BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan umum hampir-hampir tidak mungkin dilaksanakan tanpa kehadiran
partai-partai politik ditengah masyarakat. Keberadaan partai juga merupakan
salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai
politik itulah segala aspirasi rakyat yang kedaulatan berada di tangan rakyat,
maka kekuasaan harus dibangun dari bawah. Konsekuensinya, kepada rakyat harus
diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik.
Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan fikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dalam UU”. Maksudnya, disana dinyatakan bahwa Pasal 28 ini serta
pasal-pasal lain yang mengenai penduduk dan warga negara hasrat Bangsa Indonesia untuk
membangun negara yang bersifat ber-prikemanusiaan. Jadi yang diperlukan untuk
memerinci ketentuan Pasal 28 ini adalah sebuah Undang-undang yang mengatur
tentang “Kebebasan Berserikat” warga negaranya. Bukan sebuah Undang-undang
yang justru akan membatasi warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi
suaranya.
Memang, kebebasan mendirikan partai
tanpa batas dapat menimbulkan banyak berbagai persoalan yang justru merugikan
perkembangan demokrasi. Kalau memang jumlah partai harus dibatasi, maka
persoalannya kemudian ialah bagaimana caranya agar patai-partai itu dapat
memainkan parannya secara wajar dan optimal, baik sebagai wahana penyalur
aspirasi rakyat maupun sebagai sarana membangun pemerintahan secara demokrasi
dari bawah, yang mampu menunjukkan bahwa negara memang menganut asas kedaulatan
rakyat.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga)
Dasawarsa terakhir ini menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam
memainkan peranan politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat
serta wahana pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di
negeri ini.
Apabila kita ilihat dari sudut pandang
Ilmu Politik, hal ini nampaknya disebabkan oleh menguatnya peranan birokrasi
dalam penyelenggaraan negara, ditambah dengan dikembangkannya sistem politik
yang cenderung ke arah monolitik. Ada
satu sisi segi positif kecenderungan ini, yaitu terpeliharanya stabilitas
politik negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama
dibidang ekonomi yang sangat berpengaruh dari stabilitasan politik dalam
negeri.
Namun ada pula sisi negatifnya yakni
kurang terserapnya aspirasi dan partisipasi rakyat secara menyeluruh dari
lapisan bawah. Salah satu dampaknya ialah kecenderungan semakin melebarnya
kesenjangan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat, terutama masyarakat kecil
yang selalu terpuruk dalam keadaan ekonomi yang tidak menentu. Dan hal ini
terlihat saat pemerintah yang menaikkan beban ekonomi pada masyarakat secara
umum, yang mengakibatkan sebuah problema yang mempengaruhi tata kehidupan
ekonomi masyarakat. Sebagai contoh yang ada pada saat sekarang yaitu,
Pemerintah yang menaikkan harga BBM yang alasan Pemerintah bahwa hal ini
disebabkan akan naiknya harga Minyak Dunia, akan tetapi dengan adanya
kompensasi bahwa rakyat kecil dan miskin akan mendapat bantuan berupa BLT yang
dibagikan seharga Rp. 300.000,- per kepala keluarga se-Indonesia.
Akan tetapi pada kenyataan bahwa data
yang digunakan adalah data lama (2005) yang banyak data yang sewaktu dilihat
pada kenyataannya yaitu banyak rakyat Indonesia yang bertambah miskin
sejak tahun 2005 sampai tahun 2008. Serta juga dalam hal pembagian juga banyak
sekali ketimpangan yang terjadi, antara lain adanya rakyat yang miskin yang
tidak mendapat BLT serta juga ada rakyat yang mampu perekonomiannya yang
mendapatkan BLT.
Lemahnya peranan dari partai politik
yang terjadi ditengah masyarakat dengan sendirinya mengurangi makna asas
kedaulatan rakyat yang kita anut, serta juga banyak rakyat yang tidak percaya
akan peranan partai politik akan mau memperjuangkan aspirasi rakyat secara umum
yang menjerit akan himpinan hidup yang diciptakan oleh pemerintahan yang kurang
bisa menangani akan tata pemerintahan dalam hal ekonomi. Lemahnya posisi partai
politik juga turut serta mengambil keputusan-keputusan politik yang ada di
dewan pemerintahan, karena dominan peranan sebuah birokrasi politik yang
membawa dampak kurang bermaknanya arti sebuah pemilihan umum yang ada di negeri
ini. Pemilihan umum yang berlangsung cenderung tidak membawa perubahan yang
berarti, baik dalam proses peralihan maupun dalam upaya peningkatan aspirasi
rakyat dari bawah dan juga perbaikan ekonomi yang di inginkan oleh rakyat
secara umum.
