Minggu, 30 November 2014

Masa Iddah Bagi Wanita



BAB I
PENDAHULUAN

Seks merupakan kebutuhan biologis laki-laki terhadap lawan jenisnya atau sebaliknya. Ia merupakan naluri yang kuat serta selalu menuntut untuk dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan akan seks itu hanya bisa dilakukan apabila antara laki-laki dan perempuan telah diikat oleh suatu ikatan yang sah yang disebut dengan pernikahan.
Sesungguhnya tujuan nikah itu tidak hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan biologis menusia berupa seks. Tetapi ia punya tujuan lain yang lebih mulia sebagaimana dituangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Manakala setelah perkawinan terjadi hubungan seks, tetapi dalam perjalanan perkawinan itu ternyata tidak berjalan dengan mulus dan terdapat berbagai halangan dan rintangan yang mengakibatkan tujuan perkawinan itu tidak bisa dicapai dan sebagai puncaknya terjadilah perceraian. Akibat dari adanya perceraian inilah yang menyebabkan adanya kewajiban bagi seorang perempuan untuk “beriddah” atau dalam istilah lain disebut “masa tunggu”.

Pengakuan Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata



I.     Pendahuluan
Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan. Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan. Oleh karena itu kebenaran yang dicari di dalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain:
"...Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan....”
Memberikan dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan hakim (hasil proses) dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai.
Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan parapihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya. Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat diterima tidak hanya oleh penggugat akan atetapi juga oleh tergugat.

Khulu' Dan Fasakh Dalam Hukum Islam



BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tanda-Nya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga Sakinah, Mawaddah wa-Rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang Sakinah, Mawaddah wa-Rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci oleh-Nya. (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).

Sabtu, 29 November 2014

Seriuskah Pemerintah? Dalam Menangani PERDA Bermasalah


1. Pengantar
Setelah sekitar bertahun-tahun implementasi kebijakan otonomi daerah, hampir semua pihak sepakat bahwa kebijakan tersebut memberikan gambaran yang dilematis. Di satu sisi, paling tidak di atas kertas, otonomi daerah dianggap sebagai kunci perbaikan pelayanan kepada masyarakat (public services) berdasarkan prinsip subsidiarity3. Akan tetapi, di sisi lain, praktek-praktek implementasi kebijakan tersebut dianggap telah mengarah pada terciptanya distorsi yang bisa berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi dan keruwetan birokrasi.
Hampir semua daerah memiliki “visi” yang sama, yakni meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan cara menggenjot penerimaan pajak daerah dan retribusi. Pajak daerah dan retribusi tersebut umumnya diterapkan dengan menggunakan peraturan daerah (Perda). Sejak saat itulah muncul terminologi Perda “bermasalah” yang mengacu pada Perda-Perda yang cenderung membebani masyarakat, khususnya dunia usaha, karena hanya berorientasi pada pendapatan daerah. Contohnya, ada suatu daerah yang menerapkan peraturan tentang retribusi khusus bagi dokter dan perawat, hanya karena keduanya dianggap memiliki pendapatan “terlalu tinggi”. Contoh lain, retribusi penggunaan jalan (dengan berbagai istilah, tapi intinya sama) merupakah salah satu jenis Perda yang banyak dibuat oleh Pemda yang kemudian dibatalkan oleh Pusat. Selain itu, yang juga sangat “populer” sebagai Perda bermasalah adalah pungutan atas berbagai komoditi, khususnya komoditi hasil perkebunan.
Perda bermasalah juga bisa terkait dengan hambatan non-tarif. Contohnya, ada sebuah daerah yang melarang “orang luar” untuk membuka apotik di daerah tersebut, kecuali bekerjasama dengan pengusaha setempat. Aturan yang kelihatannya diadopsi dari peraturan tentang investor asing ini jelas “meresahkan”, karena bisa dikonotasikan sebagai benih disintegrasi perekonomian.
Perda-Perda semacam itu hampir semua daerah memilikinya. Tidak mengherankan, jika jumlah Perda bermasalah itu secara keseluruhan mencapai lebih dari 1000 buah. Ini tentu saja meresahkan, karena pada gilirannya akan merusak iklim usaha yang sebelumnya sudah menjadi masalah di Indonesia. Dengan kata lain, jika tidak segera ditemukan solusinya, Perda-Perda bermasalah tersebut akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Gambaran lebih lengkap tentang jenis-jenis Perda bermasalah yang diusulkan untuk dibatalkan dapat dilihat dalam www.djpkpd.go.id.
Oleh karena itu, salah satu persoalan pokok dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana mengawasi Perda-Perda yang dibuat oleh daerah agar tetap berada di “jalan yang benar”. Makalah ini berupaya untuk melihat masalah yang muncul dalam pengawasan Perda dan beberapa alternatif pemecahan masalah.

