1. Pengantar
Setelah sekitar bertahun-tahun
implementasi kebijakan otonomi daerah, hampir semua pihak sepakat bahwa
kebijakan tersebut memberikan gambaran yang dilematis. Di satu sisi, paling
tidak di atas kertas, otonomi daerah dianggap sebagai kunci perbaikan pelayanan
kepada masyarakat (public services) berdasarkan prinsip subsidiarity3.
Akan tetapi, di sisi lain, praktek-praktek implementasi kebijakan tersebut
dianggap telah mengarah pada terciptanya distorsi yang bisa berimplikasi pada
ekonomi biaya tinggi dan keruwetan birokrasi.
Hampir semua daerah
memiliki “visi” yang sama, yakni meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)
dengan cara menggenjot penerimaan pajak daerah dan retribusi. Pajak daerah dan retribusi
tersebut umumnya diterapkan dengan menggunakan peraturan daerah (Perda). Sejak
saat itulah muncul terminologi Perda “bermasalah” yang mengacu pada Perda-Perda
yang cenderung membebani masyarakat, khususnya dunia usaha, karena hanya
berorientasi pada pendapatan daerah. Contohnya, ada suatu daerah yang
menerapkan peraturan tentang retribusi khusus bagi dokter dan perawat, hanya
karena keduanya dianggap memiliki pendapatan “terlalu tinggi”. Contoh lain,
retribusi penggunaan jalan (dengan berbagai istilah, tapi intinya sama)
merupakah salah satu jenis Perda yang banyak dibuat oleh Pemda yang kemudian
dibatalkan oleh Pusat. Selain itu, yang juga sangat “populer” sebagai Perda
bermasalah adalah pungutan atas berbagai komoditi, khususnya komoditi hasil perkebunan.
Perda bermasalah juga bisa
terkait dengan hambatan non-tarif. Contohnya, ada sebuah daerah yang melarang
“orang luar” untuk membuka apotik di daerah tersebut, kecuali bekerjasama
dengan pengusaha setempat. Aturan yang kelihatannya diadopsi dari peraturan
tentang investor asing ini jelas “meresahkan”, karena bisa dikonotasikan
sebagai benih disintegrasi perekonomian.
Perda-Perda semacam itu
hampir semua daerah memilikinya. Tidak mengherankan, jika jumlah Perda
bermasalah itu secara keseluruhan mencapai lebih dari 1000 buah. Ini tentu saja
meresahkan, karena pada gilirannya akan merusak iklim usaha yang sebelumnya
sudah menjadi masalah di Indonesia. Dengan kata lain, jika tidak segera
ditemukan solusinya, Perda-Perda bermasalah tersebut akan berdampak negatif
terhadap perekonomian nasional. Gambaran lebih lengkap tentang jenis-jenis
Perda bermasalah yang diusulkan untuk dibatalkan dapat dilihat dalam www.djpkpd.go.id.
Oleh karena itu, salah satu persoalan pokok dalam
pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana
mengawasi Perda-Perda yang dibuat oleh daerah agar tetap berada di “jalan yang benar”. Makalah ini berupaya untuk
melihat masalah yang muncul dalam pengawasan
Perda dan beberapa alternatif pemecahan masalah.
2.
Review Perda Belum Optimal: Temuan IRDA III
Pada tahun 2002, ke-40 daerah penelitian IRDA telah
menyusun Perda sebanyak 635 buah, yang berarti dalam satu tahun (2002)
rata-rata setiap daerah menghasilkan sekitar 16 Perda (lihat Satriyo dkk,
2003). Sebagian besar dari Perda-Perda itu merupakan Perda yang terkait dengan
perdagangan. Studi itu menemukan, bahwa di antara seluruh Perda yang dibuat
oleh 40 daerah penelitian, hanya ada satu Perda yang dipermasalahkan oleh
Pusat, yakni Perda tentang pajak daerah bagi perusahaan minyak dan gas karena
dianggap tumpang tindih dengan pajak BBM (pajak Pusat) dan pajak kendaraan
bermotor (pajak Propinsi)4.
