A. PENDAHULUAN
Dalam masyarakat kita
sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti
keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai
itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan
bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan
solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk
melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadh
sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.
Namun pada prakteknya
dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai menurut
persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis
mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan
menemukan kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut.
B. PEMBAHASAN
1. Hadits
Tentang Cerai Gugat
أخبرنا
أزهر بن جميل قال حدثنا عبد الوهاب قال حدثنا خالد عن عكرمة عن ابن عباس أن امرأة
ثابت ابن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يارسول الله ثابت بن قيس أما إني
ماأعيب عليه في خلق ولادين ولكني أكره الكفر في الإسلام فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل
حديقته وطلقها تطليقة.[1]
2. Terjemah
Hadits
“Aku telah diberi khabar oleh
sahabat Azhar bin Jamil, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Abdul
Wahab, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Kholid, yang ia peroleh
dari sahabat Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya istri
sahabat Tsabit bin Qois datang mengadu kepada Nabi SAW, dan berkata: “Wahai
utusan Alloh, Tsabit bin Qois itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan
tidak pula dari segi keberagamannya.Cuma saya tidak senang akan terjadi
kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kamu
mengembalikan kebunnya?”. Kemudian si
istri menjawab: “ya mau”. Nabi SAW berkata kepada Tsabit: “Terimalah kebun itu
dan ceraikanlah dia satu kali cerai”.[2]
3. Kandungan
Hadits
Hadits diatas
menunjukkan tentang adanya hak khulu’ bagi wanita, dalam artian istri bisa
menggugat cerai suami dengan cara memberi ganti rugi atau iwadh kepada
suami dengan jalan khulu’ (gugatan cerai istri), sang istri bisa memiliki
dirinya sendiri, dalam artian dia bebas dari ikatan perkawinan, walaupun pada
dasarnya hak menceraikan itu dimiliki oleh suami.
Dari uraian hadits
diatas memberikan petunjuk, bahwa dalam proses khulu’ terdapat pemberian ganti
rugi iwadh kepada suami, dalam hal ini menurut interpretasi para ulama
ahli fiqh dihukumi wajib dan menjadi
syarat dalam akad khulu’.
Khulu’ sendiri merupakan
alternatif fiqh didalam meringankan beban berat dari masalah rumah tangga, contoh
akad khulu’ adalah wanita atau istri mengucapkan kepada suaminya: “Ceraikanlah
aku dan engkau akan mendapatkan ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang
seribu dirham”.[3]
Akad khulu’ yang sah itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya wanita
yang melakukan khulu’.[4]
4. Pengembangan
Makna Hadits Secara Konstektual
Merujuk pada firman
Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat: 229
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan istri untuk menebus dirinya”.
Maka khulu’ yang
dilakukan didepan hakim harus sudah memenuhi syarat berupa penyerahan uang atau
sejenisnya oleh suami kepada pihak istri. Namun dalam pengadilan tidak
ditemukan adanya kewajiban diatas. Ketika pengadilan mengabulkan permintaan
cerai dalam kasus ini, maka menurut berbagai macam referensi menegaskan bahwa
implikasi hukumnya tidak sah. Andaikata pihak Pengadilan Agama memasukkan iwadh
yang jadi syarat tersebut dimasukkan dalam biaya administrasi pada proses
registrasi, yang mengacu pada pasal 118 HIR UU No.07 Tahun 1998, mestinya iwadh
itu diterima oleh pihak suami atau Tergugat, namun kenyataannya tidak demikian.
Andai dipaksakan proses
itu tetap berjalan, maka bukan dengan jalan khulu’ tapi sudah masuk pada
wilayah faskh nikah.[5]
yang dilakukan oleh hakim.
Tetapi merupakan problem
jikalau dalam sistem Peradilan Agama kita, hal demikian dinamakan cerai gugat.
Dari sana timbul masalah sahnya cerai gugat
menurut Undang-Undang yang berlaku dalam ruang lingkup perdata, dimana tidak
sah menurut hukum fiqh sebenarnya.
