BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Realita
yang berkembang saat ini, banyak sekali akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa
hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dibawah tangan bagi
isteri yang dipoligami dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan agar anak-anak
hasil pernikahan poligami dibawah tangan ini mempunyai kekuatan hukum dan
menimbulkan hak-hak keperdataan yang dapat mengukuhkan status anak-anak tersebut.
Berkenaan
dengan permasalahan tersebut diatas, penulis mencoba menawarkan solusi dengan
mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak. Akan tetapi dalam praktek di
lapangan, penyelesaian dengan cara seperti ini sangatlah dilematis, karena akan
berbenturan dengan Permohonan Pengesahan Nikah.
B.
Rumusan Masalah
- Dalam pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak, apakah harus dibuktikan sampai pada soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak yang dimohonkan asal-usulnya, atau cukup didasarkan pada pengakuan orang tua bahwa anak dimaksud adalah anak yang lahir dari pernikahan kedua orang tua tersebut;
- Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak digali sampai pada persoalan sah tidaknya pernikahan kedua orang tua anak dimaksud, apakah hal ini tidak terlalu berlebihan, karena untuk mengetahui sah tidaknya pernikahan seseorang itu adalah kompetensi permohonan Pengesahan Nikah;
- Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak cukup didasarkan pada pengakuan kedua orang tuanya (tentu saja didukung alat bukti) tanpa mengungkap sah tidaknya pernikahan, apakah tidak memberikan peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan poligami dibawah tangan yang Itsbat Nikahnya ditolak oleh Pengadilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut
hukum perdata yang berlaku di Indonesia, penetapan asal usul anak dapat
dilakukan secara sukarela dan pengakuan yang dipaksakan. Pengakuan anak secara
sukarela adalah pernyataan sebagaimana yang ditentukan dalam hukum perdata
bahwa seorang ayah dan ibunya atau ibunya mengakui seorang anak yang lahir dari
seorang ibunya itu betul anak dari hasil hubungan biologis mereka dan hubungan
itu tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, serta bukan karena hubungan zina dan
sumbang. Sedangkan pengakuan yang dipaksakan adalah pengakuan yang terjadi
karena adanya putusan hakim dalam suatu gugatan asal usul seorang anak. Hal ini
berkaitan dengan Pasal 287 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana
disebutkan apabila terjadi salah satu kejahatan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 285-288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka atas
kejahatan itu dapat diajukan ke Pengadilan. Berdasarkan bukti-bukti yang kuat,
hakim dapat menetapkan bahwa laki-laki yang berbuat jahat itu sebagai bapak
yang sah dari seorang anak yang lahir
dari perbuatan jahatnya.
Sebernarnya
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mencantumkan
penetapan asal usul anak menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Oleh karena
adanya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1977 yang masih membatasi
kewenangan Peradilan Agama, maka penetapan asal usul anak itu masih
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri. Baru setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 kewenangan
tentang penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam menjadi kewenangan
Peradilan Agama. Penetapan asal usul anak bagi yang beragama Islam berlaku hukum
perdata Islam dan diselesaikan oleh lembaga Peradilan Agama. Penetapan atau
putusan Pengadilan Agama menjadi dasar bagi Kantor Catatan Sipil untuk
mengeluarkan akta kelahiran anak bagi yang memerlukannya.
Perkara
penetapan asal usul anak termasuk perkara volunteer. Oleh karena
itu,pemeriksaannya sama dengan
pemeriksaan perkara volunteer yang lain dengan produk penetapan, bukan
putusan, perkara penetapan asal usul anak dapat menjadi perkara contentious
jika ada pihak-pihak yang dijadikan tergugat dalam perkara tersebut. Jika
perkara penetapan asal usul anak diajukan dengan cara contentious, maka
pemeriksaannya dilaksanakan dengan cara pembuktian yang lengkap (istbat
nasab bil bayyinah) tidak lagi dengan cara pemeriksaan yang lazim berlaku dalam perkara volunteer atau
prosedur penetapan asal usul anak dengan pengakuan (istbat nasab bil ikrar).
Dalam pemeriksaan perkara penetapan perkara volunteer yang lain. Dalam
pemeriksaan perkara penetapan asal usul anak yang harus dibuktikan adalah
syarat-syarat pengakuan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bukan benar
tidaknya pengakuan itu. Apabila syarat-syarat telah ditetapkan oleh hukum Islam
sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut. Jika salah satu syarat tidak
terpenuhi, maka pengakuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan permohonan
penetapan asal usul anak yang diajukan itu ditolak.
Salah
satu kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang didalam
penjelasan pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 adalah penetapan asal-usul seorang anak.
Tentang asal usul anak ini telah diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.
