- SYARAT-SYARAT WAKAF
Ialah sesuatu
yang harus dipenuhi, meliputi :
- Syarat Wakif
Pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu,
artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia
kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh,
orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan
keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan
tidak sah mewakafkan hartanya
- Syarat Mauquf
Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia
memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang
diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu
mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya
(majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang
diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta
itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
- Syarat Mauquf ‘Alaih
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam,
pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang
dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah
seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh
dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir,
miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu
ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki
harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang
memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba
sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu
mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
- Syarat Shigat
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukkan
kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu.
Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti.
Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua
persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi
penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan
harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah
orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat
ghaira tammah.
- PERWAKAFAN MENURUT UNDANG-UNDANG
- PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
Hal ini termuat
dalam lembaran Negara No. 38 dan tambahan Lembaran Negara No. 3107 yang berlaku
sejak 17 Mei 1977. PP ini terdiri dari 7 BAB dan 18 Pasal.
Sejak pemerintahan colonial Belanda masalah wakaf ini telah diatur
sedemikian rupa, sebagaimana dijelaskan dalam :
- Bijbald op hed Staatsblad No. 6196 Bedehuizen, Moskebent, Toezicht op den bouevan Mohammedaan-sche begehuizen. Pada tanggal 31 Januari 1905. bahwa mendirikan tanah wakaf harus mendapat izin Bupati.
- Bijblad op het Staatsblad No. 12573. Bedehuizen, Vrijdagdiensten. Wakaps. Bogor, 4 Juni 1931. bahwa untuk mendirikan tanah wakaf harus mendapat izin Bupati untuk tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
- Bijblad op het Staatsblad No. 13390. Bedehuizen, Vrijdagdiensten. Wakaps. Buitenzorg, 24 Desember 1934. Bahwa wakaf supaya diberitahukan kepada Bupati untut dicatat dan dibebaskan dari pajak.
- Bijblad op het Staatsblad No. 13480. Bedehuizen, Vrijdagdeinsten. Wakaps. Buitenzorg, 27 Mei 1935. Bahwa wakaf cukup diberitahukan.
- UU Nomor 41 Tahun 2004
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga
dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan
Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda
wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk
kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Berdasarkan pertimbangan di atas dan untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam
rangka pembangunan hukum nasional
perlu dibentuk Undang-Undang tentang Wakaf. Pada dasarnya ketentuan mengenai perwakafan berdasarkan syariah dan peraturan
perundang-undangan dicantumkan
kembali dalam Undang-Undang ini, namun terdapat pula berbagai pokok pengaturan yang baru antara lain
sebagai berikut:
a. Untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi
harta benda wakaf, Undang-Undang ini
menegaskan bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta
diumumkan yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai wakaf dan harus dilaksanakan. Undang-Undang ini tidak memisahkan
antara wakaf-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan
wakaf-khairi yang dimaksudkan untuk
kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
b. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung
terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut
Undang-Undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta
benda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda
bergerak lainnya. Dalam hal benda bergerak berupa uang, Wakif dapat mewakafkan
melalui Lembaga Keuangan Syariah. Yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Syariah
adalah badan hukum Indonesia
yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bergerak di bidang keuangan syariah, misalnya badan hukum di bidang perbankan
syariah. Dimungkinkannya wakaf benda bergerak berupa uang melalui Lembaga
Keuangan Syariah dimaksudkan agar memudahkan Wakif untuk mewakafkan uang
miliknya.
c. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana
ibadah dan sosial tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum
dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf. Hal itu
memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf dapat memasuki wilayah kegiatan
ekonomi dalam arti luas sepanjang pengelolaan tersebut sesuai dengan prinsip
manajemen dan ekonomi Syariah.
d. Untuk mengamankan harta benda wakaf dari campur tangan pihak ketiga
yang merugikan kepentingan wakaf, perlu meningkatkan kemampuan profesional
Nazhir.
e. Undang-Undang ini juga mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia
yang dapat mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan. Badan
tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang
perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap Nazhir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan
persetujuan atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan
memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan
di bidang perwakafan.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, abdul Drs. H. M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia, ciputat
press:Jakarta,
2005
Anshori, Abdul Ghofur, Dr. SH. MH, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta:Nuansa aksara, 2006
Daud Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 2006
0 komentar :
Posting Komentar