A.
PENGERTIAN
“Reglemen Indonesia yang Dibaharui” (RID) yang nama aslinya adalah
“Herziene Indonesisch Reglement” (HIR) merupakan salah satu Undang-Undang
peninggalan Hindia-Belanda, yang masih berlaku berkat pasal II aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 dan memuat baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara
Perdata dimuka Pengadilan .
Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya Hukum perdata
Materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata
adalah peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan
Hukum perdata Materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa Hukum Acara
Perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajkan tuntutan hak, memeriksa
serta memutusnya dan pelaksanaannya dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam
hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan
hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "Eigenrichting"
atau tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri merupakan
tindakan untuk melaksanakan hak sesuai keinginan sendiri yang bersifat
sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan,
sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri
atau eigenrichting tidak diperbolehkan dalam rangka memenuhi atau melaksanakan
hak pribadi.
Dan mengenai tindakan main hakim sendiri ada tiga pendapat : ada yang mengatakan bahwa tindakan main
hakin sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Bouneval Faure), dengan
alasan bahwa oleh karena hukum acara perdata telah menyediakan upaya-upaya
untuk memperoleh perlindungan hukum bagi pihak melalui Pengadilan, maka
tindakan-tindakan yang dianggap diluar uapaya-upaya tersebut, atau yang dapat
dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri, dilarang. Menurut pendapat yang
kedua adalah eigenrichting pada asasnya dibolehkan atau dibenarkan, dengan
pengertian bahwa melakukannya dianggap sebagai upaya untuk melawan hukum
(Cleveringa).
Pendapat ketiga mengatakan bahwa tindakan main hkim sendiri pada
asasnya tidak dibenarkan akan tetapi apabila peraturan yang tidak cukup memberi
perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tidak tertulis
dibenarkan.
B.
RIWAYAT LAHIRNYA H.I.R.
Perancang Hukum acara perdata adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah
Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia.
Beliau adalah Jhn. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist atau hakim kenamaan pada
waktu itu.
Pada tanggal 5 Desember beliau di beri tugas oleh Gubernur Jenderal
(Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen untuk merencanakn sebah reglemen
tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagai golongan
Indonesia. Bagi mereka seelum itu berlaku Staatblad 1819 no. 20 yang emuat 7
pasal perihal hukum acara perdata.
Dan hanya dalam waktu 9 bulan saja, beliau sudah menyelesaikan semua
dengan rancangannya ( Tgl. 6 Agustus 1847 ) serta peraturan penjelasannya. Mr.
Witchers telah berhasil mengajukan sebuah rencana paraturan acara perdata
sekaligus acara pidana yang terdiri dari 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal
432, dyang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R., memuata suatu
ketentuan (ayat 1), bahwa dalam hal mengadili perkara bagi golongan Bumiputra
di muka pengadilan, tidak boleh dipakai acara perdata yang melebihi atau
laindari pada apa yang tekah ditetapkan degan reglemen itu sendiri.
C.
SUMBER HUKUM H.I.R.
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, maka hukum acara perdata pada
pengadilan negeri dilakukan dengan memprhatikan ketentuan UUDar. Tersebut
menurut peraturan-peraturan Repubik Indonesia
dahulu, yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan 1/1951 tersebut tidak lain
adalah "Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia
yang diperbaharui untuk daerah Jawa dan Madura.
Jadi Hukum Acara Perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk
Jawa dan Madura.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur Hukum Acara Perdata lainnya
ialah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (LN1), tentang perkawinan dan PP. No.9
Tahun 1975 (TLN 3050), tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 74 yang
mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, pencegahan
perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan dan sebagainya. Disamping itu ada
Undang-Undang No.7 Tahun 89 tentang Peradilan Agama yang memberlakukan HIR.
Yurisprudensi juga merupakan sumber dari pada Hukum Acara Perdata antara
lain dapat disebutkan putusan MA tanggal 14 April 1971 No.99 K/SIP/1971, yang
menyeragamkan Hukum Acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW,
dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatkan izin guna
mengajukan gugatan perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri, yang berarti
bahwa Hakim harus mengusahakan erdamaian didalam Persidangan, seperti yang
diatur dalam Pasal 53 HOCI.
Merupakan sumber Hukum Acara Perdata juga ialah perjanjian Internasional.
Dapat disebutkan disini "Perjanjian Kerjasama Dibidang Peradilan Antara
Republik Indonesia Dengan Kerajaan Thailand".
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan merupakan sumber Hukum Acara Perdata juga,
sumber tempat Hakim dapat menggali Hukum Acara Perdata. Tetapi doktrin itu
sendiri bukanlah suatu Hukum. Kewibawaan Ilmu Pengetahuan, karean didukung oleh
para pengikutnya serta sifat obyektif dari ilmu pengettahuan itu sendiri
menyebabkan putusan Hakim bernilai Obyektif juga.