Di
dalam Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) dijelaskan
bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran.
Kemudian pada ayat (2) nya disebutkan bahwa, Bila akta kelahiran tersebut dalam
ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Kalau
dicermati secara mendalam bunyi pasal 55 ayat (2) tersebut diatas, terkandung
makna bahwa dalam memeriksa perkara permohonan asal usul anak harus benar-benar
memperhatikan kondisi riil di lapangan apakah anak yang dimohonkan asal-usulnya
itu benarbenar anak yang lahir dari hasil perkawinan antara laki-laki dan
perempuan yang mengaku sebagai ayah ibu dari anak tersebut atau sekedar anak
yang diakui oleh laki-laki dan perempuan yang mengaku sebagai ayah ibunya.
Dalam
konteks pengertian perkawinan diatas, ada dua persepsi yang dapat dikembangkan
yaitu apakah perkawinan dimaksud adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat
formil dan materiil ataukah pernikahan yang hanya memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud pada pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu adanya:
1.
Kedua calon mempelai,
2.
Wali Nikah,
3.
Dua orang saksi dan
4.
Ijab Kabul.
Bagi
praktisi hukum yang berprinsip pernikahan harus memenuhi syarat formil dan
materiil, maka tertutp peluang bagi pihak-pihak yang ingin memohonkan penetapan
asal-usul anak yang diperoleh dari hasil pernikahan Poligami dibawah tangan,
karena dalam Pasal 9 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa seorang
yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
telah diizinkan oleh Pengadilan. Akan tetapi bagi yang berpedoman bahwa sahnya
pernikahan adalah apabila telah terpenuhi unsure a, b, c, d tersebut diatas,
maka peluang untuk memohonkan penetapan asal-usul anak sangat besar karena anak
yang dilahirkan dari perkawinan yang telah memenuhi unsur sebagaimana yang
dimaksud pasal 14 Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan anak sah. Hal ini
sesuai dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 99 Kompilasi
Hukum Islam.
Kedua
pola pikir diatas cenderung mengarah pada pola pemeriksaan perkara Pengesahan
Nikah dan jika hal ini dipedomani, maka akan timbul kerancuan dimana wilayah
Pengesahan Nikah dan dimana pula yang menjadi wilayah Asal-usul anak.
Adapun
bagi praktisi hukum yang berprinsip bahwa pemeriksaan penetapan asal-usul anak
cukup didasarkan pada pengakuan orang tuanya saja (tentu saja ya didukung
bukti), maka akan terbuka peluang untuk terjadinya penyelundupan hukum bagi
orang-orang yang melegalkan. Poligami dibawah tangan karena sepanjang anak
hasil poligami dibawah tangan tersebut diakui oleh orang tuanya yang dikuatkan
dengan kesaksian orang-orang yang tahu akan keberadaan pasangan suami isteri
yang melahirkan anak tersebut, maka anak tersebut akan memperoleh hak-hak
keperdataan seperti layaknya anak yang lahir dari pasangan suami isteri yang
pernikahannya dicatat didalam Register Akta Nikah.
Berpijak
dari dua gambaran tersebut diatas, maka dalam menyelesaikan perkara Penetapan Asal-usul
anak ini timbul semacam dilema, apakah dalam pemeriksaannya harus mengungkap
sah tidaknya pernikahan orang tua anak tersebut atau cukup diperiksa sebatas
pengakuan orang tuanya. Sebab kalau diungkap sampai soal sah tidaknya
pernikahan orang tua dari anak dimaksud, maka hal ini masuk wilayah Pengesahan
Nikah. Sebaliknya kalau hanya dibatasi pada pengakuan orang tuanya saja, maka
akan menimbulkan terjadinya penyelundupan hukum yang berakibat timbulnya hukum
baru dalam bidang keperdataan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Perkara Permohonan Penetapan Asal-usul
anak merupakan salah satu kompetensi absolute Pengadilan Agama yang
penyelesaiannya masih bersifat Dilematis
2.
Dikatakan dilematis karena disatu sisi
Asal-usul anak itu sama dengan perkara Pengesahan Nikah dan disisi lain perkara
tersebut mempunyai wilayah bidang garap sendiri yang konsekuensinya harus
diselesaikan dengan acara tersendiri, bukan dengan acara yang berlaku pada
pengesahan Nikah.
3.
Kalau diselesaikan dengan acara yang
berlaku pada pemeriksaan Asal-usul anak, maka akan memudahkan terjadinya
penyelundupan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta : Kencana, 2008.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Kencana, 2008.
M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta : Kencana,
2007.
M. Zein, Satria Efendi. Problematika Hukum Keluarga
Islam Kontemporer, Jakarta : Kencana, 2004.
0 komentar :
Posting Komentar