Masyarakat Seharusnya Berpartisipasi Dalam Pembentukan PERDA



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Partisipasi masyarakat dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Bab X pasal 53 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. Penjelasan Pasal 53 itu menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Tim Redaksi Fokus Media (A), 2004: 23 & 45). Senada dengan hal tersebut, dalam pasal 139 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD (Tim Redaksi Fokus Media (B), 2004: 101 & 215).
Dari bunyi pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal l39 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta Penjelasannya dapat diketahui bahwa:
  1. Masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda;
  2. Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis;
  3. Hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap persiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat diketahui bahwa kewajiban tersebut ada pada DPRD. Hal ini terindikasikan dari penjelasan bahwa “hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD”. Berdasarkan penjelasan tersebut, partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda hanya pada tahap penyiapan dan pembahasan rancangan Perda di DPRD. Sedangkan dapat diketahui bahwa tahap penyiapan rancangan Perda tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Oleh karena, penyiapan rancangan Perda dapat juga dilakukan oleh Kepala Daerah, lebih-lebih rancangan Perda tentang APBD hanya berasal dari Kepala Daerah, sehingga masih memerlukan kejelasan mengenai kewajiban untuk memenuhi hak masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan Perda, baik pada tahap penyiapan maupun pembahasan.

Penyelesaian Perkara Permohonan Penetapan Asal Usul Anak di Pengadilan Agama



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang
Realita yang berkembang saat ini, banyak sekali akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dibawah tangan bagi isteri yang dipoligami dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan agar anak-anak hasil pernikahan poligami dibawah tangan ini mempunyai kekuatan hukum dan menimbulkan hak-hak keperdataan yang dapat mengukuhkan status anak-anak tersebut.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut diatas, penulis mencoba menawarkan solusi dengan mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak. Akan tetapi dalam praktek di lapangan, penyelesaian dengan cara seperti ini sangatlah dilematis, karena akan berbenturan dengan Permohonan Pengesahan Nikah.
B.     Rumusan Masalah
  1. Dalam pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak, apakah harus dibuktikan sampai pada soal sah tidaknya pernikahan orang tua dari anak yang dimohonkan asal-usulnya, atau cukup didasarkan pada pengakuan orang tua bahwa anak dimaksud adalah anak yang lahir dari pernikahan kedua orang tua tersebut;
  2. Jika pemeriksaan permohonan penetapan asal-usul seorang anak digali sampai pada persoalan sah tidaknya pernikahan kedua orang tua anak dimaksud, apakah hal ini tidak terlalu berlebihan, karena untuk mengetahui sah tidaknya pernikahan seseorang itu adalah kompetensi permohonan Pengesahan Nikah;

Jumat, 28 November 2014

Penerimaan Dan Penolakan Harta Peninggalan Dalam Hukum Waris Perdata

I.          Pendahuluan
Menurut undang-undang Belanda, pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk mewaris baik karena undang-undang maupun atas kekuatan sebuah surat wasiat. Hal ini berarti tidak ada seorangpun yang sama sekali tidak dapat mewaris. Kesempatan mewaris ini pada umumnya diterima oleh para ahlinya baik dengan tegas maupun diam-diam tanpa terlintas di benaknya pikiran-pikiran yang menuju ke arah negatif mengenai harta peninggalan tersebut. Tetapi pada kenyataannya juga ada sebagian orang yang seharusnya mempunyai hak mewaris tidak mau menerima hak warisnya karena suatu hal tertentu yang menyebabkan mereka harus berfikir dan menganggap perlu meneliti keadaan harta peninggalan sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya.
Masalah penerimaan dan penolakan ini tentunya telah diatur dalam undang-undang yang mana di sana dijelaskan hal-hal diantaranya mengenai penerimaan murni, penerimaan warisan dengan hak istimewa pengadaan pendaftaran Budel, penolakan warisan, hak memikir, dan sebagainya, yang kesemuanya ini sangat perlu dikaji untuk mencapai puncak kefahaman terhadap hukum waris perdata.

II.       Rumusan Masalah
Ada hal-hal penting yang harus dibahas dalam makalah ini mengenai masalah yang berhubungan dengan penerimaan dan penolakan harta warisan. Maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan :
1.      Apa penerimaan murni itu ?
2.      Dalam hal apa penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel dilakukan ?
3.      Apa hak memikir itu ?

