BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Partisipasi masyarakat
dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
diatur pada Bab X pasal 53 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Penjelasan Pasal 53 itu
menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Tim Redaksi Fokus Media (A), 2004: 23 & 45). Senada dengan hal tersebut,
dalam pasal 139 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan
ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD (Tim Redaksi Fokus
Media (B), 2004: 101 & 215).
Dari bunyi pasal 53 UU
Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal l39 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta
Penjelasannya dapat diketahui bahwa:
- Masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda;
- Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;
- Hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan demikian,
partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda merupakan hak masyarakat, yang
dapat dilakukan baik dalam tahap persiapan maupun tahap pembahasan. Dalam
konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban
pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban
Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan
Perda tersebut. Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa
kewajiban tersebut ada pada DPRD. Hal ini terindikasikan dari penjelasan bahwa
“hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata
Tertib DPRD”. Berdasarkan penjelasan tersebut, partisipasi masyarakat dalam
penyusunan Perda hanya pada tahap penyiapan dan pembahasan rancangan Perda di
DPRD. Sedangkan dapat diketahui bahwa tahap penyiapan rancangan Perda tidak
sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Oleh karena,
penyiapan rancangan Perda dapat juga dilakukan oleh Kepala Daerah, lebih-lebih
rancangan Perda tentang APBD hanya berasal dari Kepala Daerah, sehingga masih
memerlukan kejelasan mengenai kewajiban untuk memenuhi hak masyarakat berpartisipasi
dalam pembentukan Perda, baik pada tahap penyiapan maupun pembahasan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas dapat ditarik beberapa permasalahan yaitu :
- Bagaimanakah hakekat pentingnya partisipasi masyarakat dalam hal pembentukan suatu Perda ?
- Bagaimanakah pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu Perda ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana hakekat pentingnya partisipasi masyarakat
dalam hal pembentukan suatu Perda.
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam
pembentukan suatu Perda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan suatu
Perda.
Philipus M. Hadjon (
1997: 4-5 ) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat
berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan
pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta
dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Menurut Philipus M.
Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid”
sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik
dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas
ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak. Konsep
partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan
oleh Philipus M. Hadjon ( 1997: 7-8 ) bahwa sekitar tahun 1960-an
muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam
konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam
proses pengambilan keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas
keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum,
sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul “Beginselen
van de democratische rechsstaat” bahwa (Philipus M. Hadjon, 1997
: 2) :
1. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
pemilihan yang bebas dan rahasia;
2. Pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3. Setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan
berpendapat dan berkumpul;
4. Badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan
melalui sarana “(mede) beslissing-recht” (hak untuk
ikut memutuskan dan atau melalui wewenang pengawas);
5. Asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan
yang terbuka;
6. Dihormatinya hak-hak kaum minoritas.
Asas keterbukaan sebagai
salah satu syarat minimum dari demokrasi terungkap pula dalam pendapat
Couwenberg dan Sri Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg,
lima asas demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua di antaranya adalah
asas pertanggung jawaban dan asas publik (openbaarheids beginsel),
yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas
perwakilan (Philipus M. Hadjon, 1987: 76). Senada dengan itu, Sri Soemantri
M. ( 1992: 29 ) mengemukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya
dalam lima hal, dua diantaranya adalah: pemerintah harus bersikap
terbuka (openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat
yang berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-tindakan
penjabat yang dianggap merugikan.
Tampak jelas bahwa dalam
paham demokrasi terdapat asas keterbukaan, yang berkaitan dengan asas
partisipasi masyarakat, sebagaimana pula dikemukakan oleh Franz
Magnis-Suseno ( 1987: 289-293 ), bahwa paham demokrasi atau kedaulatan
rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah control masyarakat.
Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan para
wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity)
pengambilan keputusan. Pertama, pemilihan wakil rakyat berkonsekuensi
pada adanya pertanggungjawaban. Karena, jika partai-partai mau terpilih
kembali dalam pemilihan berikut, mereka tidak dapat begitu saja
mempermainkan kepercayaan para pendukung mereka, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.
Kedua, keterbukaan pengambilan keputusan merupakan suatu keharusan. Karena
pemerintah bertindak demi dan atas nama seluruh masyarakat, maka seluruh
masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang dilakukannya. Bukan saja berhak
mengetahui, juga berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan.
