Sabtu, 29 November 2014

Seriuskah Pemerintah? Dalam Menangani PERDA Bermasalah


1. Pengantar
Setelah sekitar bertahun-tahun implementasi kebijakan otonomi daerah, hampir semua pihak sepakat bahwa kebijakan tersebut memberikan gambaran yang dilematis. Di satu sisi, paling tidak di atas kertas, otonomi daerah dianggap sebagai kunci perbaikan pelayanan kepada masyarakat (public services) berdasarkan prinsip subsidiarity3. Akan tetapi, di sisi lain, praktek-praktek implementasi kebijakan tersebut dianggap telah mengarah pada terciptanya distorsi yang bisa berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi dan keruwetan birokrasi.
Hampir semua daerah memiliki “visi” yang sama, yakni meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan cara menggenjot penerimaan pajak daerah dan retribusi. Pajak daerah dan retribusi tersebut umumnya diterapkan dengan menggunakan peraturan daerah (Perda). Sejak saat itulah muncul terminologi Perda “bermasalah” yang mengacu pada Perda-Perda yang cenderung membebani masyarakat, khususnya dunia usaha, karena hanya berorientasi pada pendapatan daerah. Contohnya, ada suatu daerah yang menerapkan peraturan tentang retribusi khusus bagi dokter dan perawat, hanya karena keduanya dianggap memiliki pendapatan “terlalu tinggi”. Contoh lain, retribusi penggunaan jalan (dengan berbagai istilah, tapi intinya sama) merupakah salah satu jenis Perda yang banyak dibuat oleh Pemda yang kemudian dibatalkan oleh Pusat. Selain itu, yang juga sangat “populer” sebagai Perda bermasalah adalah pungutan atas berbagai komoditi, khususnya komoditi hasil perkebunan.
Perda bermasalah juga bisa terkait dengan hambatan non-tarif. Contohnya, ada sebuah daerah yang melarang “orang luar” untuk membuka apotik di daerah tersebut, kecuali bekerjasama dengan pengusaha setempat. Aturan yang kelihatannya diadopsi dari peraturan tentang investor asing ini jelas “meresahkan”, karena bisa dikonotasikan sebagai benih disintegrasi perekonomian.
Perda-Perda semacam itu hampir semua daerah memilikinya. Tidak mengherankan, jika jumlah Perda bermasalah itu secara keseluruhan mencapai lebih dari 1000 buah. Ini tentu saja meresahkan, karena pada gilirannya akan merusak iklim usaha yang sebelumnya sudah menjadi masalah di Indonesia. Dengan kata lain, jika tidak segera ditemukan solusinya, Perda-Perda bermasalah tersebut akan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Gambaran lebih lengkap tentang jenis-jenis Perda bermasalah yang diusulkan untuk dibatalkan dapat dilihat dalam www.djpkpd.go.id.
Oleh karena itu, salah satu persoalan pokok dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana mengawasi Perda-Perda yang dibuat oleh daerah agar tetap berada di “jalan yang benar”. Makalah ini berupaya untuk melihat masalah yang muncul dalam pengawasan Perda dan beberapa alternatif pemecahan masalah.


2. Review Perda Belum Optimal: Temuan IRDA III
Pada tahun 2002, ke-40 daerah penelitian IRDA telah menyusun Perda sebanyak 635 buah, yang berarti dalam satu tahun (2002) rata-rata setiap daerah menghasilkan sekitar 16 Perda (lihat Satriyo dkk, 2003). Sebagian besar dari Perda-Perda itu merupakan Perda yang terkait dengan perdagangan. Studi itu menemukan, bahwa di antara seluruh Perda yang dibuat oleh 40 daerah penelitian, hanya ada satu Perda yang dipermasalahkan oleh Pusat, yakni Perda tentang pajak daerah bagi perusahaan minyak dan gas karena dianggap tumpang tindih dengan pajak BBM (pajak Pusat) dan pajak kendaraan bermotor (pajak Propinsi)4.