Lepas dari masalah substansinya, kasus pembatalan
Perda Kab Indramayu ini menarik untuk dicermati. Menurut pihak Pemkab
Indramayu, sebelum pihaknya telah berulangkali melakukan konsultasi dengan
pihak Departemen Dalam Negeri mengenai rencana penyusunan perda tersebut, dan
pihak Depdagri memberikan lampu hijau. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi
selain inkonsistensi Pusat (Depdagri), yakni kemungkinan perbedaan antara pihak
yang diajak konsultasi oleh Pemda sebelum mengeluarkan Perda dengan pihak yang
memutuskan bahwa sebuah Perda harus dibatalkan. Dalam kasus ini, telah ada
kesadaran pihak Pemda untuk tidak dengan “tiba-tiba” mengeluarkan Perda, tetapi
sayangnya tidak ada saluran yang tepat dan efektif untuk memfasilitasi
kebutuhan akan konsultasi tersebut.
Pada intinya, IRDA III menemukan bahwa proses review
Perda belum berjalan optimal dengan beberapa indikasi sbb:
- Ada perbedaan persepsi antara pusat dengan daerah dalam hal ruang lingkup review Perda. Sejauh ini, review oleh Pusat meliputi aspek administrative (konsistensi dengan peraturan lain, utamanya peraturan perundangan yang lebih tinggi) dan aspek substansi (merugikan kepentingan masyarakat).
Sementara itu, beberapa
daerah berpendapat bahwa seharusnya review Pusat hanya sampai pada penilaian
tentang kesesuaian Perda yang dibuat dengan aturan tentang kewenangan yang
sudah dilimpahkan kepada daerah (tidak perlu masuk ke wilayah substansi).
- Pemerintah pusat tidak dapat atau tidak mampu memenuhi target waktu satu bulan untuk meninjau kembali Perda tentang pajak daerah dan retribusi sebagaimana ditetapkan oleh UU 34/2000. Bahkan, tidak semua Perda yang diajukan di-review mendapatkan umpan balik atau komentar dari Pusat.
- Beberapa Pemda sudah melakukan konsultasi dengan Propinsi sebelum menerbitkan Perda tertentu, tetapi tetap saja ada Perda (yang sudah dikonsultasikan) dianggap bermasalah oleh Pusat, sehingga Pemda menganggap konsultasi itu sia-sia.
- Propinsi menerima salinan Perda, tetapi fungsinya hanya sebagai penyimpan arsip, karena tidak memiliki peran dalam melakukan peninjauan kembali Perda-Perda tersebut.
- Tidak ada satu pun Perda tentang APBD yang mendapat tanggapan dari Pusat, padahal ditemukan beberapa “keanehan”, misalnya: Tidak ada dana pembangunan yang dialokasikan oleh Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara) dalam APBD 2002.
3.
Kerangka Peraturan: Sumber Masalah Review Perda
Salah satu penyebab munculnya Perda bermasalah adalah
lemahnya kerangka peraturan (regulatory framework). Tabel menunjukkan
bahwa kerangka peraturan pertama yang harus dilihat adalah UU 22/1999 yang
(bersama dengan UU 25/1999) merupakan “induk” kebijakan otonomi daerah.
Pasal 113 dan 114 UU 22/1999 jelas menyatakan bahwa
dalam waktu 15 hari, pemerintah daerah harus menyerahkan salinan Perda dan/atau
SK Bupati/Walikota untuk di-review oleh pemerintah (pusat). Jika Perda
dan SK tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundangan lain, maka pemerintah berhak membatalkannya. Jika daerah
merasa keberatan, maka daerah bersangkutan dapat mengajukan persoalan ini
kepada MA.
Sepintas ketentuan ini cukup memadai, karena cukup
jelas dan mencakup semua jenis Perda dan SK Bupati/Walikota. Masalahnya, hingga
saat ini belum ada petunjuk pelaksanaan atau Juklak-nya. Juklak ini diperlukan
sebagai pedoman tentang bagaimana parturan tersebut dioperasionalkan.