III.     Pembahasan

1.      Penerimaan Murni
Penerimaan murni adalah penerimaan hak waris oleh ahlinya setelah kematian pewarisnya tanpa adanya penolakan dan hak memikir, baik penerimaan itu dilakukan secara tegas ataupun diam-diam. Akibat dari penerimaan murni ini adalah seseorang menjadi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap bagian warisannya. Biasanya penerimaan warisan ini berlangsung dengan diam-diam yaitu hanya dengan melalui suatu tindakan yang dapat ditafsirkan sebagai penerimaan tanpa ada suatu pernyataan yang terang atas penerimaan warisan tersebut.
Sebagai contohnya adalah apabila seseorang ahli waris membayar hutang pewaris maka ia telah melakukan tindakan yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menerima warisan. Hal ini menurut ajaran kepercayaan (vertrouwensleer) dipandang sebagai suatu tindakan yang sepatutnya dianggap suatu pernyataan kehendak untuk menerima warisan secara diam-diam. Tetapi sebenarnya tindakan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai parameter terhadap adanya kehendak ahli waris untuk menerima bagian warisan atau tidak, karena bisa saja anggapan itu meleset. Misalkan ahli waris tersebut membayar hutang pewaris dengan uangnya sendiri semata-mata karena rasa hormatnya terhadap orang yang meninggal tanpa menginginkan imbalan, juga tanpa ada kehendak untuk mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalannya. Hal ini bisa saja terjadi.
2.      Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel
Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel (beneficiare aanvaarding) pada umumnya dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan yang penuh resiko. Sehingga dengan adanya hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel dalam penerimaan warisan secara otomatis akan mewujudkan suatu kewajiban menyusun daftar Budel yang mana nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesai-kan pembagian harta peninggalan pewaris. Jadi ia wajib bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan tersebut.
Masalah penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel ini diatur dalam pasal 1075 BW. Dengan penerimaan warisan ini maka diterima pulalah akibat-akibat yang terkait dengan kedudukan ahli waris, yaitu :
1)      Ahli waris tidak berkewajiban membayar hutang-hutang pewaris selain nilai barang-barang harta peninggalan;
2)      Harta peninggalan tetap merupakan harta kekayaan yang dipisahkan walaupun hanya ada satu orang ahli waris yang bertindak.
Pasal 1132 ayat (1) BW mewajibkan para ahli waris dalam garis ke bawah untuk melakukan pemasukan dalam hal diadakan penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel. Seseorang yang belum dewasa juga hanya dapat menerima warisan dengan hak utama mengadakan pendaftaran Budel semata.
3.      Hak Memikir
Hak memikir ialah hak diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya.
Adapun ahli waris yang ingin memanfaatkan hak memikir tersebut maka harus menempuh langkah-langkah :
1)      Mengajukan suatu pernyataan tertulis tentang maksud tersebut kepada Panitera Pengadilan Negeri wilayah di mana harta peninggalan itu berada;
2)      Maka selama empat bulan terhitung mulai tanggal diajukannya pernya-taan tersebut pihak yang bersangkutan diberi kesempatan mengadakan inventarisasi harta peninggalan dan melakukan pertimbangan-pertim-bangan. Jangka waktu empat bulan tersebut oleh Hakim dapat diperpanjang lagi karena alasan-alasan yang mendesak (pasal 1071 BW);
3)      Setelah jangka waktu empat bulan berlalu maka Hakim menetapkan bahwa pihak yang mempergunakan hak memikir tersebut dapat dipaksa-kan untuk mengambil keputusan.
Keadaan ahli waris pada masa berlangsungnya memanfaatkan hak memikir hanya berkewajiban mengurus harta peninggalan sebagai bapak rumah tangga yang baik dan keahliwarisannya dikatakan sedang tidur. Sedangkan ahli waris yang menggunakan hak memikir kemudian akhirnya dia menolak warisan, maka ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (pasal 1104 BW).
4.      Penolakan Warisan
Dengan meninggalnya pewaris seseorang bisa menjadi ahli waris. Dengan hak memikir dan penerimaan harta peninggalan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel, kita dapat terhindar dari hal-hal dan akibat-akibat yang tidak diinginkan. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ahli waris enggan menerima kedudukan yang baru saja diperolehnya. Karena pada hakekatnya penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran Budel membawa setumpuk kegiatan dan berbagai syarat yang menyulitkan, meliputi pendaftaran budel, pengurusan harta peninggalan, penyelesaian pembagiannya dan pertanggungjawaban seluruhnya. Ahli waris yang melihat keadaan tersebut dan mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo negatif, atau tidak menyukai liku-liku organisasi dan administrasinya, atau juga mungkin karena rasa hormat kepada pewaris, maka ia akan menolak warisan tersebut. Adapun penolakan warisan ini harus dinyatakan secara tegas melalui suatu keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada.
Undang-undang juga mengenal penolakan warisan dengan diam-diam, hal ini diatur dalam pasal 1101 BW. Setelah lewat tigapuluh tahun kemungkinan untuk menyatakan menerima warisan telah sirna kecuali apabila masih ada warisan tersebut, maka warisan tersebut diterima oleh para hali waris yang diangkat untuk itu atas kekuatan undang-undang atau berdasarkan ketetapan kehendak terakhir.
Akibat dari penolakan warisan perlu dibedakan antara mewaris atas kekuatan undang-undang atau berdasarkan ketetapan kehendak terakhir.
Akibat penolakan warisan yang menyangkut ahli waris karena wasiat dan setelah penolakan warisan, masih ada ahli waris-ahli waris dengan wasiat, maka timbul ke permukaan suatu pertambahan warisan (anwaas), kecuali di dalam wasiat tersebut ada saham-saham. Adapun dalam hal seseorang mewarisi karena kematian, maka selalu terjadi pertambahan warisan.
Sebagai ahli waris, maka tidak dimungkinkan menolak sebagian warisan. seseorang yang menolak warisan sebagai ahli waris dengan wasiat maka ia tidak dapat bertindak sebagai ahli waris karena kematian. Meskipun telah dimuat suatu klausa pergantian tempat para keturunan pihak yang menolak warisan ini tidak bisa bertindak dalam kedudukannya, karena hukum warisan yang berlaku adalah tidak ada pergantian tempat secara hukum waris untuk orang yang masih hidup. Hal seperti ini berlaku sama untuk seorang ahli waris karena kematian yang menolak warisan.
5.      Keterangan Hak Waris
Keterangan hak waris adalah suatu kepastian tentang jatidiri (identiteit) ahli waris yang melanjutkan pribadi orang yang meninggal dunia. Keterangan ini berbentuk akte yang mengandung suatu pernyataan yang dibuat oleh Notaris mengenai perwarisan. Sebelum menyusun keterangan tersebut Notaris menandatanganinya, membubuhi cap jabatannya, melakukan penelitian cara pewarisan dan mengusahakan untuk memperoleh wujudnya.
Uraian tentang apa yang menurut hukum disebut dengan keterangan hak waris telah disebutkan dalam undang-undang, antara lain :
1)      Keterangan hak waris adalah suatu akte dimana seorang notaris menyebutkan satu atau lebih fakta-fakta berikut :
a.       Bahwa orang disebut dalam keterangan hak waris merupakan ahli waris bersama ahli waris yang lain ataukah ahli waris satu-satunya;
b.      Bahwa mitra kawin (echtgenoot) pewaris diberikan ataukah tidak diberikan hak pakai hasil (vruchtgebruik) harta peninggalan atau barang yang termasuk di dalamnya;
c.       Bahwa pengurusan harta peninggalan diberikan ataukah tidak diberikan kepada pelaksana wasiat, pengurus harta peninggalan atau juru penyelesai harta peninggalan (verefnaar) dengan menyebutkan wewenang-wewenang mereka;
d.      Bahwa seorang atau lebih yang ditunjuk sebagai pelaksana wasiat, pengurus harta peninggalan atau juru penyelesai harta peninggalan disebutkan di dalam keterangan hak waris.
2)      Dengan algemene maatregel van bestuur dapat ditetapkan berbagai ketentuan mengenai isi dan penyusunan surat keterangan hak waris tersebut.