Namun demikian, tidaklah berarti bahwa
pemilihan umum yang selama ini dilaksanakan selama sama sekali tidak mempunyai
makna yang berarti. Keberhasilan pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan
pemilihan umum secara yang secara rutin sekali dalam 5 tahun tentu mempunyai
arti tersendiri dalam proses pembangunan demokrasi yang ada di Indonesia ini,
walaupun banyak cacat yang terjadi disana-sini tetapi hal yang patut di
perhatikan bahwa pemerintahan Orde Baru mampu melaksanakan pemilu secara
berkala.
Tetapi, walau bagaimanapun dari waktu ke
waktu diperlukan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Ini
terutama menyangkut pembenahan kehidupan kepartaian yang ada di negara kita dan
berbagai aspek mengenai penyelenggaraan pemilihan umum, baik dari segi
pengeturan, penyelenggaraan maupun sistemnya serta penyidikan akan pelanggaran
dari para peserta pemilu serta juga dari Jurkam maupun Timsesnya.
Adapun dalam masalah Pemilihan Kepala
Daerah (PILKADA) yang sesuai dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku
yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur akan tata Pemerintahan
Daerah (PEMDA) dalam mengatur pemerintahan sendiri terutama dalam hal Pemilihan
Kepala Daerah (PILKADA). Undang-undang ini sesuai dengan UUD 1945 yang ada pada
UUD 1945 perubahan pertama yaitu Pasal 22E UUD 1945. Yaitu bahwa Pemilihan
Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para
wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang
berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Jimlie
Ashshiqie, 2006, hal:792).
Sedangkan dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang
bertempat tugas di daerah Tingkat I (Provinsi), daerah Tingkat II (Kabupaten),
dan Kota.
Komisi ini melaksanakan tugasnya sebagai badan pelaksana pemerintah yang mengurusi
akan masalah Pemilihan Kepala Daerah yang ada di daerah tanggung jawabnya.
Adapun tugas dari KPUD bukan hanya saja memilih Gubernur, Bupati, maupun
Walikota akan tetapi DPRD juga turut serta dalam wewenang tanggung jawab dari
KPUD dalam memilih anggota legislatif yang ada di daerah. Akan tetapi fokus
dalam masalah yang berkembang dalam wacana publik yang ada yaitu banyak
masyarakat daerah tersebut atau masyarakat umum se-Indonesia yang membicarakan
masalah pemilihan kepala daerah yang berstatus Gubernur, Walikota, maupun
Bupati.
Sedangkan pengertian dari Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Lalu yang ada dalam pemerintah daerah
adalah Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Undang-undang No. 32
Tahun 2008, Pasal 1 Ayat 2 dan Ayat 3)
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah?
2. Apakah
demokrasi menjadi kunci terjawabnya partisipasi politik dalam pemilihan kepala
daerah.?
3. Apakah
Money Politics mempengaruhi akan partisipasi politik masyarakat dalam
Pemilihan Kepala Daerah serta apakah boleh untuk menjalankan Money Politics dalam
acara demokrasi yang ada ?
TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah
2. Untuk
mengetahui apakah benar demokrasi menjadi kunci terjawabnya partisipasi politik
dalam pemilihan umum.
3. Untuk
mengetahui pengaruh Money Politics dalam patisipasi politik masyarakat
dalam pilkada serta mengetahui boleh tidaknya melakukan Money Politics.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita membahas akan apa
partisipasi masyarakat dalam proses pemilhan kepala daerah maupun adanya
indikasi akan permainan Money Politics dalam acara pesta demokrasi
daerah. Maka penulis akan membahas mengenai arti dari permasalahan awal dalam
makalah ini yaitu arti kata politik yang berasal dari bahasa yunani yaitu Polis
yang artinya kota
(Pusat Pengaturan Rakyat). Jadi, yang dimaksud dengan Politik adalah
pengetahuan tentang seluk beluk ketatanegaraan baik dari aspek kekuasaan,
pemerintahan dan pengaturan dalam suatu negara.
