BAB I
PENDAHULUAN
Seiring perkembangan zaman yang serba
kompleks akan bermacam-macam masalah yang timbul seiring perkembangan ilmu
pengetahuan, produksi dan gaya hidup baerdampak pada bermacam-macam masalah
yang baru pula. Telah kita ketahui bahwa dalam Islam semua hal muamalah baik
secara vertical maupun horizontal mempunyai hokum yang dikandung. Itulah rahmat
dari agama islam yang mengarahkan umat islam menuju jalan yang benar melalui
ketetapan hokum dalam bentuk nash. Hal yang dicemaskan adalah apakah Islam
mampu menjawab tantangan zaman yang serba berkembang sedangkan adakalanya nash tidak sesuai bahkan
tidak terdapat nash yang menunjukkan akan hukum masalah tersebut. Diperlukan
adanya pembaharuan dan ijtihad guna kesejahteraan umat Islam di zaman yang
berkembang ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkawinan
Di dalam masalah perkawinan, bangunan
budaya patriarkhis ini tampak nyata.Ini misalnya terlihat dalam definisi
perkawinan yang dirumuskan oleh mayoritas ulama fiqh terkemuka. Dari sejumlah
besar pandangan para ahli fiqh empat mazhab, Abd al Rahman Al Jaziri kemudian
menyimpulkan bahwa nikah adalah akad yang memberikan hak (keabsahan) kepada
laki-laki untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya. Al
Jaziri mengatakan ini merupakan pengertian yang disepakati para ulama meski
diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda. Hal yang perlu dicatat dari
definisi tersebut adalah bahwa perkawinan tampak hanya dimaksudkan sebagai
wahana kenikmatan seksual, atau paling tidak ia (rekreasi, kesenangan seksual)
sebagai tujuan utama. Tujuan lain sebagaimana disebutkan al Qur-an bahwa
perkawinan dimaksudkan untuk sebuah kehidupan bersama yang sehat dan penuh
cinta-kasih tidak dikemukakan secara eksplisit.(Q.S. al Rum, 21). Ayat al
Qur-an ini agaknya merupakan kritik Tuhan terhadap perkawinan yang semata-mata
untuk tujuan rekreasi sebagaimana tradisi masyarakat selam itu : “Inna fi
dzalika la aayaat li Qaum Yatafakkarun” (Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar
ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir).
Hilangnya perkawinan sebagai
interaksi yang secara sosial memiliki makna kemanusiaan, cinta dan kebersamaan
akan dapat memunculkan sejumlah masalah. Lebih dari itu adalah bahwa penikmatan
seksual tersebut tampak hanya diberikan kepada laki-laki (suami) bukan kepada
perempuan.. Pandangan-pandangan ini membawa konsekuensi bahwa laki-laki dapat
memaksa isterinya dan tidak sebaliknya untuk berhubungan seksual. Kalaupun ada
kewajiban maka ia hanya sekali saja dan dalam rangka menjaga moralitas isteri
(anna li al rajul an yujbira al mar’ah ‘ala al istimta’ biha bi khilafiha fa
laisa laha jabruhu illa marrah wahidah wa yajibu ‘alaihi diyanatan).
B. Perceraian
Dalam masalah putusnya hubungan
perkawinan (perceraian, talak) keputusan untuk bercerai atau tidak sangat
tergantung kepada laki-laki (suami). Suami dapat menjatuhkan kata-kata cerai
kepada isterinya kapan saja dan di mana saja. Argumen yang dikemukakan untuk
masalah ini tetap menggunakan argumen tafsir ayat tentang “keunggulan
laki-laki” (afdhaliyah al rajul) dan kekuasaan ekonomi ; laki-laki rasional dan
penuh pertimbangan, sementara perempuan cepat emosional, laki-laki menafkahi,
perempuan dinafkahi, laki-laki membayar maskawin dan kebutuhan ekonomi lainnya,
perempuan menerima semuanya, dst. Ini benar-benar bias gender. Jika relasi
suami isteri adalah relasi privacy, maka perlindungan hukum bagi perempuan
menjadi sangat sulit dan tertutup. Dengan begitu, keselamatan perempuan dari
tindakan suami untuk suatu perceraian sangat tergantung pada tingkat moralitas
suaminya yang tentu saja sangat subyektif. Dengan bahasa yang provokatif ;
nasib perempuan memang berada di tangan laki-laki.