IV.    Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik beberapa poin kesimpulan, antara lain :
1.      Penerimaan murni adalah penerimaan hak waris oleh ahlinya setelah kematian pewarisnya tanpa adanya penolakan dan hak memikir, baik penerimaan itu dilakukan dengan tegas ataupun diam-diam.
2.      Penerimaan warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran budel dianjurkan dalam semua hal dimana yang meninggal dunia menjalankan pekerjaan dengan penuh resiko, sehingga dengan begitu nantinya sang ahli waris berkewajiban mengurus barang-barang yang termasuk harta peninggalan dan menyelesaikan pembagian harta peninggalan pewaris.
3.      Hak memikir ialah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada ahli waris untuk memikirkan dan meneliti keadaan harta peninggalan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menerimanya atau menolaknya.
4.      Penolakan warisan adalah keengganan ahli waris untuk menerima bagiannya karena suatu hal, adakalanya karena ia harus menerima warisan dengan hak istimewa mengadakan pendaftaran budel sehingga ia merasa keberatan dan kesulitan karena harus bertanggung jawab atas pengurusan harta peninggalan atau juga karena rasa hormat kepada pewaris, atau juga karena ia mempunyai kepastian bahwa harta peninggalan tersebut akan mewujudkan saldo yang negatif, dan sebagainya. Sehingga ahli waris tersebut memutuskan untuk menolak warisan yang dinyatakan secara tegas melalui surat keterangan tertulis yang diberikan oleh Panitera Pengadilan Negeri wilayah dimana harta peninggalan tersebut berada.
5.      Keterangan hak waris adalah suatu kepastian jatidiri (identiteit) ahli waris yang melanjutkan pribadi orang yang meninggal dunia yang mana keterangan ini berbentuk akte yang dibuat oleh Notaris mengenai perwarisan.


Referensi :
1.      Prof. Mr. M.J.A. Van Mourik, Study Kasus Hukum Waris, PT. Eresco, Bandung, 1993, Cet. I.
2.      H.F.A. Vollmar, Pengantar Study Hukum Perdata (terj), Rajawali Press, Jakarta, 1992, Cet. 3.

Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata


A.      PENGERTIAN
“Reglemen Indonesia yang Dibaharui” (RID) yang nama aslinya adalah “Herziene Indonesisch Reglement” (HIR) merupakan salah satu Undang-Undang peninggalan Hindia-Belanda, yang masih berlaku berkat pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan memuat baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata dimuka Pengadilan .
Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya Hukum perdata Materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan Hukum perdata Materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajkan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaannya dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "Eigenrichting" atau tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak sesuai keinginan sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting tidak diperbolehkan dalam rangka memenuhi atau melaksanakan hak pribadi.
Dan mengenai tindakan main hakim sendiri ada tiga pendapat  : ada yang mengatakan bahwa tindakan main hakin sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Bouneval Faure), dengan alasan bahwa oleh karena hukum acara perdata telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi pihak melalui Pengadilan, maka tindakan-tindakan yang dianggap diluar uapaya-upaya tersebut, atau yang dapat dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri, dilarang. Menurut pendapat yang kedua adalah eigenrichting pada asasnya dibolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa melakukannya dianggap sebagai upaya untuk melawan hukum (Cleveringa).

