Jumat, 28 November 2014

Kriminalistik Dalam KUHAP



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Apakah yang dimaksud dengan Kriminalistik? Pertanyaan itu tentu akan muncul ketika kita menyaksikan berita kriminal di televisi, atau media lainnya. Istilah Kriminalistik bagi orang-orang pada umumnya tidak asing mendengar istilah tersebut. Lalu sebenarnya apakah yang dimaksud dari Kriminalistik tersebut, berikut ini adalah beberapa definisi dari Kriminalistik yang diperoleh oleh penyusun (dalam buku R. Soesilo dan M. Karjadi “Kriminalistik”) :
1.      Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan untuk menentukan terjadinya kejahatan dan menyidik pembuatnya dengan mempergunakan cara ilmu pengetahuan alam, dengan mengesampingkan cara-cara lainnya yang dipergunakan oleh ilmu kedokteran kehakiman (sekarang ilmu kedokteran forensik), ilmu racun kehakiman (sekarang toksikologi forensik) dan ilmu penyakit jiwa kehakiman (ilmu psikologi forensik). (dari buku “Dasar-dasar pokok penyidikan kejahatan”)
2.      Kriminalistik adalah suatu pengetahuan yang berusaha untuk menyelidiki/ mengusut kejahatan dalam arti seluas-luasnya, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan-keterangan dengan menggunakan hasil yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan lainnya. ( dari buku ”Kriminalistik” R. Dedeng Suriaiputra).
3.      Kriminalistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah teknik sebagai alat untuk mengadakan pengejaran atau penyididkan perkara kejahatan secara teknis dengan mempergunakan ilmu-ilmu alam, kimia dan lain-lain seperti ilmu kedokteran kehakiman, ilmu alam kehakiman antaralain ilmu sidik jari dan ilmu kimia kehakiman seperti ilmu tentang keracunan dan lain-lain. (dari buku “Criminologie een inleiding”. Prof. Noach)
Dari beberapa pengertian di atas sangatlah jelas bahwasanya terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian Kriminalistik. Perbedaan pendapat mengenai pengertian tersebut terjadi karena beberapa faktor misalnya perbedaan latar belakang kehidupan dan pendidikan; kriminalistik ilmu yang masih muda (R. Soesilo dan M.Karjadi).
Ilmu-ilmu pengetahuan yang dipakai untuk pengungkapan suatu perkara pidana menggunakan ilmu-ilmu bantu tersebut seperti :
a.       Ilmu Daktiloskopi; yakni ilmu yang berkaitan dengan sidik jari manusia
b.      Sinyalemen; yakni ilmu tentang ciri-ciri manusia
c.       Ilmu kedokteran forensik; yakni ilmu kedoteran yang bermanfaat untuk kepentingan Pengadilan.
d.      Toksikologi forensik; yakni ilmu yang menerangkan tentang racun untuk kepentingan Pengadilan
Di dalam KUHAP secara implisit telah diatur mengenai alat-alat bukti yang sah. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tampak jelas bahwa didalam pengungkapan suatu perkara pidana memerlukan ilmu bantu lain. Salah satu alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan KUHAP adalah Keterangan Ahli. Olehkarena itu penyusun makalah menganggap perlu untuk membahas mengenai keterangan ahli.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana keterangan ahli ditinjau dari hukum acara pidana di Pengadilan?
2.      Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Keterangan Ahli Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Pengadilan
Alat- alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat bukti yang sah adalah:
1.      Keterangan saksi
2.      keterangan ahli
3.      surat
4.      petunjuk
5.      keterangan terdakwa.
Dari kelima macam alat bukti tersebut, yang perlu diterangkan adalah alat bukti yang berupa keterangan ahli.
Di dalam ilmu kedokteran forensik dikenal bukti-bukti selain saksi hidup juga bukti-bukti fisik. Untuk mengetahui dan mempelajari hubungan antara bukti fisik dengan suatu kasus tindak pidana, diperlukan ahli (pakar dalam bidang tersebut). Untuk memeriksa dan mengetahui, meneliti, menganalisis dan mempelajari serta mengungkapkan harta benda/bukti fisik tersebut diperlukan ilmu pengetahuan kehakiman atau ilmu kedokteran kehakiman. Bukti yang dapat diperiksa dengan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut atas benda fisik, ini lazim disebut saksi diam. Saksi diam ini terdiri atas benda atau bagian/luka/tubuh manusia yang hidup atau telah meninggal, senjata atau alat (benda) untuk melakukan kejahatan, jejak atau bekas-bekas si pelaku, benda-benda yang terbawa atau tertinggal atau disimpan, dialihkan, dipakai oleh sipelaku dan lain-lain.
Sebenarnya bukti fisik itu sebenarnya berbicara banyak, hanya saja bahasanya sendiri, sehingga tidak dapat dimengerti oleh orang awam. Oleh karenanya diperlukan seorang penerjemah yakni sorang ilmuwan yang telah melakukan pemeriksaan dengan ilmu pengetahuan yang dimiliknya dapat menangkap bahasa dari bukti fisik tersebut dan menerjemahkannya, sehingga dapar dimengerti oleh orang-orang yang berkepentingan yaitu hakim, jaksa, polisi, penasihat hukum, terdakwa sendiri. Dan penerjemah ini lazim disebut “Saksi Ahli” ( Skilled witness,expert witness).
Dimuka persidangan saksi ahli dimaksudkan sebagai ilmuwan yang melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapat (kesimpulan) tentang bekas fisik tersebut. Oleh karena itu ada pula ilmuwan yang tidak melakukan pemeriksaan, akan tetapi hanya didengar pendapatnya saja. Oleh karena itu untuk istilah ahli sebenarnya dapat dibagi dalam 3 macam ahli yang biasa terlibat dalam suatu proses peradilan. Mereka adalah :
1.      Ahli ( Deskundige)
Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan kepadanya, tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contohnya adalah dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, yang diminta pendapatnya tentang obat A (yang dipersoalkan dapat menimbulkan abortus atau tidaknya.
2.      Saksi Ahli ( Getuiege deskundige)
Orang ini menyaksikan barang bukti atau bekas fisik, melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Misal dokter yang melakukan pmeriksaan mayat.