Bagaimana jika perempuan (isteri) ingin
bercerai dari suaminya karena alasan-alasan yang dibenarkan ?. Para ahli fiqh
menyatakan bahwa perempuan dapat mengajukan perceraian melalui apa yang disebut
“khulu’”. Ia adalah perceraian yang diajukan isteri kepada suami dengan
‘iwadh/fidyah (uang pengganti atau tebusan) kepada suami. Dalam bahasa yang
umum ‘khulu’ sering dikatakan sebagai gugatan cerai. Keputusan kata cerai dalam
hal ini tetap diucapkan oleh suami. Dengan demikian perbedaan antara talak
dengan khulu’ hanya terjadi dalam proses, sementara keputusan tetap berada
ditangan laki-laki (suami).
Dalam rangka menghindarkan terjadinya
perceraian sepihak yang tidak terkontrol, subyektif dan sering merugikan
perempuan, sejumlah negara Islam telah melakukan pembaharuan hukum melalui
proses perceraian di pengadilan termasuk dalam hal ini adalah rumusan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia. KHI ini berbunyi : “la yaqa’ al thalaq
illa amam al qadhi”.(Perceraian hanya jatuh setelah melalui proses di
pengadilan). Walaupun demikian, tradisi perceraian sepihak (oleh suami)
sebagaimana ketentuan dalam kitab-kitab fiqh masih terus berlangsung di
masyarakat. Kitab ensiklopedi fiqh kontemporer : “al Fiqh al Islami wa
Adillatuhu” karya Wahbah al Zuhaili, misalnya, bahkan tetap mempertahankan
keabsahan ini sambil menolak keputusan perceraian di tangan lembaga peradilan.
“Ini tidak ada gunanya dan bertentangan dengan syara’”. Wahbah selanjutnya
menyatakan bahwa perceraian oleh laki-laki tetap sah tanpa harus menunggu
keputusan hakim. Proses perceraian di pengadilan menurutnya justeru akan
membongkar atau menelanjangi rahasia rumah tangga di hadapan publik.(Wahbah, al
Fiqh, IX/6878). Pandangan dan dengan argumen yang sama sebelumnya telah
dikemukakan oleh Dr. Musthafa al Siba’i. (Baca : Siba’i, Al Mar-ah baina al
Fiqh wa al Qanun, 128). Argumen terakhir ini memperlihatkan bahwa wilayah
domestik adalah wilayah privat yang tidak bisa diintervensi pihak luar, bahkan
pihak negara, meski di dalamnya mengandung kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap kemanusiaan.
Perceraian yang sah dalam Negara
Indonesia adalah perceraian yang dicatatkan di KUA. Ketentuan ini berbeda
dengan kesepakatan ulama klasik yang mencukupkan hanya dengan dua saksi tampa
adanya pencatatan. Bahkan ada yang mencukupkan tanpa saksipun perceraian tetap
sah dimata hukum. Uraian di atas
memperlihatkan kepada kita bahwa hukum perkawinan dan perceraian yang berjalan
di Indonesia menganut dua sistem hukum ; yaitu menurut UU No. 1/1974 berikut
KHI dan menurut kitab-kitab fiqh. Sebagian masyarakat menyebut yang pertama sebagai
hukum negara atau sekuler, sementara yang kedua disebut sebagai hukum agama.
Pembedaan ini memiliki akibat psikologis masing-masing ; yang pertama dianggap
profan sedangkan yang kedua sakral. Kenyatan ini menunjukkan pula bahwa UU
perkawinan belum diakui sebagai hukum agama.
C. Waris
Problem yang sama juga berlaku dalam
masalah hukum waris. Sampai hari ini hukum waris sebagaimana yang tertulis di
dalam kitab-kitab fiqh klasik masih tetap belum mengalami perubahan. Pembagian
waris antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1. Upaya ke arah reformasi,
reinterpretasi dan kontekstualisasi hukum waris seperti yang pernah dikemukakan
oleh Munawir Syadzali telah menimbulkan kontroversi dan resistensi yang besar
dan kritik yang sangat tajam dari sebagian besar masyarakat. Mereka belum bisa
menerima reformasi tersebut karena dipandang menentang teks-teks (nushush)
qath’i (pasti). Nash Qathi’ adalah teks yang memiliki makna yang jelas dan
tegas atau teks yang hanya mengandung satu makna. Ketentuan pembagian waris
termasuk dalam katagori ini, karena dikemukakan dalam bahasa matematis.
Teks-teks hukum seperti ini menurut para ahli hukum Islam tidak boleh dilakukan
interpretasi. Sebuah kaedah fiqh menyatakan : “La ijtihad ma’a al nash”(tidak
ada nalar bersama nash) atau “La majaala li al Ijtihad fi wurud al Nash al
Qath’i”(tidak (boleh) ada bidang nalar ketika ada nash yang pasti).