Lembaga Penuntut Umum Dalam KUHAP



BAB I
PENDAHULUAN

Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa prancis, yang akhirnya oleh Negara-negara lain diambil oper dalam perundang-undangannya juga oleh Negara belanda yang memasukkan dalam kitab undang-undang hokum acara pidana tahun 1848, menerapkannya di Indonesia.
Dalam KUHAP juga menyebutkan tentang pra penuntut, istilah ini muncul didalam pasal 14 KUHAP tentang wewenang penunut umum yaitu: mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Dalam perihal penuntutan ini juga dibahas tentang wewenang penuntut umum, surat dakwaan, bagaimana teknis penyusunan dakwaan, perubahan surat dakwaan, penggabungan perkara, penghentian penuntutan, penyampingan, dan penutupan perkara.
 Makalah yang penulis tulis ini akan membahas perihal penuntutan diatas, mudah-mudah ada manfaatnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

 BAB II
PEMBAHASAN
A.     Lembaga Penuntut Umum
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan.”
Dalam hal-hal untuk memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana (tuntutan pidana) inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan.

Kriminalistik Dalam KUHAP



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Apakah yang dimaksud dengan Kriminalistik? Pertanyaan itu tentu akan muncul ketika kita menyaksikan berita kriminal di televisi, atau media lainnya. Istilah Kriminalistik bagi orang-orang pada umumnya tidak asing mendengar istilah tersebut. Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dari Kriminalistik tersebut, berikut ini adalah beberapa definisi dari Kriminalistik yang diperoleh oleh penyusun (dalam buku R. Soesilo dan M. Karjadi “Kriminalistik”) :
1.      Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk menentukan terjadinya kejahatan dan menyidik pembuatnya dengan mempergunakan cara ilmu pengetahuan alam, dengan mengesampingkan cara-cara lainnya yang dipergunakan oleh ilmu kedokteran kehakiman (sekarang ilmu kedokteran forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi forensik) dan ilmu penyakit jiwa kehakiman (ilmu psikologi forensik). (dari buku “Dasar-dasar pokok penyidikan kejahatan”)
2.      Kriminalistik adalah suatu pengetahuan yang berusaha untuk menyelidiki/ mengusut kejahatan dalam arti seluas-luasnya, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan dengan menggunakan hasil yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan lainnya. ( dari buku ”Kriminalistik” R. Dedeng Suriaiputra).
3.      Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyididkan perkara kejahatan secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam, kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman, ilmu alam kehakiman antaralain ilmu sidik jari dan ilmu kimia kehakiman seperti ilmu tentang keracunan dan lain-lain. (dari buku “Criminologie een inleiding”. Prof. Noach)

Sistem Peradilan Di Indonesia



Dari Pelaksanaan Praktek Tugas
Tinjauan Dan Pelaksanaan Peradilan Di Pengadilan Negeri Ngawi

Makalah ini sebagai laporan serta bertujuan untuk menjelaskan teori dan proses peradilan hukum pidana yang dilaksanakan di Republik Indonesia khususnya di Pengadilan Negeri Kabupaten Ngawi, dari tahap pertama dimana sebuah berkas diserahkan kepada lembaga penuntan (kejaksaan) dari lembaga penyidikan (kepolisian) sehingga diputuskan oleh hakim/pengadilan.
A.     Pendahuluan
Setelah melakukan wawancara dengan beberapa pihak yang terlibat dalam sistem peradilan di RI, misalnya dosen hukum, hakim, jaksa dan pengacara, data-data, berita di media-media, internet dan hasil tinjauan di Pengadilan Negeri Ngawi, Lembaga Permasyarakatan dan sumber lainnya, penulis bertujuan untuk menulis laporan yang menjelaskan dasar-dasar hukum pidana Indonesia, baik hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil, dan gambaran beberapa sistem peradilan yang dilaksanakan di Negara RI.
B.     Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
Sistem peradilan Indonesia berdasarkan sistem-sistem, undang-undang dan lembaga-lembaga yang diwarisi dari negara Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia selama kurang lebih tiga ratus tahun.
Misalnya Indonesia dan Malaysia dua bangsa serumpun, tetapi dipisahkan dalam sistem hukumnya oleh masing-masing penjajah, yaitu Belanda dan Inggris. Akibatnya, meskipun kita telah mempunyai KUHAP hasil ciptaan bangsa Indonesia sendiri, namun sistem dan asasnya tetap bertumpu pada sistem Eropa Kontinental (Belanda), sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura bertumpu kepada sistem Anglo Saxon.