Pengertian PILKADA ialah pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih
kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan
Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya
pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia.
Namun, ada gejala mencolok yang cukup mengkhawatirkan yang terjadi dalam
masyarakat. Antusiasime publik dan tingkat partsipasi masyarakat luas dalam
pilkada itu cukup rendah. Ukuran paling mencolok dari rendahnya keterlibatan
publik itu adalah rendahnya tingkat Voter Turnout (partisipasi pemilih
yang mencoblos di TPS pada hari pemilihan).
Di banyak daerah di Indonesia,
hanya 70 persen pemilih yang terdaftar yang datang ke tempat pemungutan suara.
Di beberapa tempat, bahkan hanya sekitar 50 persen dari pemilih yang ikut
mencoblos. Persentase Voter Turnout itu jelas sekali di bawah rata-rata
Pemilu Nasional di Indonesia. Sejak Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi,
rata-rata Voter Turnout itu sekitar 90 persen.
Secara hukum, rendahnya tingkat
partisipasi publik itu tidak membatalkan pemilu. Sejak awal negara kita
menganut asas suka-rela dalam partisipasi politik di dalam pelaksanaan pemilu. Para pemilih boleh mendaftarkan diri sebagai pemilih,
boleh juga tidak. Bahkan pemilih yang sudah memiliki kartu pemilih boleh datang
ke tempat pemilihan, boleh juga tidak. Partisipasi politik itu dianggap menjadi
hak warga negara bukan kewajiban dari warga negara.
Sebagai contoh perbandingan yang terjadi
di Amerika Serikat, yang menjadi salah satu model demokrasi dunia, Voter
Turnout itu juga cukup rendah. Bahkan dalam pemilu nasional yang memilih
Presiden, persentase Voter Turnout itu sekitar 50 persen - 60 persen
saja. Namun demokrasi terus berjalan. Pemimpin yang terpilih juga memperoleh
legitimasi yang kuat dari masyarakat.
Tetapi, bagi negara demokrasi yang baru
dan juga baru dalam menjalankan demokrasi di negaranya mapun negara yang baru
berdiri, rendahnya Voter Turnout cukup mengkhawatirkan, yang sangat
berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Di negara itu, walau publik
tidak datang ke tempat pemungutan suara, terasa tidak banyak perbedaan yang
dianut para kandidat. Ibarat hanya memilih antara Coca Cola dan Pepsi Cola.
Siapa pun yang terpilih, sistem politik di sana sudah berjalan, yang Prodemokrasi,
Propasar Bebas, dan Prokebebasan Individu. Rendahnya Voter Turnout di sana tak berkaitan dengan
Distrust atau ketidak percayaan masyarakat kepada demokrasi.
Di Indonesia, kita khawatir jika
rendahnya Voter Turnout itu akan menjadi awal dari mosi tak percaya
kepada demokrasi. Mereka menikmati kebebasan politik yang dibawa oleh
demokrasi. Namun, gunjang-ganjing demokrasi itu belum mereka rasakan
dalam memperbaiki kehidupan ekonomi konkret mereka sehari-hari. Bahkan untuk
banyak kasus, mereka justru merasa lebih sengsara.
Jika ini yang menjadi pangkalnya,
rendahnya Voter Turnout dalam pilkada menjadi sinyal lampu kuning bagi
masa depan demokrasi di Indonesia. Sistem demokrasi tak pernah menjadi kokoh
tanpa kepercayaan publik atas keefektifannya.
Konsekuensi rendahnya Voter Turnout dalam
Pilkada dapat menyebabkan terpilihnya kepala daerah yang berbeda. Untuk suatu
daerah yang sangat kompetitif, acap kali jarak kemenangan satu kandidat atas
kandidat lainnya di bawah 20 persen. Dalam sistem multipartai dan acap kali
jumlah kandidat yang ikut serta lebih dari dua, cukup normal jika selisih
persentase dukungan atas kandidat pemenang dan saingan terdekatnya di bawah 20
persen. Hanya dalam kasus khusus saja selisih itu di atas 20 persen.