Sebagai contoh, instansi mana yang ditunjuk untuk
menerima salinan Perda? Siapa yang melakukan review? Keputusan
pembatalan peraturan akan dibuat dalam bentuk apa (Kepmen, Keppres, PP)? Tidak
jelas mengapa Juklak tersebut tak kunjung disusun oleh pemerintah, padahal
mestinya Juklak semacam itu tidak sulit untuk dibuat. Akibatnya, ketentuan
Pasal 113 dan 114 dalan UU 22/199 yang idenya sangat baik ini praktis tidak
bisa dijalankan. Wajar jika kemudian banyak pihak mempertanyakan kemauan
politik pemerintah untuk manangani hal-hal semacam ini.
UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi juga
memuat ketentuan yang konsisten dengan ketentuan dalam UU 22/1999. Hanya saja,
dalam kasus ini, Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD) Depdagri
berinisiatif untuk megeluarkan SK atas nama Menteri Keuangan yang pada intinya
merupakan Juklak tentang pengawasan Perda yang terkait dengan pajak daerah dan
retribusi.
Persoalan paling mendasar adalah posisi Juklak yang
tidak cukup kuat untuk dienforce kepada daerah. Secara formal, hierarkhi
peraturan di bawah Tap MPR dan UUD adalah UU, PP, Keppres dan Perda. Dalam
kondisi demikian, SK Menteri memiliki posisi yang tidak jelas dan selalu bisa
diperdebatkan. Akibatnya, kemampuan SK tersebut untuk mengawasi Perda menjadi
sangat lemah.
Kelemahan itu antara lain ditunjukkan oleh fakta bahwa
hingga saat ini, hanya sekitar 40% dari keseluruhan Perda-Perda yang salinannya
diserahkan kepada pemerintah. Selain itu, dari 206 Perda yang dibatalkan oleh
pemerintah, hanya 22 yang kemudian dicabut oleh daerah (Ray, 2003). Ilustrasi
yang lebih gamblang: Kepmendagri No 112 Tahun 2003 yang (antara lain)
membatalkan Perda No 1 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan Kota Cilegon mendapatkan
“perlawanan” yang serius dari Pemda. Bahkan ada ancaman “rakyat” Cilegon yang
tidak puas untuk menduduki Depdagri (Suara Pembaruan, 3 Desember 2003). Hal ini
merupakan indikasi bahwa kerangka peraturan tersebut tidak cukup kuat, dan pada
akhirnya sangat tergantung pada “hati nurani” pelaksana di daerah.
Di luar masalah posisi peraturan, ada masalah lain.
Pertama, Juklak UU 34/2000, SK DJPKPD No:S-37/MK.7/2001 hanya mencakup
Perda-Perda yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi, atau hanya mencakup
potensi hambatan tarif. Hambatan nontarif sebagaimana disinggung di awal
tulisan ini praktis tak bisa disentuh. Dari sisi kelembagaan, mestinya
Deperindag dapat mengambil langkah pro-aktif (sebagaimana yang diambil oleh
Departemen Keuangan) untuk menangani Perda-Perda yang menciptakan hambatan
non-tarif.
Kedua, terkait dengan beban dan kapasitas DJPKPD
sendiri. Jika di Indonesia ini ada 415 kabupaten/kota dan setiap daerah membuat
sekitar 10 Perda saja (bukan 16 seperti angka temuan IRDA), maka akan ada 4.150
Perda yang harus di-review. Andaikata DJPKPD memiliki total waktu empat
bulan (80 hari kerja) untuk melakukannya, berarti rata-rata setiap hari mereka
harus me-review sekitar 50 Perda. Jelas bahwa hanya orang dengan
kapasitas seperti Bandung Bondowoso dalam legenda Roro Jonggrang yang mampu
menyelesaikan tugas luar biasa berat itu!
