Jumat, 28 November 2014

Lembaga Penuntut Umum Dalam KUHAP



BAB I
PENDAHULUAN

Lembaga penuntut umum seperti yang kita kenal sekarang berasal dari bahasa prancis, yang akhirnya oleh Negara-negara lain diambil oper dalam perundang-undangannya juga oleh Negara belanda yang memasukkan dalam kitab undang-undang hokum acara pidana tahun 1848, menerapkannya di Indonesia.
Dalam KUHAP juga menyebutkan tentang pra penuntut, istilah ini muncul didalam pasal 14 KUHAP tentang wewenang penunut umum yaitu: mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.
Dalam perihal penuntutan ini juga dibahas tentang wewenang penuntut umum, surat dakwaan, bagaimana teknis penyusunan dakwaan, perubahan surat dakwaan, penggabungan perkara, penghentian penuntutan, penyampingan, dan penutupan perkara.
 Makalah yang penulis tulis ini akan membahas perihal penuntutan diatas, mudah-mudah ada manfaatnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

 BAB II
PEMBAHASAN
A.     Lembaga Penuntut Umum
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh hakim disidang pengadilan.”
Dalam hal-hal untuk memperoleh putusan hakim agar terhadap seseorang dijatuhi pidana (tuntutan pidana) inisiatifnya adalah pada perseorangan, yaitu pada pihak yang dirugikan.

Lama kelamaan sistem ini ini menunjukan kekurangan-kekurangan yang menyolok. Penuntutan secara terbuka (accusatory murni), dengan sendirinya telah menyebabkan penunututan kesalahan seseorang menjadi lebih sulit, sebab yang bersangkutan segera akan mengetahui dalam keseluruhannya, semua hal yan g memberatkan dirinya, sehingga demikian ia akan memperoleh kesempatan untuk menghilangakan sebanyak mungkin bukti-bukti atas kesalahannya.
Sifat perdata dari penuntutan tersebut menyebabkan pula bahwa kerap kali sesuatu tuntutan pidana tidak dilakukan oleh orang yang dirugikan, karena ia takut terhadap pembalan dendam atau ia tidak mampu untuk mengungkapkan kebenaran dari tuntutan nya, sebab kekurangan alat-alat pembuktian yang diperlukan. Atas alas an inilah maka pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pembinaan peradilan yang baik telahdan menyerahkan kepada suatu badan Negara. Yang khusus diadakan untuk itu adalah openbaar ministrie atau openbaar aanklager, yang kita kenal sebagai penuntut umum.

B.     Tugas Dan Wewenang Penuntut Umum
Di dalam pasal 13 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Selain itu, dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961) menyatakan, kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan adalah alat Negara penegak hokum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Menurut Pasal 14 KUHAP, Penuntut Umum mempunyai wewenang:
  1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik;
  2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan ayat 4 dengan memberi petunjukdalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik.
  3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
  4. Membuat surat dakwan;
  5. Melimpahkan perkara kepengadilan;
  6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan;
  7. Melakukan penuntutan;
  8. Menutup perkara demi kepentingan hokum;
  9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang;
  10. Melaksanakan penetapan hakim.
Di dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan tindakan lain adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.
Setelah Penuntut Umum hasil penyidikan dari penyidik, ia segera mempelajarinya dan menelitinya dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahuakan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. Dalam hal hasil penyidikan ini ternyata belum lengkap, penuntut umum mengebalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik sudah harus menyampaikan kembali berkas yang perkara kepada penuntut umum (pasal 138 KUHAP).
Setelah Penuntut Umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak diadakan penuntutan.