Namun, apa yang terjadi jika pemilih
yang datang ke tempat pemungutan suara di bawah 70 persen, apalagi di bawah 50
persen? Itu berarti sejumlah 30 persen-50 persen pemilih tidak mencoblos. Jika
mayoritas yang tidak mencoblos itu adalah pendukung kandidat tertentu yang
paling kuat, niscaya pemenang pemilu berubah. Tokoh tertentu dikalahkan dalam
pemilih langsung bukan karena ia kalah populer, tetapi semata karena mayoritas
pendukungnya tidak datang ke tempat pencoblosan.
Para
ahli strategi politik di belakang kandidat di Amerika Serikat sangat sadar akan
situasi itu. Mobilisasi pendukung untuk datang ke tempat pemungutan suara
dijadikan bagian sentral pemenangan kandidat.
Penyebab rendahnya Voter Turnout dalam
pilkada di Indonesia
memang dapat disebabkan banyak hal, mulai dari yang paling teknis sampai kepada
yang sangat politis. Yang paling teknis, itu disebabkan oleh persoalan logistik
belaka. Keterlambatan turunnya dana ke KPUD dapat menyebabkan tidak sempurnanya
semua tahapan pemilu. (Denny JA, 01/05/2006)
KPUD terlambat dalam mendata pemilih.
Akibatnya, terlambat pula dalam sosialisasi dan menyiapkan kartu pemilih.
Jumlah pemilih yang memenuhi syarat administratif untuk mencoblos menjadi jauh
lebih rendah daripada jumlah pemilih yang sebenarnya. Pemilih yang sah tetapi
tidak lengkap syarat administrasinya tentu tidak memenuhi syarat untuk ikut
mencoblos. Jika itu alasannya, rendahnya Voter Turnout itu tak ada
kaitan sama sekali dengan trust atau distrust atas demokrasi di Indonesia.
Namun, jangan pula dikesampingkan alasan
yang lebih politis. Selalu terbuka kemungkinan pemilih kehilangan antusiasme.
Mereka sudah mengalami euforia reformasi sejak 1998. Sudah tujuh tahun
usia reformasi. Namun, apa yang mereka rasakan dalam kehidupan ekonomi konkret
mereka sendiri?
Tingginya angka pengangguran, harga
kebutuhan pokok yang terus meninggi, meluasnya busung lapar, kelangkaan BBM,
listrik yang semakin sering mati, tingginya perpecahan partai politik,
hilangnya keteladanan pemimpin, tentu juga menjadi memori kolektif mereka.
Dalam berbagai survei juga terekam bahwa kekecewaan publik atas reformasi
meningkat.
Kekecewaan itu dapat saja diekspresikan
melalui absen dalam pemilu. Rendahnya voter turnout dalam pilkada selalu
mungkin menjadi puncak gunung es atas apatisme publik terhadap demokrasi.
Rendahnya voter turnout itu dapat pula menjadi cermin distrust atau
ketidakpercayaan atas komitmen maupun kapabilitas pemimpin yang dipilih secara
demokratis.
Kita harap bukan alasan politis itu yang
menjadi sebab rendahnya voter turnout dalam Pilkada. Harapan kita itu dilandasi
oleh keyakinan bahwa jika demokrasi tidak kokoh, bangsa kita akan jauh lebih
terpuruk (Denny JA, 01/05/2006).
Pemilihan
Kepala Daerah Langsung merupakan mekanisme politik yang secara langsung
melibatkan masyarakat. Berbeda sebelumnya, dimana pemimpin daerah hanya bisa
diputuskan dan dipilih oleh legislatif. Pilkada membuka peluang selebarnya bagi
siapapun menentukan pemimpinnya. Dalam konteks Pilkada, masyarakat tidak lagi
sekedar menjadi sebagai obyek politik, akan tetapi melainkan sebagai subyek
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang merupakan wujud kedaulatan masyarakat lokal dalam membentuk sejarah
politik yang dapat mengubah paradigma berfikir terhadap demokrasi pada
masyarakat lokal. Sebagai bentuk menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai
bagian dari proses politik, dan ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara di
Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah bentuk partisipasi politik yang paling
minimal. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai bentuk
partisipasi yang kecil bagi terciptanya budaya politik rakyat lokal menjadi
jalan pembuka untuk menuju jalan kearah partisipasi politik yang lebih jauh.