Tabel
Beberapa Peraturan tentang
Pengawasan Perda
Peraturan
|
Substansi
|
Keterangan
|
UU
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 113 dan 114)
|
· Perda dan Keputusan Bupati/Walikota harus disampaikan kepada
pemerintah paling lambat 15 hari setelah ditetapkan
· Pemerintah dapat membatalkan Perda atau Keputusan Bupati/Walikota
jika bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi atau
peraturan perundangan lainnya
· Setelah keputusan pembatalan oleh pemerintah, Perda atau Keputusan
Walikota/Bupati harus dicabut
· Jika daerah keberatan, bisa mengajukan masalah ini ke MA
|
· Berlaku untuk semua jenis Perda
· Tidak operasional, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya.
|
UU
34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi (Pasal 5A)
|
· Dalam waktu 15 hari sejak ditetapkan, Perda tentang pajak daerah dan
retribusi harus disampaikan kepada pemerintah pusat
· Dalam waktu 1 bulan sejak diterima, pemerintah bisa membatalkan Perda
yang dianggap menyalahi ketentuan undangundang
|
· Konsisten dengan UU 22/1999
· Hanya mengatur Perda tentang pajak daerah dan retribusi
· Merupakan pasal tambahan dalam proses perubahan terhadap UU 18/1997
· Tidak operasional, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya.
|
Surat
Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah a/n Menkeu No: S 37/MK.7/2001
|
· Meminta Gubernur, Walikota dan Bupati untuk mengirimkan Perda tentang
pajak daerah dan retribusi kepada DJPKPD
|
· Merupakan tindakan pro-aktif DJPKPD karena juklak UU 34/2000 tidak
kunjung keluar.
|
Instruksi
Menteri Keuangan No: 2/IMK/2002
|
· Menginstruksikan Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran, Dirjen Bea Cukai, dan
Dirjen PKPD untuk pemantauan terhadap Raperda tentang pajak daerah dan
retribusi yang diperkirakaan bermasalah.
· Hasil pantauan disampaikan kepada Menkeu dengan tembusan DJPKPD
|
· Ditujukan untuk mengawasi Perda sejak proses pembuatannya (sebelum
ditetapkan)
|
Surat
Edaran Dirjen Anggaran No: SE- 40/A/2002.
|
· Kanwil Ditjen Anggaran diminta untuk melakukan pemantauan atas
Raperda
· Hasil pantauan disampaikan kepada Dirjen Anggaran.
|
· Merupakan tindak lanjut Instruksi Menkeu No: 2/IMK/2002
|
Sumber: Disarikan dari UU 22/1999, UU 34/2000 dan Ismail
(2003)
4.
Peran Masyarakat: Sumber Masalah Kualitas Perda
Pertanyaan yang lebih mendalam adalah: Mengapa muncul
Perda bermasalah? Banyak pihak yang menuding ketidak-adilan alokasi dana dari
pusat ke daerah (dana perimbangan) merupakan biang keladinya. Sistem alokasi
yang sangat berat kepada sumberdaya alam menyebabkan daerah-daerah yang tidak
memiliki sumberdaya alam mencari alternatif lain untuk mendongkrak penerimaan
daerah.
Itu mungkin benar. Tetapi ada satu hal yang sangat
sering dilupakan orang ketika membahas Perda bermasalah, yakni minimnya
partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan Perda.
Sudah cukup banyak daerah yang memiliki Perda tentang
“Tata Cara Pembuatan Perda”, yang di dalamnya memuat keharusan untuk melibatkan
masyarakat. Sayangnya, pelaksanaannya ibarat jauh panggang dari api. Pelibatan
masyarakat dalam penyusunan Perda akhirnya terjebak pada formalitas. Secara
formal, keterlibatan itu ada, tetapi tidak substansial.
Masalah minimnya partisipasi masyarakat tidak
sepenuhnya bisa ditimpakan kepada pemerintah (dalam hal ini pemda). Lemahnya
organisasi dan lembaga penyalur aspirasi masyarakat menyebabkan pemerintah
selalu kesulitan ketika hendak melibatkan masyarakat. Selalu terjadi,
pemerintah merasa sudah melibatkan, tetapi masyarakat merasa belum dilibatkan.
Sementara itu, DPRD yang seharusnya mewakili
masyarakat hingga kini tak mampu melaksanakan fungsi utamanya itu. Yang tidak
boleh dilupakan adalah, banyak pihak (termasuk masyarakat) yang berpendapat
bahwa Perda merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah untuk menyusunnya
tanpa perlu mendengarkan pendapat masyarakat.