D.
ASAS-ASAS H.I.R.
- Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari pada Hukum Acara pada umumnya, termasuk
Hukum Acara Perdata ialah bahwa pelaksanaanya yaitu inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan
ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan
atau tidak, sepenuhnya akan diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Jika
tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada Hakim, demikianlah bunyi
Pemeo yang tidak asing lagi (Wo Kein Klager Ist, Ist Kein Richter, Nemo
Judex Sine Actor).
- Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif
dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada Hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh Hakim. Hakim
yang membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya Peradilan (Pasal 5 Undang-Undang No. 14/1970)
- Sifat Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan Pengadilan pada asasnya adalah
terbuka untuk umum yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain
adalah untuk memberi perlindungan Hak Asasi Manusia dalam bidang Peradilan
serta untuk lebih menjamin obyektifitas Peradilan dengan mempertanggung
jawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada
masyarakat. Asas ini kita jumpai dalam pasal 17 dan 18 Undang-Undang 14 Tahun
1970.
- Mendengar Kedua Belah Pihak
Didalam Hukum Acara Perdata kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa Pengadilan
mengadili menurut Hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat
dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No.14 Tahun 1970.
- Putusan Harus Disertai Alasan
Semua putusan Pengadilan harus memuat Pasal-pasal atau
alasan-alasan Putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan atau
argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggung jawaban Hakim dari pada
putusannya terhadap masyarakat, pihak, Pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu
Hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya
alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu
yang menjatuhkannya (Pasal 23 Undang-Undang No.14 Tahun 1970, 184 Ayat 1, 319
HIR, 195, 618 RBG).
- Beracara Dikenakan Biaya
Biaya perkara ini meliputi biaya Kepaniteraan, dan
biaya untuk pemanggilan, pemberitahuan Peradilan Agama pihak yang serta biaya
materai. Di samping itu apabila diminta bantuan seorang Pengacara, maka harus
pula dikeluarkan biaya.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4
Ayat 2, 5 Ayat 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, 121 Ayat 4, 182 dan 183 HIR).
- Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mengharuskan para pihak yang berperkara
untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga dalam pemeriksaan di Persidangan terjadi
secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi
para pihak yang dapat dibantu atau diwakili oleh oleh kuasanya kalu
dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian hakim tetap wajib
memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak
mewakilkan kepada seorang kuasa.
E.
Ciri-Ciri Khas H.I.R.
Karena Inlandsch Reglement dahulu dimaksudkan sebagai disesuaikan keadaan
masyarakat bangsa Indonesia
diwaktu itu, yang sudah lebih dari seratus Tahun yang lalu, maka HIR mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Pengajuan gugat dilakukan dalam bentuk
"Surap Permohonan" (Introductief Request) dengan adanya kemungkinan
mengajukan gugat itu secara lisan.
b.
Tidak ada kewajiban untuk menguasakan
kepada seorang juru kuasa yang ahli dalam bidang Hukum.
c.
Adanya kewajiban bagi Hakim untuk sebelum
memuali memeriksa perkaranya, agar mengusahakan dicapainya suatu perdamaian.
d.
Hakim mendengar langsung para pihak yang
berperkara sendiri.
e.
Keaktifan Hakim sebelum dan selama
pemeriksaan dimuka persidangan.
F.
Sifat hukum Hukum Acara Perdata.
Orang yang merasa bahwa haknya dilanggar disebut Penggugat, sedangkan
orang yang ditarik kemuka Pengadilan
karena ia dianggap melanggar hak seseorang ata beberapa orang disebut Tergugat.
Apabila ada banyak Penggugat atau banyak Tergugat, maka mereka disebut
Penggugat I, Penggugat II, dan seterusnya.
Diatas disebut, bahwa Penggugat adalah seorang yang merasa bahwa haknya
dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai Tergugat
dalam suatu perkara kedepan Hakim. Sengaja dipakai perkataan "Merasa"
dan "Dirasa" oleh karena belum tentu yang bersangkutan
sesungguh-sungguhnya melanggar hak Penggugat.
Dalam Hukum Acara Perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak adanya suatu
perkara harus diambil oleh seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa
haknya atau hak mereka dilanggar.
DAFTAR PUSTAKA
¤ Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., & Iskandar Oeripkartawinata, S.H. Hukum
Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, CV. Mandar Maju, 1997.
¤ Prof, R. Subekti, SH. Hukum Acara Perdata, Bina
Cipta, Bandung,
1989.
¤ Prof, Dr, Sudipno Merto Kusumo SH. Hukum Acara Perdata Indonesia.
¤ R. Soeparmono S.H. Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi,
CV. Mandar Maju, 2000.
0 komentar :
Posting Komentar