Tindak Pidana Terhadap Harta Kekayaan (Harta Benda)


A.      TINDAK PIDANA PENCURIAN

Diambil dari Istilah Diefstal / Thief yang diatur dalam Pengaturan : Pasal 362 s/d Pasal 367 KUHP. Merupakan jenis Tindak Pidana Formil karena Perbuatannya yang dilarang, ada pengambilnya dan perbuatannya. Adapun bentuknya tertuang dalam Pokok pasal 362 dengan sanksi 5 tahun : Meringankan pasal 364, Memberatkan pasal 363 dan 365, Pencurian dalam keluarga pasal 367
Kepentingan hukum yang dilindungi harta benda atau kekayaan ini memiliki beberapa unsur, dan Unsur-unsur tersebut adalah: 
(1).   Subyektif, yaitu dengan unsur : kesenganjaan, kealpaan, dengan maksud disamakan dengan kesengajaan berbagai corak dan unsur mengetahuinya
(2).   Obyektif   yaitu dengan unsur : mengambil, barang atau benda seluruh atau sebagian, memiliki dan unsur melawan hukum
Stelsel / sistem perumusan sanksi pidana :  Alternatif, pasal 12 ayat (2) kurungan 5 tahun maksimal khusus 362 denda Rp. 500,-. Penyelesaian hukum pasal 362, 364, 365 dengan cara dilaporkan, pasal 367 dengan cara diadukan.
·          Mengambil ada 3 teori yaitu :
1.        Teori Ablasi yaitu: Mengambil baru dianggap selesai bila terpenuhi syarat bahwa benda tersebut harus sudah diamankan oleh sipelaku.
2.        Teori Aprehensi yaitu : Ada perbuatan mengambil disyaratkan bahwa sipelaku harus membuat/ menjadikan benda tersebut berada dalam pengawasan yang nyata.
3.        Teori Kontrektasi yaitu : Ada perbuatan mengambil diisyaratkan dengan sentuhan badaniah sipelaku telah memindahkan barang tersebut dari tempat semula.
Kritik Van Bemmelen dan Van Hattum :  dari 3 teori ini tidak satupun benar sebab perbuatan mengambil itu sebenarnya telah mulai dilakukan sebagai suatu perbutan yang membuat/ menjadikan benda tersebut dijauhkan dari orang yang menguasainya/ sejak sipelaku tindak pidana memutuskan hubungan tersebut dengan orang yang berhak atas benda yang bersangkutan.

Rabu, 26 November 2014

Pemeriksaan Dalam Hukum Acara Pidana



A.     PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Di dalam KUHAP di samping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Pada makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang tahap-tahap pemeriksaan dalam hukum acara pidana untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi pemakalah maupun pembaca lainnya.

B.     PEMBAHASAN

Apabila hukum acara pidana dipandang dari sudut pemeriksaan, hal ini dapat dirinci dalam dua bagian, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang dilakukan pertama kali oleh polisi, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik, apabila ada dugaan bahwa hukum pidana materil telah dilanggar. Sedangkan pemeriksaan disidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak.
Di dalam pemeriksaan pendahuluan, sebelum sampai pada pemeriksaan disidang pengadilan, akan melalui beberapa proses sebagai berikut:
1.      Proses Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan (pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.

Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan



BAB I
PENDAHULUAN

            Pemilihan umum hampir-hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran partai-partai politik ditengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat, maka kekuasaan harus dibangun dari bawah. Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik.
            Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28 ini serta pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan. Jadi yang diperlukan untuk memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah Undang-undang yang mengatur tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya. Bukan sebuah Undang-undang yang justru akan membatasi warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi suaranya.
Memang, kebebasan mendirikan partai tanpa batas dapat menimbulkan banyak berbagai persoalan yang justru merugikan perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus dibatasi, maka persoalannya kemudian ialah bagaimana caranya agar patai-partai itu dapat memainkan parannya secara wajar dan optimal, baik sebagai wahana penyalur aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun pemerintahan secara demokrasi dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa negara memang menganut asas kedaulatan rakyat.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga) Dasawarsa terakhir ini menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam memainkan peranan politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat serta wahana pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di negeri ini.

Cara Pendaftaran Perkara dan Pemanggilan Para Pihak di Pengadilan Agama




A.      PENDAHULUAN
Dalam kesempatan kali ini kami mencoba mengupas mengenai bagaimana suatu perkara dapat diajukan atau dapat di daftarkan ke Pengadilan yang tentunya dengan mengikuti aturan-aturan yang ada demi terlaksanannya harapan bagi para pencari Pengadilan tanpa adanya kesalahan-kesalahan yang mungkin akan mengakibatkan terhambatnya proses dalam mencari keadilan tersebut. Selain itu kami juga coba menambahkan tentang bagiamana dan seperti apa pengadilan dalam memanggil para pihak yang berperkara, sehingga menjadi salah satu penentu bagi pengadilan mengenai seperti apa keputusan yang akan diambil jika salah satu pihak tidak bisa hadir. Dan selain itu masih banyak lagi hal-hal yang sebetulnya penting namun oleh para pihak yang berperkara dianggap masalah kecil, Yang kebetulan kami mendapatkan kesempatan untuk mengupasnya lebih dalam agar kita semua bisa menambah pengetahuan hususnya dalam Pendaftaran Perkara Dan Pemanggilan Para Pihak.
B.      METODE MENDAFTARKAN  PERKARA
Untuk mendaftarkan perkara di Pengadilan yaitu dengan membuat surat gugatan atau permohonan yang dilampiri dengan syarat-syarat kelengkapan umum atau mungkin juga dengan syarat-syarat kelengkapan khusus, atau dalam hal buta huruf, semua kelengkapan itu dibawa ke Pengadilan Agama yang kemudian didaftarkan di Kepaniteraan. Setelah Kepaniteraanpa menerima berkas, surat gugatan atau permohonan itu akan diteliti yang penelitian itu menyangkut dua hal:
1.        Apakah surat gugatan atau Permohonan itu sudah jelas, tidak tertukar dari identitas pihak-pihak, apakah Posita sudah terarah sesuai dengan Petita dan sebagainya.
2.        Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.
Untuk keperluan penelitian Surat Gugatan atau permohonan tersebut, biasanya (bagi lingkungan Peradilan Umum) sudah ditugaskan seorang Hakim atau Kepaniteraan yang benar-benar menguasai tentang bentuk dan isi gugatan atau permohonan. Hal serupa itu bisa pula ditiru oleh Peradilan Agama.