Apa pun alasannya, rendahnya partisipasi masyarakat
menyebabkan Perda-Perda yang ditetapkan, padahal jelas-jelas merugikan masyarakat.
Idealnya, filter pertama unutk menyaring Perda justru harus berasal dari
masyarakat selama proses penyusunan. Seharusnya, masyarakat pula yang pertama
“berteriak” ketika ada sebuah Perda yang merugikan atau membebani masyarakat
secara berlebihan.
Problem utama yang dihadapi oleh berbagai organisasi
kemasyarakatan (civil society organization atau CSO) adalah
lemahnya kemampuan untuk secara nyata merepresentasikan masyarakat. Contohnya,
tidak sedikit organisasi pengusaha yang hanya terdiri dari beberapa elit atau
aktivis, tanpa memiliki basis keanggotaan yang nyata. Organisasi seperti inilah
yang seringkali dilibatkan oleh pemda dalam proses penyusunan Perda. Jangan
heran, jika akhirnya terjadi kesenjangan antara pemda dengan masyarakat.
Pemerintah sudah merasa melibatkan masyarakat, tetapi masyarakat tidak pernah
merasa dilibatkan.
Problem lain adalah adanya anggapan yang keliru,
bahwa LSM merupakan representasi masyarakat. Banyak pemda yang merasa bahwa
dengan melibatkan LSM tertentu dalam penyusunan Perda, berarti mereka telah
melibatkan masyarakat. Perlu diingat, bahwa LSM merupakan organisasi yang
bekerja untuk masyarakat, bukan atas nama masyarakat (kecuali jika mendapat
mandat dari masyarakat).
Dengan berbagai keterbatasan tersebut, tidak ada cara
yang lebih baik daripada membuka akses semua komponen masyarakat untuk
memberikan pendapat dalam proses penyusunan Perda. Dengan kata lain, penyusunan
Perda dijadikan sebagai sebuah proses yang sangat terbuka.
Bagi Pemda, tidak apa-apa “repot” di awal penyusunan,
daripada Perda yang dihasilkan kemudian mendapat “pelawanan” dari berbagai
pihak. Selain itu, mekanisme ini bisa menjadi “amunisi” bagi Pemda jika
ternyata Perda yang dihasilkan dibatalkan oleh pemerintah (pusat), padahal
menurut Pemda Perda itu perlu dilaksanakan. Kembali ke kasus Perda No 1 Tahun
2001 Kota Cilegon tentang kepelabuhan, berbagai upaya yang dilakukan oleh
Pemkot untuk mendapatkan penilaian yang obyektif (antara lain menggunakan jasa
LPEM Universitas Indonesia) sangat patut dihargai5. “Amunisi” tersebut
seharusnya sudah cukup untuk melakukan perlawanan secara hukum melalui Mahkamah
Agung, tanpa melalui pengerahan massa yang berisiko terjadinya tindakan anarkhis.
Peran masyarakat (non-pemerintah) bukan hanya
diperlukan dalam proses penyusunan, tetapi juga dalam proses pengawasan. Dalam
budaya politik Indonesia hingga kini, dimana pemerintah dikonotasikan sebagai
penguasa, ide pengawasan oleh masyarakat tidak mudah diterima.
Jadi, yang perlu disadari adalah keterbatasan
pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap Perda-Perda. Telah dijelaskan di
atas, bahwa secara kuantitatif saja, beban pengawasan Perda memang tidak
realistik. Itu baru masalah jumlah. Belum lagi masalah kapasitas, karena untuk
bisa menilai Perda secara baik, paling tidak diperlukan pemahaman tentang
hukum, administrasi pemerintahan, substansi persoalan, dan aspirasi masyarakat.
Sulit dibayangkan, ada sebuah institusi yang memenuhi semua persyaratan
tersebut.
Dalam kondisi demikian, tidak ada cara lain kecuali
melibatkan masyarakat pemantauan Perda. Dalam konteks ini, pemantauan terhadap
Perda bisa dibagi dua, yakni pengawasan yang sifatnya administratif
(sistematika, konsistensi dengan peraturan lain, prosedur, dsb) dan pengawasan
yang sifatnya substantif.