Lepas dari masalah substansinya, kasus pembatalan Perda Kab Indramayu ini menarik untuk dicermati. Menurut pihak Pemkab Indramayu, sebelum pihaknya telah berulangkali melakukan konsultasi dengan pihak Departemen Dalam Negeri mengenai rencana penyusunan perda tersebut, dan pihak Depdagri memberikan lampu hijau. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi selain inkonsistensi Pusat (Depdagri), yakni kemungkinan perbedaan antara pihak yang diajak konsultasi oleh Pemda sebelum mengeluarkan Perda dengan pihak yang memutuskan bahwa sebuah Perda harus dibatalkan. Dalam kasus ini, telah ada kesadaran pihak Pemda untuk tidak dengan “tiba-tiba” mengeluarkan Perda, tetapi sayangnya tidak ada saluran yang tepat dan efektif untuk memfasilitasi kebutuhan akan konsultasi tersebut.
Pada intinya, IRDA III menemukan bahwa proses review Perda belum berjalan optimal dengan beberapa indikasi sbb:
  1. Ada perbedaan persepsi antara pusat dengan daerah dalam hal ruang lingkup review Perda. Sejauh ini, review oleh Pusat meliputi aspek administrative (konsistensi dengan peraturan lain, utamanya peraturan perundangan yang lebih tinggi) dan aspek substansi (merugikan kepentingan masyarakat).
Sementara itu, beberapa daerah berpendapat bahwa seharusnya review Pusat hanya sampai pada penilaian tentang kesesuaian Perda yang dibuat dengan aturan tentang kewenangan yang sudah dilimpahkan kepada daerah (tidak perlu masuk ke wilayah substansi).
  1. Pemerintah pusat tidak dapat atau tidak mampu memenuhi target waktu satu bulan untuk meninjau kembali Perda tentang pajak daerah dan retribusi sebagaimana ditetapkan oleh UU 34/2000. Bahkan, tidak semua Perda yang diajukan di-review mendapatkan umpan balik atau komentar dari Pusat.
  2. Beberapa Pemda sudah melakukan konsultasi dengan Propinsi sebelum menerbitkan Perda tertentu, tetapi tetap saja ada Perda (yang sudah dikonsultasikan) dianggap bermasalah oleh Pusat, sehingga Pemda menganggap konsultasi itu sia-sia.
  3. Propinsi menerima salinan Perda, tetapi fungsinya hanya sebagai penyimpan arsip, karena tidak memiliki peran dalam melakukan peninjauan kembali Perda-Perda tersebut.
  4. Tidak ada satu pun Perda tentang APBD yang mendapat tanggapan dari Pusat, padahal ditemukan beberapa “keanehan”, misalnya: Tidak ada dana pembangunan yang dialokasikan oleh Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara) dalam APBD 2002.

3. Kerangka Peraturan: Sumber Masalah Review Perda
Salah satu penyebab munculnya Perda bermasalah adalah lemahnya kerangka peraturan (regulatory framework). Tabel menunjukkan bahwa kerangka peraturan pertama yang harus dilihat adalah UU 22/1999 yang (bersama dengan UU 25/1999) merupakan “induk” kebijakan otonomi daerah.
Pasal 113 dan 114 UU 22/1999 jelas menyatakan bahwa dalam waktu 15 hari, pemerintah daerah harus menyerahkan salinan Perda dan/atau SK Bupati/Walikota untuk di-review oleh pemerintah (pusat). Jika Perda dan SK tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangan lain, maka pemerintah berhak membatalkannya. Jika daerah merasa keberatan, maka daerah bersangkutan dapat mengajukan persoalan ini kepada MA.
Sepintas ketentuan ini cukup memadai, karena cukup jelas dan mencakup semua jenis Perda dan SK Bupati/Walikota. Masalahnya, hingga saat ini belum ada petunjuk pelaksanaan atau Juklak-nya. Juklak ini diperlukan sebagai pedoman tentang bagaimana parturan tersebut dioperasionalkan.