Adapun untuk berapa
kadar iwadh yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan
antara ulama;
-
Menurut jumhur ulama, adalah seluruh hartanya. Sedangkan;
-
Menurut Abu Hanifah adalah
tafsil (perinci); jika penyebab dari perceraian itu timbul dari suami, maka
tidak boleh mengambil sepeserpun dari harta yang ada, namun jika penyebab itu
timbul dari istri, maka suami boleh mengambil kembali harta yang pernah
diberikannya pada istrinya, tidak boleh lebih.
Khulu’ sebagai salah
satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU perkawinan.
Namun KHI ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada Pasal 1 ayat (1) dan
Pasal 124 yang bunyinya:
Pasal 1
Khulu’
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan
atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Pasal 124
Khulu’
harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.[6]
5. Tujuan
dan Hikmah Khulu’ yang Ditunjukkan Pada Hadits
Tujuan dari kebolehan
khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan
yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami
karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari
istrinya itu.
Adapun hikmah dari hukum
khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami
istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya
menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan
bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’.
Hal ini didasarkan
kepada pandangan fiqh bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami
yang tidak dimiliki oleh istrinya, kecuali dengan cara lain.[7]
6. Rowi
Hadits
Hadits diatas
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, adalah : Abdullah bin Abbas Ibnu Abdul Muthallib
anak paman Rasulullah dan anak dari saudara perempuan Maimunah Ummul Mukminin.
Beliau dilahirkan tiga tahun sebelum hijrah.
Di waktu Rasulallah
wafat, Abdullah baru berumur 13 tahun, Ibnu Abbas adalah salah seorang dari
keluarga Nabi. Karenanya Ibnu Abbas dapat bergaul dekat dengan Nabi yang
memungkinkan beliau dapat menerima banyak hadits dari Nabi. Disamping itu Ibnu
Abbas seorang yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh hadits dari Nabi
SAW. Karenanya Nabi berdo’a supaya Ibnu Abbas menjadi seorang lautan ilmu.
Dengan berkat do’a Nabi,
Ibnu Abbas menjadi seorang ahli tafsir dan tarjumanul qu’ran, seorang
ulama, seorang yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau hidup sesudah Rasulallah
wafat selama 58 tahun. Hal ini memungkinkan beliau menerima hadits dari
sahabat-sahabat besar dan dari sahabat-sahabat kecil.
Ibnu Abbas selain
bersungguh-sungguh mempelajari hadits juga bersungguh-sungguh menyebarkannya,
banyak para sahabat yang berkumpul datang kepadanya untuk menerima hadits.
Umar, walaupun beliau terkenal sebagai sahabat yang besar dan mujtahid besar
sering juga bertanya kepada Ibnu Abbas, apabila menghadapi sesuatu masalah yang
sulit.
Ibnu Abbas mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam ilmu fiqih, hadits ta’wiel hisab, faraidl dan
bahasa Arab. Oleh karenanya beliau membagi-bagi harinya menurut ilmu yang
diketahuinya.
Ada hari
yang khusus fiqih, tafsir, siyar maghazi dan keadaan-keadaan dimasa jahiliyah.
Thawus pernah berkata diwaktu seorang bertanya kepadanya tentang sebab thawus
tetap menghadiri majlis Ibnu Abbas yang masih muda, tidak mendatangi
majlis-majlis sahabat-sahabat besar, thawus menjawab : “saya melihat tujuh
puluh sahabat Rasulallah apabila berbeda pendapat, mereka kembali kepada
pendapat Ibnu Abbas”.
Para ulama telah
mengumpulkan haditsnya sejumlah 1660 hadits, 95 darinya disepakati oleh
Bukhary-Muslim, 120 dari padanya diriwayatkan al-Bukhary saja, dan 49 darinya
diriwayatkan oleh Muslim saja.
Beliau diangkat oleh Ali
menjadi Amir di Bashrah, kemudian beliau kembali ke Hijas sebelum Ali wafat
dibunuh oleh orang khawarij dan menetap di Mekkah, beliau wafat di thaif pada
tahun 68 H.[8]
7. Makhorijul
Hadits
An-Nasa’iy, adalah Abdur
Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Bahar ibn Sinan ibn Dinar an-Nasa’iy,
seorang hafidh yang terkenal. Beliau lahir pada tahun 215 H.