Partisipasi masyarakat
itu semakin penting urgensinya dalam proses pengambilan keputusan
setelah dikampanyekannya good governance oleh Bank Dunia maupun
UNDP. Salah satu karakteristik dari good governance atau
tata kelola pemerintahan yang baik atau kepemerintahan yang baik adalah
partisipasi. Selanjutnya UNDP mengartikan partisipasi sebagai karakteristik
pelaksanaan good governance adalah keterlibatan masyarakat
dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya.
Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif (Hetifah Sj Sumarto,
2003: 3).
Senada dengan pengertian
tersebut, Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere ( 2001:
8 ) memaknai partisipasi sebagai berikut: bahwa pihakpihak yang
dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan the stakeholders
(pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian
dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintahan. Pengertian partisipasi
tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian partisipasi politik yang
diberikan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, yaitu bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
oleh pemerintah ( Mariam Budiardjo, 1981: 2 ).
Pengertian partisipasi
politik sebagai kegiatan warga negara terlibat dalam proses pengambilan
keputusan, dalam kepustakaan kebijakan publik di Belanda disebut inspraak
atau partisipasi politik langsung (H.H.F.M Demen dan J.J.A. Thomassen,
1983: 229-262, 245-249). Ciri terpenting dari partisipasi politik
langsung adalah tidak melalui proses perwakilan, melainkan warga negara
berhubungan langsung dengan para pengambil keputusan. Dikaitkan dengan
pendapat Herbert McClosky, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan
sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian
dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,
dalam proses pembentukan kebijakan publik (Miriam Budiardjo, 1981: 1).
Sehingga jelas, partisipasi politik langsung merupakan salah satu bentuk
partisipasi politik dan bentuk lainnya dapat disebut sebagai
partisipasi politik tidak langsung.
Dari penjelasan tersebut
diatas jelas menunjukan bahwa dalam proses pengambilan keputusan,
termasuk pengambilan keputusan dalam bentuk Perda, terdapat hak
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan Perda, yakni
memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam persiapan maupun
pembahasan rancangan Perda.
Menurut Sad Dian Utomo
(2003: 267-272), manfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan
publik, termasuk dalam pembuatan Perda adalah :
- Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik.
- Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.
- Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislative
- Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
Sesuai dengan ide negara
hukum, maka partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda mesti diatur
secara jelas dalam suatu aturan hukum tertentu. Sendi utama negara
hukum, menurut Bagir Manan ( 2003: 245 ) adalah hukum merupakan sumber
tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan
hukum antara negara dan masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang
satu dengan yang lainnya. Hukum mempunyai dua pengertian, yakni hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Bapak Pembentuk Negara Indonesia,
mengakui adanya hokum tidak tertulis, sebagaimana pernah dituangkan
dalam Pembukaan UUD 1945 : “Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar
yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga
hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak
tertulis” (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2004: 11).
Berkenaan dengan negara
hukum, Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih (1980: 29) mengemukakan, bahwa
legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya sebagai ciri negara
hukum adalah setiap tindakan baik dari pihak penguasa maupun dari pihak
rakyat harus dibenarkan secara hukum (Moh. Kusnardi dan Bintan R.
Saragih, 1980: 29). Mengenai asas legalitas, Jimly Asshiddiqie ( 2005:
155 ) berpendapat, bahwa dalam setiap Negara Hukum diisyaratkan berlakunya
asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu
bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
yang sah dan tertulis (Jimly Asshiddiqie, 2005: 155).
Dari pendapat-pendapat
tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan penyelenggara negara
maupun warga negara harus berdasarkan aturan hukum, baik aturan hukum
yang tertulis maupun yang aturan hukum yang tidak tertulis. Yang
dimaksud aturan hukum tertulis di sini adalah peraturan
perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud dengan aturan hukum yang
tidak tertulis di sini adalah dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan,
yakni asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
kemudian dituangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004.
Dengan demikian,
partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tidak saja cukup diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun pengaturannya tersebut
haruslah dilakukan secara jelas.
B. Pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembuatan suatu Perda
Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan
perda antara lain:
1. Dilakukannya Rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang bertujuan
menyerap aspirasi masyarakat,
2. Dilakukannya kunjungan oleh anggota DPRD untuk mendapat masukan dari
masyarakat, ataupun
3. Diadakannya seminar-seminar atau kegiatan yang sejenis dalam rangka
melakukan pengkajian atau menindak lanjuti berbagai penelitian untuk menyiapkan
suatu Rancangan Peraturan Daerah.