Sebagai contoh, instansi mana yang ditunjuk untuk menerima salinan Perda? Siapa yang melakukan review? Keputusan pembatalan peraturan akan dibuat dalam bentuk apa (Kepmen, Keppres, PP)? Tidak jelas mengapa Juklak tersebut tak kunjung disusun oleh pemerintah, padahal mestinya Juklak semacam itu tidak sulit untuk dibuat. Akibatnya, ketentuan Pasal 113 dan 114 dalan UU 22/199 yang idenya sangat baik ini praktis tidak bisa dijalankan. Wajar jika kemudian banyak pihak mempertanyakan kemauan politik pemerintah untuk manangani hal-hal semacam ini.
UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi juga memuat ketentuan yang konsisten dengan ketentuan dalam UU 22/1999. Hanya saja, dalam kasus ini, Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD) Depdagri berinisiatif untuk megeluarkan SK atas nama Menteri Keuangan yang pada intinya merupakan Juklak tentang pengawasan Perda yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi.
Persoalan paling mendasar adalah posisi Juklak yang tidak cukup kuat untuk dienforce kepada daerah. Secara formal, hierarkhi peraturan di bawah Tap MPR dan UUD adalah UU, PP, Keppres dan Perda. Dalam kondisi demikian, SK Menteri memiliki posisi yang tidak jelas dan selalu bisa diperdebatkan. Akibatnya, kemampuan SK tersebut untuk mengawasi Perda menjadi sangat lemah.
Kelemahan itu antara lain ditunjukkan oleh fakta bahwa hingga saat ini, hanya sekitar 40% dari keseluruhan Perda-Perda yang salinannya diserahkan kepada pemerintah. Selain itu, dari 206 Perda yang dibatalkan oleh pemerintah, hanya 22 yang kemudian dicabut oleh daerah (Ray, 2003). Ilustrasi yang lebih gamblang: Kepmendagri No 112 Tahun 2003 yang (antara lain) membatalkan Perda No 1 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan Kota Cilegon mendapatkan “perlawanan” yang serius dari Pemda. Bahkan ada ancaman “rakyat” Cilegon yang tidak puas untuk menduduki Depdagri (Suara Pembaruan, 3 Desember 2003). Hal ini merupakan indikasi bahwa kerangka peraturan tersebut tidak cukup kuat, dan pada akhirnya sangat tergantung pada “hati nurani” pelaksana di daerah.
Di luar masalah posisi peraturan, ada masalah lain. Pertama, Juklak UU 34/2000, SK DJPKPD No:S-37/MK.7/2001 hanya mencakup Perda-Perda yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi, atau hanya mencakup potensi hambatan tarif. Hambatan nontarif sebagaimana disinggung di awal tulisan ini praktis tak bisa disentuh. Dari sisi kelembagaan, mestinya Deperindag dapat mengambil langkah pro-aktif (sebagaimana yang diambil oleh Departemen Keuangan) untuk menangani Perda-Perda yang menciptakan hambatan non-tarif.
Kedua, terkait dengan beban dan kapasitas DJPKPD sendiri. Jika di Indonesia ini ada 415 kabupaten/kota dan setiap daerah membuat sekitar 10 Perda saja (bukan 16 seperti angka temuan IRDA), maka akan ada 4.150 Perda yang harus di-review. Andaikata DJPKPD memiliki total waktu empat bulan (80 hari kerja) untuk melakukannya, berarti rata-rata setiap hari mereka harus me-review sekitar 50 Perda. Jelas bahwa hanya orang dengan kapasitas seperti Bandung Bondowoso dalam legenda Roro Jonggrang yang mampu menyelesaikan tugas luar biasa berat itu!