3.      Zaakkundige
Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Misal seorang pegawai Bea dan cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran barang dari pelabuhan. Tanpa orang ini mengemukakan pendapatnya, hakim sendiri sudah dapat menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Karena hakim dapat dengan mudah mencocokan apakah dalam kasus yang diperiksa ini telah terjadi penyimpangan prosedur yang sebenarnya atau tidak.
Penyidik di dalam tahap penyidikan dapat meminta keterangan ahli. Hal ini berdasarkan pada Pasal 120 KUHAP. Ahli atau pakar didalam Pasal 1 butir 28 KUHAP sudah dirumuskan secara umum tetapi dari Pasal 120 ayat (1) dibedakan lagi antara orang ahli dan orang yang memiliki keahlian khusus (dimana pembedaan tersebut bermakna sama).
Selanjutnya pula di dalam penjelasan Pasal 133ayat (2) KUHAP bahwa keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut Keterangan (dan seumpama tidak ada dokter ahli forensik maka hakim dapat meminta keterangan dokter bukan ahli di dalam sidang, sekalipun bukan sebagai keterangan ahli tetapi dapat dipakai sebagai alat bukti sah sebagai ”keterangan saksi.”

B.     Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli.
Keterangan orang ahli kedoteran kehakiman, dokter bukan ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya dapat berupa :
1.      Keterangan Ahli; yaitu dalam suatu bentuk “laporan” oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau ahli lainnya sesuai dengan Pasal 1 butir 28 KUHAP, tentang sesuatu hal atau suatu pokok soal.
2.      Keterangan Ahli; oleh dokter ahli kedokteran kehakiman atau dokter lain, dalam bentuk Visum et Repertum
3.      Keterangan; yaitu keterangan oleh doter, bukan ahli kedokteran kehakiman dilakukan secara tertulis/ laporan.
Di dalam ketentuan Pasal 180 ayat (1) KUHAP ditentukan, dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang Pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta dengan diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
Ahli yang telah mengutarakan pendapatnya tentang suatu hal atau keadaan/ peristiwa dari suatu perkara tertentu itu, dapat dipakai sebagai kejelasan dan dasar-dasar bagi hakim untuk menambah keyakinannya. Akan tetapi hakim dengan demikian tidak wajib untuk menuruti pendapat dari ahli itu bilamana pendapat dari ahli itu bertentangan dengan keyakinan hakim sendiri. Bilamana hakim tidak setuju atau tidak sependapat dengan apa yang menjadi pendapat ahli tersebut, maka hakim wajib mempertimbangkan di dalam putusannya, mengapa ia tidak setuju disertai alasan-alasannya.
Bagi pengadilan, bantuan orang ahli itu bersama-sama alat-alat bukti lainnya nanti akan berangkai bersesuain satu dengan yang lainnya dan bermanfaat bagi terbuktinya pemenuhan unsur-unsur tindak pidana itu.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa sebenarnya nilai atau penghargaan atas suatu alat bukti keterangan ahli dalam hubungannya dengan aturan pembuktian dalam Hukum acara Pidana sebagai alat bukti sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah mengikat, tetapi di dalam praktik nilai atau penghargaan dan kekuatan pembuktian diserahkan kepada hakim (majelis hakim), disertai alasan dan pertimbangan dalam putusannya.


BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
1.      Sebenarnya bukti fisik dapat berbicara banyak dalam mengungkap suatu perkara pidana. Hanya saja diperlukan ’penerjemah’, yakni seorang ilmuwan/ahli untuk menerjemahkan bukti fisik tersebut. Dan di dalam sistem Hukum acara Pidana kita, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 ayat(1) KUHAP.
2.      Pada dasarnya kekuatan pembuktian dari alat buki keterangan saksi ahli adalah mengikat, akan tetapi di dalam prakteknya sepenuhnya diserahkan kepada hakim.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 2004, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta
Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika
Soesilo, Karjadi M. 1989. Kriminalistik. Bogor : Politeia
Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Semarang : CV Mandar Maju


0 komentar :

Posting Komentar