Ada beberapa partisipasi politik yang lebih besar, antara lain menciptakan
perdamaian dan ketertiban, pencerahan kepada masyarakat luas berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dalam bentuk diskusi-diskusi, maupun seminar-seminar,
membayar pajak, mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan formal dan
informal, memberikan kontribusi dalam bentuk penyampaian ide-ide,
pemikiran-pemikiran tentang ideology nasional, memelihara hasil pembangunan dan
bela negara.
Partisipasi menjadi kunci terjawabnya
demokrasi dapat dibuktikan hampir semua kegiatan membutuhkan partisipasi, kalau
kita setuju bahwa demokrasi tanpa partisipasi adalah manipulasi terhadap
demokrasi, hal ini pernah terjadi pada masa Indonesia menerapkan pemerintah gaya
orde baru, karena dengan partisipasi akan terbentuk demokrasi, dapat
ditarik suatu kongklusi, bahwa antara demokrasi dan partisipasi
merupakan dua dasar dengan nilai intitas yang sama, konsep demokrasi tumbuh
melalui partisipasi, asumsi dasar kita bahwa demokrasi berasal dari
partisipasi.
Menurut Peter L. Berger dalam
bukunya Pyramids Of Sacrifice ; Political Etnics and social change
menyatakan, bahwa partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi.
Asumsi yang mendasari demokrasi dan partisipasi orang yang paling mengerti
tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Untuk mewujudkan
demokrasi melalui partisipasi ada beberapa acuan yang dapat dijadikan sebagai
garis demokrasi partisipasi politik, menurut Ramlan Surbakti “Rambu-Rambu”
partisipasi politik sebagai berikut ;
1.
Partisipasi politik yang dimaksud berupa kegiatan atau perilaku luar
individu warga negara biasa yang dapat di amati, bukan perilaku dalamnya berupa
sikap dan orientasi. Hal ini perlu di tegaskan karena sikap dan orientasi
individu tidak selalu termanivestasikan dalam perilakunya.
2.
Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik. Termasuk kedalam pengertian ini, seperti kegiatan
mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana
keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik
yang dibuat pemerintah.
3.
Kegiatan yang berhasil guna (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
4.
Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun
tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu mempengaruhi pemerintah
tanpa menggunakan perantara, sedangkan secara tidak langsung berarti
mempengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat menyakinkan
pemerintah. Keduanya termasuk dalam kategori partisipasi politik.
5.
Kegiatan mempengaruhi dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar dan
tidak berupa kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan
petisi, melakukan kontak tatap muka dan menulis surat, maupun dengan cara-cara
diluar prosedur yang wajar dan bukan berupa kekerasan seperti demonstrasi
(unjuk rasa), huru-hura, mogok kerja maupun mogok makan, pembangkangan sipil,
serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan revolusi.
Di Indonesia banyak Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sudah melakukan partisipasi politik melalui penyelenggaraan
pendidikan formal dengan kegiatan kejar paket A, B dan C, serta mengawal proses
demokrasi yang sedang berjalan di negeri ini. Perlu di sadari, ketidak pahaman
dari berbagai elemen bangsa berkaitan dengan partisipasi politik selalu hanya
dibatasi oleh Pemilu dan Pilkada, terhadap kita tidak jarang melalui kontrol
terhadap penyelenggaraan negara, baik itu ditingkat lokal maupun nasional,
sebagai contoh konkret berkaitan dengan masalah penyakit Flu Burung
sudah menyebar dengan banyak memakan korban semakin bertambah, busung lapar,
dan kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia hingga tidak pernah dikeluarkan
kebijakan politik untuk menyelesaikannya permasalahan tersebut, masalah
ketenagakerjaan dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam
membuat formulasi kebijakan politik dan pemerintah pusat dan daerah.