Tabel
Beberapa Peraturan tentang Pengawasan Perda
Peraturan
Substansi
Keterangan
UU 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 113 dan 114)
·      Perda dan Keputusan Bupati/Walikota harus disampaikan kepada pemerintah paling lambat 15 hari setelah ditetapkan
·      Pemerintah dapat membatalkan Perda atau Keputusan Bupati/Walikota jika bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi atau peraturan perundangan lainnya
·      Setelah keputusan pembatalan oleh pemerintah, Perda atau Keputusan Walikota/Bupati harus dicabut
·      Jika daerah keberatan, bisa mengajukan masalah ini ke MA
·      Berlaku untuk semua jenis Perda
·      Tidak operasional, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya.
UU 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi (Pasal 5A)
·      Dalam waktu 15 hari sejak ditetapkan, Perda tentang pajak daerah dan retribusi harus disampaikan kepada pemerintah pusat
·      Dalam waktu 1 bulan sejak diterima, pemerintah bisa membatalkan Perda yang dianggap menyalahi ketentuan undangundang
·      Konsisten dengan UU 22/1999
·      Hanya mengatur Perda tentang pajak daerah dan retribusi
·      Merupakan pasal tambahan dalam proses perubahan terhadap UU 18/1997
·      Tidak operasional, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya.
Surat Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah a/n Menkeu No: S 37/MK.7/2001
·      Meminta Gubernur, Walikota dan Bupati untuk mengirimkan Perda tentang pajak daerah dan retribusi kepada DJPKPD
·      Merupakan tindakan pro-aktif DJPKPD karena juklak UU 34/2000 tidak kunjung keluar.
Instruksi Menteri Keuangan No: 2/IMK/2002
·      Menginstruksikan Dirjen Pajak, Dirjen Anggaran, Dirjen Bea Cukai, dan Dirjen PKPD untuk pemantauan terhadap Raperda tentang pajak daerah dan retribusi yang diperkirakaan bermasalah.
·      Hasil pantauan disampaikan kepada Menkeu dengan tembusan DJPKPD
·      Ditujukan untuk mengawasi Perda sejak proses pembuatannya (sebelum ditetapkan)
Surat Edaran Dirjen Anggaran No: SE- 40/A/2002.
·      Kanwil Ditjen Anggaran diminta untuk melakukan pemantauan atas Raperda
·      Hasil pantauan disampaikan kepada Dirjen Anggaran.
·      Merupakan tindak lanjut Instruksi Menkeu No: 2/IMK/2002
Sumber: Disarikan dari UU 22/1999, UU 34/2000 dan Ismail (2003)

4. Peran Masyarakat: Sumber Masalah Kualitas Perda
Pertanyaan yang lebih mendalam adalah: Mengapa muncul Perda bermasalah? Banyak pihak yang menuding ketidak-adilan alokasi dana dari pusat ke daerah (dana perimbangan) merupakan biang keladinya. Sistem alokasi yang sangat berat kepada sumberdaya alam menyebabkan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam mencari alternatif lain untuk mendongkrak penerimaan daerah.
Itu mungkin benar. Tetapi ada satu hal yang sangat sering dilupakan orang ketika membahas Perda bermasalah, yakni minimnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan Perda.
Sudah cukup banyak daerah yang memiliki Perda tentang “Tata Cara Pembuatan Perda”, yang di dalamnya memuat keharusan untuk melibatkan masyarakat. Sayangnya, pelaksanaannya ibarat jauh panggang dari api. Pelibatan masyarakat dalam penyusunan Perda akhirnya terjebak pada formalitas. Secara formal, keterlibatan itu ada, tetapi tidak substansial.
Masalah minimnya partisipasi masyarakat tidak sepenuhnya bisa ditimpakan kepada pemerintah (dalam hal ini pemda). Lemahnya organisasi dan lembaga penyalur aspirasi masyarakat menyebabkan pemerintah selalu kesulitan ketika hendak melibatkan masyarakat. Selalu terjadi, pemerintah merasa sudah melibatkan, tetapi masyarakat merasa belum dilibatkan.