C.     Surat Dakwaan
Menurut pasal 140 KUHAP, apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, maka ia dalam waktu secepatnya membuat surat atau akte yang membuat perumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari hasil penyidikan dari penyidik yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan disidang pengadilan.
Surat dakwaan ini adalah sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana , sebab dialah yang merupakan dasarnya, dan menentukan batas-batas bagi pemeriksaan hakim.memang pemeriksan itu tidak batal, jika batas tersebut dilampaui, tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai fakta-fakta yang terletak dalam batas-batas itu, dan tidak boleh kurang atau lebih.
Tujuan utama surat dakwaan adalah bahwa undang-undang  ingin melihat ditetapkannya alas an-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana, untuk itu sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya.
Dari pada itu kepentingan surat dakwaan bagi terdakwa adalah bahwa ia mengetahui  setepat-tepatnya dan seteliti-litinya yang didakwakan kepadanya sehingga ia sampai pada hal yang sekecil-kecilnya untuk dapat mempersiapkan pembalasannya terhadap dakwaan tersebut.
Mengenai pembatalan surat dakwaan menurut Nederburgh ada dua macam yaitu:
  1. Pembatalan yang formal (formele nietigheid)
  2. Pembatalan yang hakiki (wezcnlijke nietigheid).
Tentang cara merumuskan Dakwaan ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
  1. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi
  2. Dalam lukisan itu harus ternyatakan pula unsur-unsur yuridis dari tindak pidana yang didakwakan.
Membuat dakwaan tidaklah mudah, jika pada waktu membuatnya perhatian ditujukan pada lukisan yang senyatanya terjadi, ada bahayanya bahwa yang dirumuskan itu kurang konkrit yaitu hanya dengan kata-kata yang bersifat uridis belaka. Oleh karena itu, sewaktu melukiskan perbuatannya itu sebaiknya mengambil undang-undangnya, dan diteliti lagi apakah dalam lukisan tersebut sudah tidak ada unsur delik yang ketinggalan. Unsur delik adalah bagian uraian delik sesuatu tindak pidana. Kejahatan pencurian misalnya, yang dapat dipidana menurut pasal 362 KUHP, memuat unsur-unsur yaitu:
  • mengambil sebagai perbuatan delik yang sebenarnya
  • pengambilan harus mengenai sesuatu barang
  • barang tersebut harus seluruhnya atau sebagian merupakan milik orang lain
  • pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.
Di sidang pengadilan, hakim harus melakukan pemeriksaan apakah unsure-unsur dari perbuatan tersebut seperti dinyatakan dalam surat dakwaan itu dapat dibuktikan atau tidak.
Dalam menguraikan suatu tindak pidana umumnya harus dinyatakan:
  • perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
  • bagaimana cara ia melakukannya
  • upaya-upaya apakah yang telah dipergunakan dalam pelaksanaannya
  • terhadap siapakah tindak pidana itu ditujukan secara langsung atau tidak langsung
  • bagaimana sifat dan keadaan orang yang telah menjadi korban
  • bagaimana sifat dari terdakwa sendiri
  • apakah objek dari delik yang bersangkutan.
Pemuatan waktu untuk kepentingan beberapa persoalan yang berhubungan dengan hokum pidana adalah:
    1. Berlakunya pasal 1 ayat 1 atau ayat 2 KUHAP
    2. Semua hal dalam mana unsur terdakwa atau korban sewaktu melakukan kejahatan tersebut memegang peranan penting.
    3. Semua hal dimana untuk dapat dipidananya suatu perbuatan disyaratkan bahwa hal tersebut dilakukan dalam waktu perang ,misalnya pasal 124, 126, 127 KUHP
    4. Penentuan adanya recidive (pasal 486 s.d. 488 KUHP)
    5. Penentuan apakah pencurian itu dilakukan pada waktu malam menurut pasal 363.
Adapun penyusunan dakwaan teknis dapat dilakukan sebagai berikut:
  1. dakwaan tunggal
  2. dakwaan alternative
  3. dakwaan subsider
  4. dakwaan kumulatif
  5. dakwaan campuran