Resume Struktur Sosial Dan Hukum



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Pengertian Struktur Sosial
Hal yang paling fundamental bahwa sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari kehidupan bersama manusia dengan sesamanya, yakni kehidupan sosial atau pergaulan hidup. Dalam pendefinisian yang paling sederhana menyatakan bahwa sosiologi hukum mempelajari masyarakat, khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.
Pada prinsipnya masyarakat dapat dilihat dari dua sudut, yakni:
Ø      Sudut structural
Ø      Sudut dinamika
Sudut structural dapat didefinisikan sebagai keseluruhan jalinan antara ideologi-unsur sosial yang pokok yakni kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Dan yang dimaksud dari dinamika dalam ilmu pengetahuan sosiologi hukum adalah apa yang disebut proses sosial dan perubahan-perubahan sosial, yang artinya proses sosial itu merupakan cara-cara berhubungan antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan satu sistem atau apa yang akan terjadi apabila adanya perubahan-perubahan sehingga kosekwensinya mengoyahkan cara-cara hidup yang telah ada.
Sumber terjadinya proses sosial berawal dari adanya interaksi sosial dan hal ini akan membawa perubahan dalam kehidupan bermasyarakat secara cepat maupun lambat yang hal ini sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang modern.

Kajian Hadits Tentang Cerai Gugat




A.    PENDAHULUAN
Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap wanita, karena hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami, dengan cara memberikan upah atau iwadh sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.
Namun pada prakteknya dilapangan, ternyata terjadi kontradiksi antara konsep gugatan cerai menurut persepektif hukum fiqh dan Pengadilan Agama dilingkungan kita. Sehingga penulis mencoba untuk mengulas sedikit tentang masalah gugatan cerai, dengan tujuan menemukan kebenaran, baik secara nisbiy maupun absolut. 


B.    PEMBAHASAN
1.     Hadits Tentang Cerai Gugat

أخبرنا أزهر بن جميل قال حدثنا عبد الوهاب قال حدثنا خالد عن عكرمة عن ابن عباس أن امرأة ثابت ابن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت يارسول الله ثابت بن قيس أما إني ماأعيب عليه في خلق ولادين ولكني أكره الكفر في الإسلام فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أتردين عليه حديقته قالت نعم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اقبل حديقته وطلقها تطليقة.[1]
2.     Terjemah Hadits
“Aku telah diberi khabar oleh sahabat Azhar bin Jamil, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Abdul Wahab, beliau berkata: telah bercerita kepadaku sahabat Kholid, yang ia peroleh dari sahabat Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu Abbas. Sesungguhnya istri sahabat Tsabit bin Qois datang mengadu kepada Nabi SAW, dan berkata: “Wahai utusan Alloh, Tsabit bin Qois itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamannya.Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya?”.  Kemudian si istri menjawab: “ya mau”. Nabi SAW berkata kepada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah dia satu kali cerai”.[2]

Selasa, 25 November 2014

Penetapan Wakaf Menurut Syara' Dan Undang-Undang


  1. SYARAT-SYARAT WAKAF
Ialah sesuatu yang harus dipenuhi, meliputi :
  1. Syarat Wakif
Pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya
  1. Syarat Mauquf
Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