Sementara itu, DPRD yang seharusnya mewakili masyarakat hingga kini tak mampu melaksanakan fungsi utamanya itu. Yang tidak boleh dilupakan adalah, banyak pihak (termasuk masyarakat) yang berpendapat bahwa Perda merupakan kewenangan penuh pemerintah daerah untuk menyusunnya tanpa perlu mendengarkan pendapat masyarakat.
Apa pun alasannya, rendahnya partisipasi masyarakat menyebabkan Perda-Perda yang ditetapkan, padahal jelas-jelas merugikan masyarakat. Idealnya, filter pertama unutk menyaring Perda justru harus berasal dari masyarakat selama proses penyusunan. Seharusnya, masyarakat pula yang pertama “berteriak” ketika ada sebuah Perda yang merugikan atau membebani masyarakat secara berlebihan.
Problem utama yang dihadapi oleh berbagai organisasi kemasyarakatan (civil society organization atau CSO) adalah lemahnya kemampuan untuk secara nyata merepresentasikan masyarakat. Contohnya, tidak sedikit organisasi pengusaha yang hanya terdiri dari beberapa elit atau aktivis, tanpa memiliki basis keanggotaan yang nyata. Organisasi seperti inilah yang seringkali dilibatkan oleh pemda dalam proses penyusunan Perda. Jangan heran, jika akhirnya terjadi kesenjangan antara pemda dengan masyarakat. Pemerintah sudah merasa melibatkan masyarakat, tetapi masyarakat tidak pernah merasa dilibatkan.
Problem lain adalah adanya anggapan yang keliru, bahwa LSM merupakan representasi masyarakat. Banyak pemda yang merasa bahwa dengan melibatkan LSM tertentu dalam penyusunan Perda, berarti mereka telah melibatkan masyarakat. Perlu diingat, bahwa LSM merupakan organisasi yang bekerja untuk masyarakat, bukan atas nama masyarakat (kecuali jika mendapat mandat dari masyarakat).
Dengan berbagai keterbatasan tersebut, tidak ada cara yang lebih baik daripada membuka akses semua komponen masyarakat untuk memberikan pendapat dalam proses penyusunan Perda. Dengan kata lain, penyusunan Perda dijadikan sebagai sebuah proses yang sangat terbuka.
Bagi Pemda, tidak apa-apa “repot” di awal penyusunan, daripada Perda yang dihasilkan kemudian mendapat “pelawanan” dari berbagai pihak. Selain itu, mekanisme ini bisa menjadi “amunisi” bagi Pemda jika ternyata Perda yang dihasilkan dibatalkan oleh pemerintah (pusat), padahal menurut Pemda Perda itu perlu dilaksanakan. Kembali ke kasus Perda No 1 Tahun 2001 Kota Cilegon tentang kepelabuhan, berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemkot untuk mendapatkan penilaian yang obyektif (antara lain menggunakan jasa LPEM Universitas Indonesia) sangat patut dihargai5. “Amunisi” tersebut seharusnya sudah cukup untuk melakukan perlawanan secara hukum melalui Mahkamah Agung, tanpa melalui pengerahan massa yang berisiko terjadinya tindakan anarkhis.
Peran masyarakat (non-pemerintah) bukan hanya diperlukan dalam proses penyusunan, tetapi juga dalam proses pengawasan. Dalam budaya politik Indonesia hingga kini, dimana pemerintah dikonotasikan sebagai penguasa, ide pengawasan oleh masyarakat tidak mudah diterima.
Jadi, yang perlu disadari adalah keterbatasan pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap Perda-Perda. Telah dijelaskan di atas, bahwa secara kuantitatif saja, beban pengawasan Perda memang tidak realistik. Itu baru masalah jumlah. Belum lagi masalah kapasitas, karena untuk bisa menilai Perda secara baik, paling tidak diperlukan pemahaman tentang hukum, administrasi pemerintahan, substansi persoalan, dan aspirasi masyarakat. Sulit dibayangkan, ada sebuah institusi yang memenuhi semua persyaratan tersebut.