Dengan mengesampingkan perdebatan
mengenai teori qathi’-zhanni yang mungkin bisa dilakukan, satu hal yang perlu
mendapat perhatian kita adalah mengenai konteks sosio-kultural ketika hukum
tersebut diberlakukan. Secara pasti kita dapat mengatakan bahwa keputusan al
Qur-an memberi waris kepada perempuan merupakan langkah transformatif yang
sangat progresif atas tradisi yang berlangsung ketika itu. Tradisi dan budaya
Arab pra Islam seperti diketahui bukan hanya tidak memberikan hak apa-apa
kepada perempuan bahkan juga sangat membenci makhluk jenis kelamin ini. Islam
melalui ayat-ayat waris yang diturunkan secara tidak langsung mengkritik
tradisi tersebut. Islam menghargai perempuan sebagai makhluk yang memiliki
hak-hak otonom baik atas dirinya sendiri maupun atas harta benda (properti)
atau hak milik. Pada sisi lain secara sosio-kultural pula fungsi-fungsi ekonomi
keluarga diurus dan dilakukan oleh laki-laki sepenuhnya. Dengan kata lain
seluruh kebutuhan ekonomi isteri dan keluarga menjadi tanggungjawab laki-laki
(suami/ayah). Laki-laki juga menanggung beban kewajiban mahar (mas kawin),
sandang pangan dan papan (tempat tinggal) isterinya, serta mut’ah jika terjadi
perceraian. Sementara isteri berfungsi melayani kebutuhan seksual suami dan
mengurus rumah tangga. Fungsi ekonomis keluarga seperti ini dikemukakan secara
jelas dalam surah al Nisa 34 di atas. Dalam konstruksi sosial-ekonomi seperti
ini, maka pembagian waris 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan adalah
keputusan yang proporsional, adil.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian serba singkat di atas
tampak jelas bahwa pembaruan hukum keluarga Islam merupakan langkah yang perlu
dilakukan. Tidak ada alasan lain dari langkah ini kecuali didasarkan atas
keinginan yang kuat untuk memperlihatkan watak hukum Islam sebagai hukum yang
dinamis dan dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah tersebut dalam konteks
sosial yang berubah, tanpa mengabaikan prinsip-prinsipnya. Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah tegaknya kemaslahatan, keadilan dan kesetaraan manusia.
Kemaslahatan dan keadilan disepakati para ulama fiqh sebagai tujuan utama hukum
Islam (maqashid al syari’ah al Islamiyah).
Karya-karya fiqh klasik yang demikian
kaya raya dan memuat beragam pandangan itu sesungguhnya memperlihatkan kepada
kita bahwa pikiran-pikiran fiqh tersebut disampaikan di dalam rangka menjawab
kasus-kasus yang terjadi dalam ruang dan waktunya masing-masing di bawah
prinsip kemaslahatan sosial tersebut. Sulit difahami bahwa fatwa-fatwa fiqh
tersebut dimaksudkan oleh pengarangnya (para mujtahid) untuk diberlakukan di
seluruh ruang dan sepanjang waktu. Oleh karena itu disadari sepenuhnya bahwa
produk-produk fiqh yang dihasilkan para mujtahid adalah sesuatu yang paling
baik, paling maslahat, kontekstual dan relevan untuk ruang dan waktunya
sendiri-sendiri.
Keniscayaan perubahan hukum karena
konteks sosial yang berubah, dalam sejarah pernah diberikan contohnya oleh Umar
bin al Khattab untuk sejumlah kasus, termasuk terhadap teks yang jelas dan
tegas, misalnya tentang al thalaq al tsalats (talak tiga). Demikian juga para
sahabat yang lain dan Imam Syafi’i melalui qaul qadim dan jadid nya. Perubahan
hukum karena perubahan konteks sosial juga telah diberikan elaborasi secara
cukup luas oleh Ibnu al Qayyim al Jauziyah, guru Ibnu Katsir dalam karya
populernya “A’lam al Muwaqqi’in”. Dia membuat judul besar untuk uraian ini :
“Taghayyur al Fatwa wa ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al Azminah wa al Amkinah
wa al Ahwal wa al Niyyat wa al ‘Awaid”(perubahan fatwa dan perbedaannya
didasarkan pada pertimbangan perubahan waktu, tempat, kondisi sosial, motivasi
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat). Maka adalah sulit bagi kita untuk
mengatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat dimaknai sebagai merubah
atau mengganti hukum-hukum Tuhan. Syeikh Muhammad Musthafa Syalabi dengan
kritis menjawab persoalan ini. Dia mengatakan :”Perubahan hukum sama sekali
bukan berarti pembatalan (terhadap hukum-hukumTuhan). Adalah tidak mungkin bagi
siapa saja betapapun kedudukannya dapat menyetujui pandangan tersebut.