Beliau adalah salah
seorang tokoh agama dan imam hadits yang menjadi ikutan ahli hadits dalam
mengetahui sejarah dan ta’dil.
Beliau mendengar hadits
dari Ishaq ibn Rahawaih, Abu Dawud as-Sijistany, Mahmud ibn Ghailan, Qutaibah
ibn Sa’id, Ali ibn Khasran, dan lain-lain dari ulama-ulama kota Syam, Hijaz,
Jazirah, Mesir dan lain-lain.
Diantara yang
meriwayatkan hadits daripadanya, ialah ad-Dailamy, Abul Qosim ath-thobarany,
Abu ja’far ath-thohawy dan Muhammad ibn Harun Ibn Syu’aib.
Dinukilkan oleh
at-Tajus-Subky dari gurunya al-Hafidh adz-Dzahaby bahwa an-Nasa’iy lebih hafal
dari pada Muslim. Sunannya adalah sunan yang paling sedikit hadits dlaifnya.
Dia terletak sesudah
Shahih al-Bukhary dan Muslim. Abu Ali an Naisabury berkata : “an-Nasa’iy
mengenai riwayat lebih luas syaratnya dari syarat muslim”.
Akan tetapi perkataan
Abu Ali ini tidak bisa kita terima begitu saja, karena menurut pendapat Ibnu
Katsir bahwa didalam an-Nasa’iy terdapat orang-orang yang tidak dikenal.
Diantara mereka, ada yang tercecat. Dan didalamnya ada hadits-hadits yang
dla’if.
An-Nasa’iy banyak
mempunyai karangan dalam bidang hadits dan ‘illat. Beliau wafat pada tahun 293
H. dalam usia 83 tahun.[9]
C. PENUTUP/ANALISIS.
a) Menunjukkan
bahwa islam memberlakukan keadilan untuk wanita dalam ruang lingkup rumah
tangga, hal ini dibuktikan adanya hak khulu’ bagi wanita.
b) Terjadi
problematika praktek khulu’ di Negara kita (Pengadilan Agama).
c) Penyebab
perceraian ternyata berakibat mempengaruhi penerimaan iwadh
d) Perlunya
mengkaji ulang pencetusan khulu’ dalam KHI yang memunculkan khulu’ dengan
praktek yang bertolak belakang dengan konsep fiqh.
e) Adanya
penyelewengan status faskh nikah untuk khulu’, terbukti adanya pengabulan
khulu’ yang tidak memenuhi prosedur oleh hakim Pengadilan Agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø
Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Departemen Agama Republik Indonesia, Surabaya: Mahkota, 1989.
Ø
Al-Baijuri, Ibrahim, Hasyiyah
al-Baijuri, Semarang: Toha Putra, tt.
Ø
An-Nasai’, Abu Abdurahman Ahmad, Sunan
An-Nasai’, Cet. 1, Beirut Libanon: Darul Fikri: 1930.
Ø
As-Syairazi, Abu Ishaq Ibrahim bin
Ali bin Yusuf, Al-Muhadzab fi Fiqhil Imam As-Syafi’i, Juz 2, Beirut
Libanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1995.
Ø
Fathu aL-Muin bab Munakahah.
Ø
Manan, Abdul. Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Ø
Syarifuddin, Amir, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Ø
Sejarah Perkembangan Hadits, M.
Hasbi ash Shieddieqy.
[1]Sunan
Nasa’I, hal. 168 juz 5.
[2]Sunan
Nasa’I, hal. 168 juz 5.
[3]aL-Muhadzab,
1496 juz 2.
[4]Hasiyah
aL-Bayjuri138 juz 2.
[5]fathu
aL-Muin bab Munakahah.
[6]Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hal 241.
[7]Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, Prof. DR. Amir Syarifuddin. Hal 234.
[8]Sejarah
Perkembangan Hadits, M. Hasbi ash Shieddieqy. Hal 149-150.
[9]
Sejarah Perkembangan Hadits, M. Hasbi ash Shieddieqy. Hal 195-196.
0 komentar :
Posting Komentar