Jumat, 28 November 2014

Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata


A.      PENGERTIAN
“Reglemen Indonesia yang Dibaharui” (RID) yang nama aslinya adalah “Herziene Indonesisch Reglement” (HIR) merupakan salah satu Undang-Undang peninggalan Hindia-Belanda, yang masih berlaku berkat pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan memuat baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata dimuka Pengadilan .
Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya Hukum perdata Materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan Hukum perdata Materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajkan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaannya dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "Eigenrichting" atau tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak sesuai keinginan sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting tidak diperbolehkan dalam rangka memenuhi atau melaksanakan hak pribadi.
Dan mengenai tindakan main hakim sendiri ada tiga pendapat  : ada yang mengatakan bahwa tindakan main hakin sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Bouneval Faure), dengan alasan bahwa oleh karena hukum acara perdata telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi pihak melalui Pengadilan, maka tindakan-tindakan yang dianggap diluar uapaya-upaya tersebut, atau yang dapat dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri, dilarang. Menurut pendapat yang kedua adalah eigenrichting pada asasnya dibolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa melakukannya dianggap sebagai upaya untuk melawan hukum (Cleveringa).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa tindakan main hkim sendiri pada asasnya tidak dibenarkan akan tetapi apabila peraturan yang tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tidak tertulis dibenarkan.
B.      RIWAYAT LAHIRNYA H.I.R.
Perancang Hukum acara perdata adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhn. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist atau hakim kenamaan pada waktu itu.
Pada tanggal 5 Desember beliau di beri tugas oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen untuk merencanakn sebah reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagai golongan Indonesia. Bagi mereka seelum itu berlaku Staatblad 1819 no. 20 yang emuat 7 pasal perihal hukum acara perdata.
Dan hanya dalam waktu 9 bulan saja, beliau sudah menyelesaikan semua dengan rancangannya ( Tgl. 6 Agustus 1847 ) serta peraturan penjelasannya. Mr. Witchers telah berhasil mengajukan sebuah rencana paraturan acara perdata sekaligus acara pidana yang terdiri dari 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal 432, dyang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R., memuata suatu ketentuan (ayat 1), bahwa dalam hal mengadili perkara bagi golongan Bumiputra di muka pengadilan, tidak boleh dipakai acara perdata yang melebihi atau laindari pada apa yang tekah ditetapkan degan reglemen itu sendiri.
C.      SUMBER HUKUM H.I.R.
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memprhatikan ketentuan UUDar. Tersebut menurut peraturan-peraturan Repubik Indonesia dahulu, yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan 1/1951 tersebut tidak lain adalah "Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia yang diperbaharui untuk daerah Jawa dan Madura.
Jadi Hukum Acara Perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur Hukum Acara Perdata lainnya ialah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (LN1), tentang perkawinan dan PP. No.9 Tahun 1975 (TLN 3050), tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 74 yang mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, pencegahan perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan dan sebagainya. Disamping itu ada Undang-Undang No.7 Tahun 89 tentang Peradilan Agama yang memberlakukan HIR.
Yurisprudensi juga merupakan sumber dari pada Hukum Acara Perdata antara lain dapat disebutkan putusan MA tanggal 14 April 1971 No.99 K/SIP/1971, yang menyeragamkan Hukum Acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW, dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugatan perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri, yang berarti bahwa Hakim harus mengusahakan erdamaian didalam Persidangan, seperti yang diatur dalam Pasal 53 HOCI.
Merupakan sumber Hukum Acara Perdata juga ialah perjanjian Internasional. Dapat disebutkan disini "Perjanjian Kerjasama Dibidang Peradilan Antara Republik Indonesia Dengan Kerajaan Thailand".
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan merupakan sumber Hukum Acara Perdata juga, sumber tempat Hakim dapat menggali Hukum Acara Perdata. Tetapi doktrin itu sendiri bukanlah suatu Hukum. Kewibawaan Ilmu Pengetahuan, karean didukung oleh para pengikutnya serta sifat obyektif dari ilmu pengettahuan itu sendiri menyebabkan putusan Hakim bernilai Obyektif juga.
D.     ASAS-ASAS H.I.R.
  1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari pada Hukum Acara pada umumnya, termasuk Hukum Acara Perdata ialah bahwa pelaksanaanya yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya akan diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Jika tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada Hakim, demikianlah bunyi Pemeo yang tidak asing lagi (Wo Kein Klager Ist, Ist Kein Richter, Nemo Judex Sine Actor).
  1. Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada asasnya  ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh Hakim. Hakim yang membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 5 Undang-Undang No. 14/1970)
  1. Sifat Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan Pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain adalah untuk memberi perlindungan Hak Asasi Manusia dalam bidang Peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas Peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini kita jumpai dalam pasal 17 dan 18 Undang-Undang 14 Tahun 1970.
  1. Mendengar Kedua Belah Pihak
Didalam Hukum Acara Perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No.14 Tahun 1970.
  1. Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan Pengadilan harus memuat Pasal-pasal atau alasan-alasan Putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban Hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, pihak, Pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu Hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang menjatuhkannya (Pasal 23 Undang-Undang No.14 Tahun 1970, 184 Ayat 1, 319 HIR, 195, 618 RBG).
  1. Beracara Dikenakan Biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya Kepaniteraan, dan biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan Peradilan Agama pihak yang serta biaya materai. Di samping itu apabila diminta bantuan seorang Pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4 Ayat 2, 5 Ayat 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, 121 Ayat 4, 182 dan 183 HIR).
  1. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mengharuskan para pihak yang berperkara untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga dalam pemeriksaan di Persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak yang dapat dibantu atau diwakili oleh oleh kuasanya kalu dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
E.      Ciri-Ciri Khas H.I.R.
Karena Inlandsch Reglement dahulu dimaksudkan sebagai disesuaikan keadaan masyarakat bangsa Indonesia diwaktu itu, yang sudah lebih dari seratus Tahun yang lalu, maka HIR mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a.        Pengajuan gugat dilakukan dalam bentuk "Surap Permohonan" (Introductief Request) dengan adanya kemungkinan mengajukan gugat itu secara lisan.
b.        Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam bidang Hukum.
c.        Adanya kewajiban bagi Hakim untuk sebelum memuali memeriksa perkaranya, agar mengusahakan dicapainya suatu perdamaian.
d.        Hakim mendengar langsung para pihak yang berperkara sendiri.
e.        Keaktifan Hakim sebelum dan selama pemeriksaan dimuka persidangan.
F.       Sifat hukum Hukum Acara Perdata.
Orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut Penggugat, sedangkan orang  yang ditarik kemuka Pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang ata beberapa orang disebut Tergugat. Apabila ada banyak Penggugat atau banyak Tergugat, maka mereka disebut Penggugat I, Penggugat II, dan seterusnya.
Diatas disebut, bahwa Penggugat adalah seorang yang merasa bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai Tergugat dalam suatu perkara kedepan Hakim. Sengaja dipakai perkataan "Merasa" dan "Dirasa" oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak Penggugat.
Dalam Hukum Acara Perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak adanya suatu perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar.




DAFTAR PUSTAKA


¤      Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., & Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, CV. Mandar Maju, 1997.
¤      Prof, R. Subekti, SH. Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989.
¤      Prof, Dr, Sudipno Merto Kusumo SH. Hukum Acara Perdata Indonesia.
¤      R. Soeparmono S.H. Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi, CV. Mandar Maju, 2000.

0 komentar :

Posting Komentar