Dari Pelaksanaan Praktek Tugas
Tinjauan Dan Pelaksanaan Peradilan Di Pengadilan Negeri Ngawi
Tinjauan Dan Pelaksanaan Peradilan Di Pengadilan Negeri Ngawi
Makalah ini sebagai laporan serta bertujuan untuk menjelaskan
teori dan proses peradilan hukum pidana yang dilaksanakan di Republik Indonesia
khususnya di Pengadilan Negeri Kabupaten Ngawi, dari tahap pertama dimana
sebuah berkas diserahkan kepada lembaga penuntan (kejaksaan) dari lembaga
penyidikan (kepolisian) sehingga diputuskan oleh hakim/pengadilan.
A. Pendahuluan
Setelah
melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat dalam sistem peradilan
di RI, misalnya dosen hukum, hakim, jaksa dan pengacara, data-data, berita di
media-media, internet dan hasil tinjauan di Pengadilan Negeri Ngawi, Lembaga
Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis bertujuan untuk menulis laporan
yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia, baik hukum acara pidana
maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa sistem peradilan yang
dilaksanakan di Negara RI.
B. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem
peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan
lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa
Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Misalnya
Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem
hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya,
meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri,
namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda),
sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.
Walaupun
bertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia modern dapat dipisahkan
dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum
pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai “procedural law” dan
hukum pidana materiil sebagai “substantive law”. Kedua kategori tersebut dapat
kita temui dalam Kitab masing-masing yaitu, KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berturut-turut.
Namun
RUU KUHP baru memunculkan beberapa hal yang sangat menarik terkait dengan
perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada sistem hukum pidana dan patut
didiskusikan, kenyataannya adalah sampai sekarang RUU tersebut belum
dilaksanakan. Menurut keterangan dari beberapa sumber, RUU tersebut telah
diajukan kepada DPR Jakarta selama kurang lebih dua puluh tahun dan belum dapat
disepakati apalagi disahkan.
Maka
dari itu, untuk sementara KUHAP dan KUHP merupakan undang-undang yang berlaku
dan digunakan oleh lembaga lembaga penegak hukum untuk melaksanakan urusan
sehari-hari dalam menerapkan hukum pidana di Indonesia.
KUHAP
(dibedakan dari KUHP), menentukan prosedur-prosedur yang harus dianut oleh
berbagai lembaga yang terlibat dalam sistem peradilan misalnya hakim, jaksa,
polisi dan lain-lainnya, sedangkan KUHP menentukan pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan yang berlaku dan dapat diselidiki ataupun dituntut oleh
lembaga-lembaga tersebut. Sebagai contoh hendaklah kita membaca Pasal 340 dari
KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang, sebagai berikut:
Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Dari
Pasal tersebut dapat kita lihat bahwa isi KUHP adalah persyaratan dan ancaman
(sanksi) substantif yang dapat diterapkan oleh penegak hukum. Sebaliknya KUHAP
menentukan hal-hal yang terkait dengan prosedur; sebagai contoh Pasal 110
tentang peranan polisi dan jaksa: “Dalam hal penyidik telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada
penuntut umum”.
Dapat
kita lihat bahwa dalam kenyataan, sebuah hasil penyidikan dalam bentuk berkas
dari pihak kepolisian didahului dengan sebuah Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan atau SPDP. Itulah langkah pertama dari kepolisian untuk menjalankan
sebuah perkara pidana. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) adalah berkas lengkap
yang mengandung semua fakta dan bukti terkait dengan kasusnya. BAP tersebut
akan menyusul SPDP biasanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Setelah
diterima oleh pihak kejaksaan, (untuk tindak pidana ringan biasanya pada tingkat
kejaksaan negeri) barulah kejaksaan dapat meneliti berkasnya dan menyatakan
jika BAPnya lengkap dan patut dilimpahkan kepada pengadilan, atau dikembalikan
kepada kepolisian disertai petunjuk-petunjuk supaya dapat diperbaiki dan
diserahkan lagi.
Jika
sebuah BAP telah diteliti oleh jaksa dan dinyatakan cukup bukti untuk
melimpahkan perkaranya kepada pengadilan maka pertanggungjawaban untuk kasus
tersebut beralih dari pihak kejaksaan kepada pihak kehakiman dan pengadilan.
C. Acara Persidangan Pidana
Ketika
sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah
sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh
ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk
meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai.
Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari
Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat
persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan
khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.
Surat
dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa
dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan
berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan
Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri.
Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa
berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat
hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah
yang menduduki kursi penasehat hukum itu.
Penuntut
Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan
dipanggil dalam sidang hari itu. Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan
dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi
berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian
hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu
adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah
mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri,
bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian
kata-kata berikut: “Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan
menerangkan dalam perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang
sebenarnya.”