Dalam kondisi demikian, tidak ada cara lain kecuali melibatkan masyarakat pemantauan Perda. Dalam konteks ini, pemantauan terhadap Perda bisa dibagi dua, yakni pengawasan yang sifatnya administratif (sistematika, konsistensi dengan peraturan lain, prosedur, dsb) dan pengawasan yang sifatnya substantif.
Pengawasan administratif sebaiknya tetap dilakukan oleh pemerintah. Tetapi pengawasan secara substantif sebaiknya dilakukan dengan bantuan organisasi pengusaha dan organisasi masyarakat sipil lain.
Prosedurnya, Pemda tetap harus menyampaikan salinan Perda kepada pemerintah, tetapi pemerintah kemudian meminta pendapat organisasi masyarakat untuk melakukan penilaian substantif. Keputusan formal tentang penilaian terhadap Perda tetap harus keluar dari instansi pemerintah.

4. Penutup: Seriuskah Pemerintah?
Berdasarkan paparan tersebut di atas, ada dua hal besar yang perlu dilakukan untuk menangani Perda-Perda bermasalah. Yang pertama, dan utama, adalah memperbaiki kerangka peraturan. Pasal 113 dan 114 UU 22/1999 (atau edisi revisinya) harus segera dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan (Juklak).
Juklak pengawasan Perda harus dibuat secara jelas dan melalui peraturan yang memiliki status hukum cukup tinggi. Peraturan pemerintah (PP) merupakan level peraturan yang ideal bagi pengawasan Perda. Sementara itu, keputusan pembatalan Perda selayaknya dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Harus dipahami, bahwa Kepmen tidak cukup kuat untuk mengikat daerah tanpa banyak perdebatan. PP tentang pengawasan Perda juga sebaiknya mencantumkan ketentuan tentang pelibatan masyarakat dalam proses pengawasan Perda. Kadin, Apindo, Fornas UKM, sekedar sebagai contoh, merupakan tiga lembaga yang sukup potensial untuk dilibatkan.
Di luar itu ada, masih ada KPPOD dan berbagai jaringan LSM yang juga punya kemampuan cukup memadai untuk membantu. Di luar itu semua, perlu juga disadari, bahwa tidak adil jika hanya Pemda yang dianggap melakukan kebijakan yang distortif terhadap perekonomian. Tidak sedikit kebijakan pemerintah pusat yang tak kalah distortif, dan perlu “direformasi” demi menuju kepada perekonomian yang efisien dan berdaya saing tinggi.
Jadi, pertanyaan kuncinya hanya satu: Seriuskan pemerintah dalam menangani Perda bermasalah? Jika serius, maka harus diterbitkan peraturan yang layak sebagai landasan operasional pelaksanaan review Perda dan peraturan lain di tingkat daerah (termasuk di tingkat propinsi). Jika serius, maka Pemda harus mengambil langkah yang nyata untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan Perda. Pada saat yang sama, berbagai lembaga di tingkat mezzo sebaiknya terus bergiat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya partisipasi dalam perencanaan pembangunan.
Selain itu, perlu juga dicatat, bahwa implementasi otonomi daerah tidak hanya menghasilkan masalah, termasuk di antaranya Perda bermasalah. Tidak sedikit inisiatif dan praktek-praktek baik (good practices) dari kalangan pemda yang mustahil muncul dalam suasana yang sentralistik.

REFERENSI
Agoes, S.N., 2003. “Reformasi Kepelabuhan Indonesia: Studi Kasus Kepelabuhan Kota Cilegon” dalam Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate. PEG-USAID-Deperindag.
Ismail, T., 2003. “Kebijakan Pengawasan Atas Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah” dalam Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate. PEG-USAID-Deperindag.
Ray, D., 2003. Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate: Overview/Summary Paper. PEG-USAID-Deperindag.
Satriyo, H., dkk., 2003. Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA): Laporan Ketiga. The Asia Foundation.

0 komentar :

Posting Komentar