Partisipasi menurut Oxpord Learner’s
Pocket Dictionary yang terbitkan oleh Oxpord University Press, Parcipate
In Take Part Or Become Involved In Activity, karena itu dalam partisipasi
ada yang mengambil bagian atau menjadi keseluruhan dan sebuah kegiatan
berbentuk kerja sama. Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara bisa
dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Karena itu partisipasi politik dapat diwujudkan keikutsertaan rakyat dalam kegiatan
politik, pengertian kegiatan politik tidak tertitik pada fokus memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan, akan tetapi lebih luas berkaitan dengan kesejahteraan
dan kebaikan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara, termasuk sebagai
warga negara yang taat hukum positif. Di dalam perkembangan demokrasi di
Indonesia termasuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat di daerah menjadi ajang legitimasi kekuasaan bagi setiap kepala daerah
dan wakil kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota ) untuk siap di kontrol dalam pengambilan
kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan
sudah menyerahkan sebagian kedaualatannya untuk di kuasai oleh pemerintah, dan
oleh sebab itu kecerdasan rakyat untuk memilih personal yang akan memerintah
menjadi sangat menentukan masa depan daerahnya.
Adapun pengertian partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara preman (Private Citizen) yang bertujuan
mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Namun demikian didapati
tingkatan hierarki partisipasi politik yang berbeda dari suatu system politik
dengan yang lain, tetapi partisipasi pada suatu tingkatan hierarki, tidak
merupakan prasyarat bagi partisipasi pada suatu tingkatan yang lebih tinggi.
Di era demokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini akan
dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi suatu pemerintahan yang sedang
berjalan, akan tetapi beberapa fungsi dari suatu negara demokrasi sudah
memasuki tahap input bagi sistem politik. Dalam sistem politik seperti ini
input merupakan bagian output dari proses sistem politik sedang berjalan menuju
suatu jawaban terhadap berbagai tuntunan dan dukungan dalam stabilitas politik.
Menurut Grabiel A Almond dalam bukunya yang berjudul The Politics Of
The Developing Areas menyatakan bahwa fungsi-fungsi input dan output dapat
di kelompokkan sebagai berikut :
- Fungsi-fungsi input terdiri atas :
- Sosialisasi politik dan rekrutmen.
- Artikulasi kepentingan.
- Agregasi kepentingan.
- Komunikasi politik
B.
Fungsi-fungsi output terdiri atas :
1. Pembuatan
peraturan.
2. Penerapan
peraturan.
3. Ajudikasi
peraturan.
Perlu diketahui bahwa seluruh aktivitas
dalam sistem politik seperti input dan output yang tujuan akhirnya tetap
dibebankan kepada rakyat atau masyarakat yang menjadi objek dan subjek politik.
Karena itu aktivitas politik tersebut harus di dukung oleh partisipasi politik
yang tinggi, demi terwujudnya Check and Balances dari outputnya
yang dihasilkan berupa peraturan sebagai sebuah produk politik. Tidak hanya
melegalkan posisi terisinya lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif dalam
kancah pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Partisipasi politik menjadi sangat
menarik dibicarakan dalam suatu negara yang baru masuk dalam suatu babak
demokrasi baru, dengan perbadaan-perbedaan demokrasi pada masa lalu seperti
dalam konteks Indonesia.
Tetapi terkadang sulit untuk mengobservasi tingkat partisipasi politik
masyarakat dalam menentukan sikap, tidak heran apa yang dikatakan oleh Michel
Rush dan Phillip Althoff ada sedikit kesulitan dalam menyajikan
berbagai bentuk partisipasi politik terlepas dari tipe sistem politik yang
bersangkutan, yaitu: segera muncul dalam ingatan peranan para politis
profesional pada para pemberi suara, aktivitas-aktivitas partai, dan para
demonstran.
Menurut Michel Rush dan Phillip
Althoff mereka memberikan definisi tentang partisipasi politik yaitu
menurutnya partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada
bemacam-bermacam tingkatan di dalam sistem politik. Aktivitas politik itu bisa
bergerak dari keterlibatan sampai dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu
partisipasi politik berbeda-beda pada satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya, juga bisa bervariasi dalam masyarakat-masyarakat khusus. Perlu
ditekankan bahwa partisipasi itu juga menumbuhkan motivasi untuk meningkatkan
partisipasinya, termasuk di dalamnya tingkatan paling atas dari partisipasi
dalam bentuk pengadaan bermacam-bermacam tipe jabatan dan tercakup didalamnya
proses rekrutmen politik.