Sambil
saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al-Qu’ran
atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik
juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.
Di
Negara RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai dengan
pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses
interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan. Setelah hakim
selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk
memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.
Pada
akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan
kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang ditonton
oleh penulis, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah di dapat, kemudian
terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap keterangan
tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari kursinya dan duduk di
bagian umum di belakang.
Proses
ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan
keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil
saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana
digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap
pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat
mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa
mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. “Setelah itu giliran terdakwa atau
penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut
umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran
terakhir.”
Jika
acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan
dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan.
Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah
dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam musyawarah
tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan dapat diambil
dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan jumlah hakim yang
ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para hakim ada tiga
alternatif:
1. Perkara terbukti – terdakwa dihukum
2. Perkara tidak terbukti – terdakwa dibebaskan
3. Perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana – terdakwa dilepas
dari segala tuntutan (Onslag).
Berdasarkan
teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu
perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat
bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
“Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Lima
kategori alat bukti tersebut adalah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Setelah
memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya,
berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa.
Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan
ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
“Hakim
harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya
mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk
berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia
ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan
bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa…semuanya tergantung
perbedaan persepsi.”
Demikianlah
prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan
bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi
dijatuhkan hukuman penjara maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk
menjalani hukumannya.
D. Proses Pelaksanaan Sanksi Pidana
Setelah
melakukan kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) di Mataram penulis dapat
melihat secara langsung keberadaan para napi di dalam penjara Indonesia, suatu
pengalaman yang sangat menarik. Ketika diwawancarai oleh penulis Kepala Lembaga
Permasyarakatan (Kalapas) Purwadi menegaskan bahwa orang orang yang ditahan
dalam Lapas dipisah dalam dua kategori yaitu:
1. Tahanan – dimana perkaranya masih berlanjut pada tahap persidangan dan
belum ada keputusan dari hakim
2. Narapidana (Napi) – terpidana yang sudah dijatuhkan keputusan dan
hukuman penjara oleh pengadilan
Narapidana
pria yang ditahan dipisahkan dua kategori lain berdasarkan kriminalitasnya;
yaitu narapidana yang dihukum untuk kejahatan narkotika, dan yang lain misalnya
pencurian, lalu lintas, penipuan, pembunuhan, ‘togel’ (‘toto gelap’, judi) dan
sebagainya.
E. Kesimpulan
Secara
garis besar, proses peradilan di Republik Indonesia yan pertama adalah Lembaga
Penyidikan (Kepolisian) yang bertanggungjawab mendeteksi dan menyelidiki
kejahatan, kemudian ada Lembaga Penuntutan (Jaksa) yang bertanggungjawab atas
memeriksa berkas-berkas yang diajukan dari Lembaga Penyidikan sebelum
perkaranya dapat dilimpahkan ke pengadilan. Lembaga Pengadilan/Hakim yang
bertanggungjawab memutuskan bersalah tidaknya seorang terdakwa. Penulis
berharap bahwa laporan ini berhasil untuk menggambarkan dan menjelaskan proses
Peradilan di Negara Republik Indonesia.
F. Daftar Pustaka
Ø
Prof. Dr. jur Andi Hamzah Hukum
Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua Sinar Grafika, Jakarta 2008)
Ø
R. Sugandhi, SH, KUHP dan
Penjelasannya (Usaha Nasional, Surabaya 1981)
Ø
Drs. P.A.F Lamintang, S.H. Dasar
Dasar Hukum Pidana Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1997)
Ø
Wawancara dengan:
- Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM, 27 Januari 2009
- M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari 2009
- Suryanto SH. M.Hum Ketua Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram 28 Januari 2009
- Mion Ginting SH. MH. Hakim Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari 2009
- Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB 5 Februari 2009
- Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Lembaga Permasyarakatan Negeri Mataram 2 Februari 2009
- Lalu Parman SH. MH. Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM, 27 Januari 2009
- M. Lubis, SH. M.Hum Staf Pengajar Fakultas Hukum UNRAM 27 Januari 2009
- Suryanto SH. M.Hum Ketua Pengadilan, Pengadilan Negeri 1A Mataram 28 Januari 2009
- Mion Ginting SH. MH. Hakim Pengadilan Negeri 1A Mataram 30 Januari 2009
- Dedy Koesnomo SH. MH. Kepala Bagian Tata Usaha Kejaksaan Tinggi NTB 5 Februari 2009
- Purwadi Kepala Lembaga Permasyarakatan (Kalapas) Lembaga Permasyarakatan Negeri Mataram 2 Februari 2009
0 komentar :
Posting Komentar