D.    Perubahan Surat Dakwaan
Surat dakwaan diubah baik atas inisiatif penuntut umum maupun atas saran hakim. Dalam ketentuan pasal 12 Undang-Undnag Pokok Kejaksaan (Undang-Undang No. 15 Tahun 1961) ditentukan bahwa “ dalam halsurat tuduhan (dakwaan) kurang memenuhi syarat-syarat, jaksa wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan oleh hakim sebelum persidangan pengadilan dimulai”.
Dapat disimpulakan bahwa perubahan surat dakwaan tersebut hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan dipersidangan dimulai. Selain ketentuan diatas dalam KUHAP juga mengatur tentang jangka waktu yang diperbolehkan untuk melakukan perubahan.
Mengenai apa yang boleh diubah atau tidak, tidak ditentukan secara tegas. Hal ini menimbulkan kesenjangan. Untuk mengatasi ini sementara sambil menuggu perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu, kita dapat saja menggunakan atau meniru juresprudensi sebelum berlakunya KUHAP asalkan saja tidak bertentangan. Dengan jiwa KUHAP.
Menurut peraturan lama (HIR) yurisprudensi dan pendapat ahli hokum terkenal atau doktrin), dapat perubahan ini yang meliputi:
  1. perubahan menentukan waktu dan tempat terjadinya dalam surat dakwaan.
  2. perbaikan kata-kata atau redaksi surat dakwaan sehingga mudah dimengerti dan disesuaikan dengan perumusan delik dalam undang-undang pidana.
  3. perubahan dakwaan yang tunggal menjadi dakwaan alternative asal mengenai perbuatan yang sama.
Karena KUHAP tiak mengatur hal ini dan yurisprudensi serta doktrin telah menerimanya, maka perubahannya seperti tersebut dapat ssaja dilakukan dan bertentangan dengan jiwa  KUHAP.
Hal yang pertama, yaitu mengenai perubahan waktu dan tempat terjadinya delik, dapat dibandingkan misalnya dengan putusan HIR tanggal 12  juni 1939 (NJ 1939 hal. 1601) yang mengatakan: Jika dakwaan tetap menurut perbuatan yang sama hanya ada perbedaan mengenai waktu terjadinya delik, maka dapat diadakan perubahan dakwaan.
Begitu pula perubahan kata-kata atau redaksi diperbolehkan asal tidak mengubah macam perbuatan yang didakwakan. Begitu pula perubahan surat dakwaan yang tunggal menjadi alternative diperbolehkan asal mengenai perbuatan yang sama, yang biasa disebut delik berkualifikasi dalam hokum pidana.
Delik berkualifikasi misalnya delik pembunuhan (pasal 338 KUHP); penganiayaan (pasal 351 ayat (1) KUHP) menjadi penganiayaan berencana (pasal 353 ayat (!) KUHP); pegawai negri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya (pasal 418 KUHP) menjadi pegawai negri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya berlawanan dengan kewajibannya (pasal 419 KUHP), dan lain-lain.
Dengan ketentuan pasal 143 dan 144 KUHAP, penuntut umum dalam menyusun dakwaan harus cermat dan teliti sekali. Andaikata dipersidangan terdakwa memberi keterangan yang berbeda dengan di pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi, sedang surat dakwaan yang disusun penuntut umum didasarkan pada pemeriksaan pendahuluan tersebut, maka terdakwa dapat  bebas dari pemidanaan.

E.     Penggabungan Perkara
Umumnya tiap-tiap perkara diajukan sendiri-sendiri di persidangan. Akan tetapi, ada kalanya penuntut umum melakukan pengabungan perkara dalam satu surat dakwaan. Hal ini dimungkinkan dalam hal yang diatur dalam pasal 141 KUHAP yang berbunyi:
Pasal 141 KUHAP:
“Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan,  apabila alam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa bekas perkara.”
Suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain apabila tindak pidana tersebut dilakukan:
  1. oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;
  2. oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari pemufakatan jahat yang dinuat oleh mereka sebelumnya;
  3. oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatka alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.
Sebagai kebalikan dari penggabungan perkara (voeging) adalah pemisahan perkara (splitsing). Menurut pasal 142 KUHAP dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa  tindak pidan ayang dilakukan oleh beberapa tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141 KUHAP, ia dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing tersangka secara terpisah.
Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatanya dalam perkara pidana tersebut, maka pengadilan negeri menimbang:
  1. tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut
  2. tentang kebenaran dasar gugatan
  3. tentang hukuman penggantian biaya telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
Dalam gugatan tersebut dapat diterima, putusan hakim memuattentang penetapan hukuman engantian biaya yag telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

