatan umat. Katanya: “Saya menyetujui pendapat mereka bahwa memang tidak boleh merubah ijma’ (konsensus) hanya ketika ijma’ tersebut benar-benar nyata, disampaikan kepada kita melalui jalan yang benar terhadap suatu hukum yang kemaslahatannya tidak berubah sepanjang masa”.(ibid, 327).Pernyataan ini tentu dapat difahami bahwa terhadap masalah-masalah yang kemaslahatannya bisa berubah-ubah, ijma’ tidak selamanya dapat dipertahankan. Dan kita mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al ahwal al syakhshiyyah merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa berubah-ubah kemaslahatannya.
Terkait erat dengan kaidah hukum ini, ada sejumlah kaidah fiqh lain yang memberikan kemungkinan kepada kita untuk melakukan perubahan hukum. Antara lain ; “Al Hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman” (hukum tergantung pada illatnya /logika rasional), Al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al Syar’ (ketetapan yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’) atau “Tasharruf al Imam ‘ala al Ra’iyyah manuthun bi al mashlahah” (kebijakan publik pemerintah harus didasarkan atas kemaslahatan masyarakat) dan lain-lain. Beberapa kaidah hukum ini dan masih ada sejumlah kaidah lain menunjukkan kepada kita bahwa teks-teks hukum klasik tidak semata-mata difahami dari bunyi tekstualnya dan diberlakukan secara final melainkan perlu dianalisis melalui pikiran-pikiran rasional, konteks sosial-ekonomi dan politik yang mengitarinya kemudian menghubungkannya dengan kenyataan-kenyataan empiris kontemporer menyangkut aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik serta tradisi-tradisi baru lainnya.
Kini diakui atau tidak zaman telah berubah dalam bentuknya yang luar biasa. Tradisi-tradisi juga berbuah. Fakta-fakta sosial menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak lagi berperan dalam urusan-urusan domestik dan tidak juga sekedar mempunyai fungsi reproduksi ; mengandung, menyusui, melahirkan dan mengasuh. Kaum perempuan juga dalam skala yang cukup besar telah terbukti memiliki peran-peran produksi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Tingkat pendidikan dan intelektualitas mereka juga terbukti tidak selalu berada di bawah laki-laki. Sebagian dari mereka justeru melebihi laki-laki. Dengan begitu kita tidak bisa melakukan generalisasi bahwa tingkat dan potensi intelektual semua perempuan lebih rendah dari tingkat dan potensi intelaktual semua laki-laki. Demikian juga dengan kemampuan fisiknya. Generalisasi sama sekali tidak realistis. Di sinilah, maka reinterpretasi dan reformulasi fiqh dalam masalah-masalah hukum keluarga Islam termasuk dalam UU Perkawinan dan KHI perlu mendapatkan apresiasi yang serius sedemikian rupa sehingga kaum perempuan Indonesia mendapatkan hak-haknya secara adil dan dijalankan melalui proses-proses yang demokratis. Bukankah pilar utama hukum adalah keadilan? Pembaruan Hukum Keluarga Islam dengan begitu perlu ditempuh melalui tiga arah ; sosio-kultural, struktural (peraturan perundang-undangan) dan politik.

0 komentar :

Posting Komentar