Seiring perkembangan zaman yang serba kompleks akan bermacam-macam masalah yang timbul seiring perkembangan ilmu pengetahuan, produksi dan gaya hidup baerdampak pada bermacam-macam masalah yang baru pula. Telah kita ketahui bahwa dalam Islam semua hal muamalah baik secara vertical maupun horizontal mempunyai hokum yang dikandung. Itulah rahmat dari agama islam yang mengarahkan umat islam menuju jalan yang benar melalui ketetapan hokum dalam bentuk nash. Hal yang dicemaskan adalah apakah Islam mampu menjawab tantangan zaman yang serba berkembang  sedangkan adakalanya nash tidak sesuai bahkan tidak terdapat nash yang menunjukkan akan hukum masalah tersebut. Diperlukan adanya pembaharuan dan ijtihad guna kesejahteraan umat Islam di zaman yang berkembang ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Perkawinan
Di dalam masalah perkawinan, bangunan budaya patriarkhis ini tampak nyata.Ini misalnya terlihat dalam definisi perkawinan yang dirumuskan oleh mayoritas ulama fiqh terkemuka. Dari sejumlah besar pandangan para ahli fiqh empat mazhab, Abd al Rahman Al Jaziri kemudian menyimpulkan bahwa nikah adalah akad yang memberikan hak (keabsahan) kepada laki-laki untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya. Al Jaziri mengatakan ini merupakan pengertian yang disepakati para ulama meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda. Hal yang perlu dicatat dari definisi tersebut adalah bahwa perkawinan tampak hanya dimaksudkan sebagai wahana kenikmatan seksual, atau paling tidak ia (rekreasi, kesenangan seksual) sebagai tujuan utama. Tujuan lain sebagaimana disebutkan al Qur-an bahwa perkawinan dimaksudkan untuk sebuah kehidupan bersama yang sehat dan penuh cinta-kasih tidak dikemukakan secara eksplisit.(Q.S. al Rum, 21). Ayat al Qur-an ini agaknya merupakan kritik Tuhan terhadap perkawinan yang semata-mata untuk tujuan rekreasi sebagaimana tradisi masyarakat selam itu : “Inna fi dzalika la aayaat li Qaum Yatafakkarun” (Sesungguhnya dalam hal itu benar-benar ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir).

Resume Hukum Waris Dan Hukum Perjanjian

BAB I
HUKUM WARIS
A. Perihal Warisan
Terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan menurut undang-undang, yaitu:
  1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang, Cara ini dinamakan mewarisi "menurut undang-undang" atau "ab intestate"
  2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament), Cara ini dinamakan mewarisi secara "testamentair"
Asas yang berlaku dalam hukum waris yaitu:
  1. Hanyalah hak-hak dan kewajiban –kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja (yang dapat dinilai dengan uang) yang dapat diwariskan, akan tetapi masih ada pengecualian tentang hal tersebut, misalnya: Hak seorang Bapak menyangkal sahnya anaknya dan di pihak lain hak seorang anak menuntut supaya ia dinyataka sebagai anak yang sah dari Bapak Ibunya, menurut undang-undang beralih pada ahli waris dari masing-masing pihak yang mempunyai hak-hak itu
  2. Tercancum dalam pepatah Prancis, yaitu "Le mort saisit le vif" . Apabila seorang meninggal, maka seketika itu segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Pengoperan segala hak dan kewajiban dari yang meninggal oleh para ahli waris disebut "saisin"
Menurut pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak menuntut agar segala yang termasuk harta peninggalan yang meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai benda warisan dengan maksud memilikinya bukan pada seseorang yang hanya menjadi houder saja (yang menguasai benda berdasarkan hubungan hukum dengan yang meninggal) atau seorang executeur-testamentair atas harta peninggalan yang tidak terurus. Penuntutan hak tersebut cukup dengan menggunakan surat gugatan.
Dalam pasal 838 B.W. ditetapkan bahwa terdapat orang-orang yang karena perbuatannya tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Di antaranya:
  1. Seorang waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh yang meninggal
  2. Seorang waris yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dengan kekerasan menghalag-halangi yang meninggal membuat surat wasiat sesuai kehendaknya

Perkawinan Adat Lampung Pepadun



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Masyarakat Lampung dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Bentuk masyarakat hukum adat tersebut berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut menyebar diberbagai tempat di daerah lain di Lampung. Perbedaan kelompok tersebut tercermin dalam upacara adat dalam perkawinan tradisional.
Adat istiadat masyarakat Lampung dibedakan kedalam dua golongan adat yaitu Pepadun & Peminggir (Sai Batin). Adat istiadat Pepadun dipakai oleh orang lampung yang tinggal di kawasan Abung, Way kanan / Sungkai, Tulang bawang & Pubian bagian pedalaman. Masyarakat Lampung Pepadun mengenal adanya hukum adat yang dilandaskan pada bagian adat Lampung siwo migo yang berisi beragam peraturan dan larangan yang harus ditaati oleh pemimpin & masyarakatnya.
Orang pepadun juga mengenal tingkatan sastra sosial dalam masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai atribut, misalnya golongan bangsawan membawa keris sebagai tanda mereka menyandang gelar kehormatan yang tidak dimiliki oleh kalangan masyarakat biasa. Perbedaan antara kalangan bangsawan & rakyat biasa juga dapat dilihat dalam penyelenggaraan upacara perkawinan yang disebut begawei atau cacak Pepadun.
Masyarakat Pepadun juga melarang perkawinan diantara orang-orang yang dianggap tidak sederajat sebab hal ini dapat dianggap sebagai aib jika tetap dilaksanakan. Orang yang berbeda di lapisan atas akan turun derajatnya mengikuti pasangannya yang memiliki status lebih rendah.
Tetapi untuk masa sekarang ini, pelapisan sosial seperti tadi lebih di pengaruhi oleh faktor senioritas, umur, pendidikan, segi materi atau ketaatan seseorang pada agamanya.