F.      Penghentian Penuntutan, Penyampingan, Dan Penutupan Perkara
Dalam  pasal 14 huruf h KUHAP menentukan bahwa salah satu wewenang penutut umum adalah perbuatan untuk menutup perkara demi kepentingan hokum. Dalam ketentuan lain yaitu di dalam pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP menyebutkan pula perbuatan lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum, yaitu berupa penghentian penuntutan, sedang dalam pasal 46 ayat 1 huruf c KUHAP menentukan pula wewenang lain, yaitu tentang mengesampingkan lperkara untuk kepentingan umum.
Dasar-dasar yang meniadakan penuntutan antara lain dalam buku 1 KUHP:
  1. Bab v, yaitu dalam pasal-pasal 61 dan 62 KUHP
  2. Bab VII, yaitu pada pasal 72 KUHP dan selanjutnya
  3. Bab VIII, yaitu:
    1. Dalam pasal 82 KUHP
    2. Dalam pasal 76 KUHP
    3. Dalam pasal 77 KUHP
    4. Dalam pasal 78 KUHP
Dalam kitab undang-undang hokum pidana juga masih dapat dijumpai beberapa ketentua pidana yang secara logis haurs dipandang sebagai dasar-dasar yang meniadakan penuntutan dan bukan sebagai dasar-dasar yang meniadakan pidana, yaitu misalnya ketentuan pidana yang diatur dalam:
  1. Pasal 166 KUHP yang berbunyi antara lain:
“…..Ketentuan-ketentuan pidana dalam pasal 164 dan 165 KUHP itu tidak diberlakukan bagi mereka yang dengan pemberitahuan tersebut dapat mendatangkan bahwa penuntutan pidana bagi dirinya….”
  1. Pasal 221 ayat 2 KUHP yang berbunyi antara lain:
“….Ketentuan-ketentuan ini tidak dapat diberlakukan bagi mereka yang telah melakukan tindakan-tindakan sperti yang dimaksudkan di dalamnya dngan maksud untuk mencegah atau menghindarkan bahaya penuntutan bagi salah seorang saudaranya yang sedarah….”
  1. Pasal 284 ayat 2 KUHP yang berbunyi:
“….tidak ada suatu penuntutan pun akan dilakukan kecuali ada pengaduan dari suami yang terhina…”
Menurut ketentuan pasal 8 dari undang-undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan pokok kejaksaan republic Indonesia, lembaga Negara tahun 1961 No. 254, yang berwenang mengesampingkansuatu perkara berdasarkan kepentingan umum itu adalah Jaksa Agung.
Wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum seperti itu,dalam ilmu pengetahuan hkum pidan juga dikenal sebagai wewenang untuk mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitis (opportuniteits beginsel), yakni salah sebuah asas yang semata-mata terdapat dalam hokum acara pidana dan tidak terdapat dalam hokum penitensier.
Menurut Franken wewenang untuk mengesampingakan perkara berdasarkan asa oprtunitas itu meliputi wewenang:
    1. tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan
    2. membatasi penuntutan atau penuntutan lebih lanjut lebih lanjut tersebut
    3. tidak menuntut atau tidak melanjutkan penuntutan secara bersyarat.

G.    Cara Mengajukan Perkara Oleh Penuntut Umum
Ada 3 cara mengajukannya ke pengadilan yaitu:
  1. Perkara Rol, terdiri atas:  a. Rol tindak pidana ringan dan
  b. Rol lalu lintas
2.  Perkara Sumair
3.  Perkara Biasa
1 .a. Perkara rol tindak pidana ringan
Menurut pasal 205 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidan ringan  adalah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan.
    b. perkara rol lalu lintas
Menurut pasal 211 KUHAP, yang diperikasa dengan acara cepat ini adalah perkara pelanggaran lalu lintas tertentu, jadi tidak semua pelangggaran terhadap peraturan undang-undang lalu lintas. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas ini tidak perlu berita acara pemeriksaan.
2.      Perkara Sumair
Yang diperiksa menurut  cara pemeriksaan sumair adalah perkara pidana yang menurut penuntut umum pembuktiannya mudah, penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
3.      Perkara Biasa
Perkara Biasa adalah perkara yang sulit pembuktiannya, demikian pula penerapan hukumnya dan merupakan perkara besar diajukan oleh penuntut umum dengan surat pelimpahan perkara (acte van overwijzing) Pasal 143 KUHAP.

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas dapat penulis simpulkan, penuntut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Sebelum dilakukan penuntutan dilaksanakan dipengadilan dilakukan terlebih dahulu pra penuntutan supaya sebelum dilaksanakannya penuntutan tidak terdapat kekeliruan atau kesalahan karena telah diselidiki dengan benar.
Makalah ini juga membahas apa-apa yang dilakukan setelah penuntutan, sebagaimana telah dijelaskan diatas. Apabila dalam makalah dan pemaparan penulis ada kekurangan dan kesalahan baik dari segi penulisan ataupun materi penulis minta maaf dan kepada Allah penulis mohon ampun.



DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalio Indonesia: Jakarta
Hamzah, Andi, 2004, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta
Harahap, M. Yahya. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika
Petranase, Syarifuddin, 2000, Hukum Acara Pidana, Universitas Sriwijaya.
Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Semarang : CV Mandar Maju

0 komentar :

Posting Komentar