Pengawasan administratif sebaiknya tetap dilakukan
oleh pemerintah. Tetapi pengawasan secara substantif sebaiknya dilakukan dengan
bantuan organisasi pengusaha dan organisasi masyarakat sipil lain.
Prosedurnya, Pemda tetap harus menyampaikan salinan
Perda kepada pemerintah, tetapi pemerintah kemudian meminta pendapat organisasi
masyarakat untuk melakukan penilaian substantif. Keputusan formal tentang
penilaian terhadap Perda tetap harus keluar dari instansi pemerintah.
4.
Penutup: Seriuskah Pemerintah?
Berdasarkan paparan tersebut di atas, ada dua hal
besar yang perlu dilakukan untuk menangani Perda-Perda bermasalah. Yang
pertama, dan utama, adalah memperbaiki kerangka peraturan. Pasal 113 dan 114 UU
22/1999 (atau edisi revisinya) harus segera dilengkapi dengan petunjuk
pelaksanaan (Juklak).
Juklak pengawasan Perda harus dibuat secara jelas dan
melalui peraturan yang memiliki status hukum cukup tinggi. Peraturan pemerintah
(PP) merupakan level peraturan yang ideal bagi pengawasan Perda. Sementara itu,
keputusan pembatalan Perda selayaknya dilakukan melalui Keputusan Presiden
(Keppres). Harus dipahami, bahwa Kepmen tidak cukup kuat untuk mengikat daerah
tanpa banyak perdebatan. PP tentang pengawasan Perda juga sebaiknya
mencantumkan ketentuan tentang pelibatan masyarakat dalam proses pengawasan
Perda. Kadin, Apindo, Fornas UKM, sekedar sebagai contoh, merupakan tiga
lembaga yang sukup potensial untuk dilibatkan.
Di luar itu ada, masih ada KPPOD dan berbagai
jaringan LSM yang juga punya kemampuan cukup memadai untuk membantu. Di luar
itu semua, perlu juga disadari, bahwa tidak adil jika hanya Pemda yang dianggap
melakukan kebijakan yang distortif terhadap perekonomian. Tidak sedikit kebijakan
pemerintah pusat yang tak kalah distortif, dan perlu “direformasi” demi menuju kepada
perekonomian yang efisien dan berdaya saing tinggi.
Jadi, pertanyaan kuncinya hanya satu: Seriuskan
pemerintah dalam menangani Perda bermasalah? Jika serius, maka harus
diterbitkan peraturan yang layak sebagai landasan operasional pelaksanaan
review Perda dan peraturan lain di tingkat daerah (termasuk di tingkat
propinsi). Jika serius, maka Pemda harus mengambil langkah yang nyata untuk
melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan Perda. Pada saat yang sama,
berbagai lembaga di tingkat mezzo sebaiknya terus bergiat untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya partisipasi dalam perencanaan pembangunan.
Selain itu, perlu juga dicatat, bahwa implementasi
otonomi daerah tidak hanya menghasilkan masalah, termasuk di antaranya Perda
bermasalah. Tidak sedikit inisiatif dan praktek-praktek baik (good practices)
dari kalangan pemda yang mustahil muncul dalam suasana yang sentralistik.
REFERENSI
Agoes, S.N., 2003. “Reformasi Kepelabuhan Indonesia:
Studi Kasus Kepelabuhan Kota Cilegon” dalam Decentralization, Regulatory Reform
and the Business Climate. PEG-USAID-Deperindag.
Ismail, T., 2003. “Kebijakan Pengawasan Atas Perda
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” dalam Decentralization, Regulatory Reform
and the Business Climate. PEG-USAID-Deperindag.
Ray, D., 2003. Decentralization, Regulatory Reform
and the Business Climate: Overview/Summary Paper. PEG-USAID-Deperindag.
Satriyo, H., dkk., 2003. Indonesia Rapid
Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Ketiga. The Asia Foundation.
0 komentar :
Posting Komentar