Hal-hal tersebut di atas
akan tetapi dalam pelaksanaannya kadang masih terdapat berbagai penafsiran
tentang siapa yang dimaksud dengan istilah masyarakat, ada yang mengartikan
setiap orang pada umumnya, setiap orang atau lembaga yang terkait, atau setiap
lembaga swadaya masyarakat. Maria Farida Indrati S ( 2007: 262-265 ) berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan masyarakat adalah setiap orang pada umumnya terutama
masyarakat yang ”rentan” terhadap peraturan tersebut, setiap orang atau lembaga
terkait, atau setiap lembaga swadaya masyarakat yang terkait. Mengenai sejauh
mana masyarakat tersebut dapat ikut serta dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan ( dalam hal ini UU dan Perda ), hal tersebut dapat
tergantung pada keadaan dari pembentuk perundang-undangan sendiri oleh karena UUD
dan berbagai peraturan perundang-undangan telah menetapkan lembaga mana yang
dapat membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Apabila suatu Perda
telah dapat menampung aspirasi masyarakat luas tentunya peran serta masyarakat
tersebut tidak akan terlalu dipaksakan pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan
peningkatan kualitas anggota DPRD maupun seluruh jajaran Pemerintah yang
mempunyai tugas membentuk suatu Perda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Hakekat pentingnya partisipasi masyarakat
dalam pembentukan Perda adalah dapat :
a.
Memberikan landasan yang lebih baik untuk
pembuatan kebijakan publik dalam menciptakan suatu good governance.
b.
Memastikan adanya implementasi yang lebih
efektif karena warga mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.
c.
Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif
dan legislatif.
d.
Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan
masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik,
maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.
2.
Pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pembentukan
suatu Perda dapat dilakukan dengan :
a.
Memberikan masukan-masukan atau
pendapatpendapat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum atau rapat-rapat lainnya yang
sejenis.
b.
Memberikan masukan-masukan kepada anggota
DPRD pada saat melakukan kunjungan kerja.
c.
Mengikuti seminar-seminar atau kegiatan
yang sejenis dalam rangka melakukan pengkajian atau menindaklanjuti berbagai
penelitian untuk menyiapkan suatu Rancangan Peraturan Daerah.
B.
Saran-saran
Dalam tulisan ini dapat
diberikan saran-saran sebagai berikut
1.
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat hendaknya
diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Partisipasi masyarakat hendaknya
benar-benar diperhatikan oleh DPRD dalam pembentukan suatu Perda.
DAFTAR PUSTAKA
Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere,
2001, Penyusunan Rancangan Undang-undang Dalam Perubahan Masyarakat
Yang Demokratis, Jakarta : Proyek ELIPS Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia
Bagir Manan, H., 2003, Teori dan Politik
Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press.
Daemen, H.H.F.M. dan J.J.A. Thomassen, 1983, “Jarak Antara
Warga dan Pemerintah” dalam A. Hoogerwerf, ed., Ilmu Pemerintahan,
terjemahan, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi, Otonomi Daerah:
Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : Penerbit Divisi Kajian Demokrasi Lokal
Yayasan Harkat Bangsa.
Fanz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik Prinsip-prinsip
Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : PT Gramedia.
Hetifah Sj Sumarto, 2003, Inovasi, Partisipasi dan
Good Governance, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, Jakarta : Penerbit Konstitusi Press.
Kusnardi, Moh.dan Bintan R. Saragih, 1980, Susunan
Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang- Undang Dasar 1945, Jakarta :
Penerbit PT Gramedia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, ed.,
2004, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI.
Maria Farida Indrati s., 2007, Ilmu
Perundangundangan, Kanisius, Yogyakarta.
Miriam Budiardjo, ed., 1981, Partisipasi dan
Partai Politik, Jakarta : PT Gramedia.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
di Indonesia, Surabaya : PT Bina Ilmu.
Sad Dian Utomo, 2003, “Partisipasi Masyarakat
dalam Pembuatan Kebijakan”, dalam Indra J. Piliang,
Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi, Otonomi Daerah:
Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : Penerbit Divisi Kajian Demokrasi Lokal
Yayasan Harkat Bangsa.
Sky Casino in Jordan 7-star Discounts - Air Jordan7
BalasHapusShop for SKYCITY's 7 great air jordan 7 shoes Shipping Online STAR discount code and promo. Save with 샌즈 our 출장샵 latest SKYCITY promotional 해축 보는 곳 codes & free promo for more than 15 countries. jordan 10 retro clearance