Perubahan hukum tersebut sejatinya terjadi karena kondisi sosial yang berubah
dan karena kemaslahatannya yang berganti. Hukum-hukum yang dibangun atas dasar
kemaslahatan akan tergantung atas ada atau tidak adanya kemaslahatan
itu”.(Syalabi, Ta’lil al Ahkam, 316). Apa yang terjadi adalah sebaliknya ;
langkah-langkah perubahan tersebut justeru di dalam rangka menegakkan
prinsip-prinsip syari’ah dalam situasi-situasi yang berubah.
Syalabi lebih jauh berpandangan tentang
kemungkinan perubahan atas hukum yang disepati (ijma’) manakala ia sudah tidak
lagi sejalan dengan kemaslahatan umat. Katanya: “Saya menyetujui pendapat
mereka bahwa memang tidak boleh merubah ijma’ (konsensus) hanya ketika ijma’
tersebut benar-benar nyata, disampaikan kepada kita melalui jalan yang benar
terhadap suatu hukum yang kemaslahatannya tidak berubah sepanjang masa”.(ibid,
327).Pernyataan ini tentu dapat difahami bahwa terhadap masalah-masalah yang
kemaslahatannya bisa berubah-ubah, ijma’ tidak selamanya dapat dipertahankan.
Dan kita mengetahui dengan pasti bahwa masalah-masalah al ahwal al syakhshiyyah
merupakan bagian dari masalah-masalah yang bisa berubah-ubah kemaslahatannya.
Terkait erat dengan kaidah hukum ini,
ada sejumlah kaidah fiqh lain yang memberikan kemungkinan kepada kita untuk
melakukan perubahan hukum. Antara lain ; “Al Hukm yaduru ma’a illatihi wujudan
wa ‘adaman” (hukum tergantung pada illatnya /logika rasional), Al Tsabit bi al
Urf ka al Tsabit bi al Syar’ (ketetapan yang didasarkan atas tradisi sama
dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’) atau “Tasharruf al Imam ‘ala al
Ra’iyyah manuthun bi al mashlahah” (kebijakan publik pemerintah harus
didasarkan atas kemaslahatan masyarakat) dan lain-lain. Beberapa kaidah hukum
ini dan masih ada sejumlah kaidah lain menunjukkan kepada kita bahwa teks-teks
hukum klasik tidak semata-mata difahami dari bunyi tekstualnya dan diberlakukan
secara final melainkan perlu dianalisis melalui pikiran-pikiran rasional,
konteks sosial-ekonomi dan politik yang mengitarinya kemudian menghubungkannya
dengan kenyataan-kenyataan empiris kontemporer menyangkut aspek-aspek sosial,
ekonomi dan politik serta tradisi-tradisi baru lainnya.
Kini diakui atau tidak zaman telah
berubah dalam bentuknya yang luar biasa. Tradisi-tradisi juga berbuah.
Fakta-fakta sosial menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak lagi berperan dalam
urusan-urusan domestik dan tidak juga sekedar mempunyai fungsi reproduksi ;
mengandung, menyusui, melahirkan dan mengasuh. Kaum perempuan juga dalam skala
yang cukup besar telah terbukti memiliki peran-peran produksi baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Tingkat pendidikan dan intelektualitas
mereka juga terbukti tidak selalu berada di bawah laki-laki. Sebagian dari
mereka justeru melebihi laki-laki. Dengan begitu kita tidak bisa melakukan
generalisasi bahwa tingkat dan potensi intelektual semua perempuan lebih rendah
dari tingkat dan potensi intelaktual semua laki-laki. Demikian juga dengan
kemampuan fisiknya. Generalisasi sama sekali tidak realistis. Di sinilah, maka
reinterpretasi dan reformulasi fiqh dalam masalah-masalah hukum keluarga Islam
termasuk dalam UU Perkawinan dan KHI perlu mendapatkan apresiasi yang serius
sedemikian rupa sehingga kaum perempuan Indonesia mendapatkan hak-haknya secara
adil dan dijalankan melalui proses-proses yang demokratis. Bukankah pilar utama
hukum adalah keadilan? Pembaruan Hukum Keluarga Islam dengan begitu perlu
ditempuh melalui tiga arah ; sosio-kultural, struktural (peraturan
perundang-undangan) dan politik.
0 komentar :
Posting Komentar