Lalu dalam bahasan selanjutnya dalam
pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya
perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta
dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini. Money Politics banyak
membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang
terjadi dalam pesta politik.
Dalam norma standar demokrasi, dukungan
politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya
didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan
kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara
yang sama (OPOVOV: satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melalui Money
Politics dukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya
ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu (Praktino, Jurnal
Tarjih, hal:30).
Dalam politik uang (Money Politics)
pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur,
jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa
hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat
tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada
pada “Ring Dalam” para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk
membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya
harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi masyarakat
daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga satu suara
berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang
sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat
variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Persoalannya seorang
calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan.
Dalam permainan politik uang (Money
Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES)
harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan
oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat
sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran
berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi
jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada
pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok
yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadi bumerang apabila
kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok
yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akan pekerjaan
yang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah.
Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan
bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut
guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam
acara pesta demokrasi tersebut. Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan
pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151
tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji
publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk
menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek
politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics)
dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.
Di samping mempelajari secara hati-hati
dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk
sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti.
Dalam praktek politik uang (Money Politics) dikenal beberapa tahapan
dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang
untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang
pemilih.
Pada proses pemilihan, masing-masin
bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari
dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA).
Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics)
mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon
yang “paham betul” dengan situasi lapangan dan disertai dana yang
mencakupi bagi masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini.
Ada
lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah
besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu
hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh
karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan
untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati
dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila
kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.
Memang pola menggunakan uang pangkal ini
juga riskan apabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara akan
dijaminkan diberikan kepada “si pemberi uang pangkal”. Dalam salah satu
kasus yang penulis ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10
juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila
kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini
dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan
tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh “si pemberi uang
pangkal pertama” berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal
yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena
dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk
uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.
Dalam pemilhan tersebut, maka hal
tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu
adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada
beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam
asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:
1.
Perlunya atau tidak asas jurdil ini
dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas resmi disamping asas LUBER.
2.
Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan
bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.
Melihat pengertian asas Jurdil ini
disatu pihak dan asas Luber pihak lain, keduanya memiliki pengertian yang
berbeda, namun sangat erat kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah
sebuah Pemilu harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah
demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945
dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dari praktek KKN.
Dalam pilkada yang ada maupun pemilu
secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka,
karena pada dasarnya Money Politics merupakan sebuah sistem yang tidak
akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus
menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses
masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara
dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan
Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang
berasaskan Islam akan tetapi praktek Money Politics ini tetap ada walau
dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik
yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics).
Serta merebaknya Money Politics membawa implikasi yang sangat berbahaya
bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. Melalui Money Politics kedaulatan
bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan “uang”.
Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah “pemilik uang”, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang
demokratisasi yang gencar belakangan ini, maraknya Money Politics bisa
mempermudah masuknya penetrasi politik melalui uang (Pratikno, 15 September 2003).
Maka dengan demikian, Pilkada dengan
sistem Money Politics akan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam
praktek politik uang (Money Politics) adalah pembelian suara menjelang
hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para
anggota DPRD. Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui
perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan
memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas pemberian
cheque.
Ada
hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan
dari pada cheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan berdampak
lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembar cheque. Karena
itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah
berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi
tawar yang tinggi. Mereka dapat mengajukan argument bahwa”terikat rantai
komando” dan terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada
lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal calon.
Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi
inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan
dengan mendapatkan informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi
suara mahal ini. Setelah mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana
jauh lebih besar lagi.
Dalam sistem politik yang lain ada yang
namanya “Serangan Fajar” bagi para bakal calon kepala daerah beserta tim
suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1
pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian
guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang
berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini
menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam
perebutkan suara tersebut.
Namun, dalam praktek juga terjadi Serangan
Fajar yang dimaksud sebenarnya adalah dengan Serangan Fajar ialah
pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim
suksesnya memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu
suara dari para calon pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya
dan anggota DPRD mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai
suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan
kepala daerah. Ada
beberapa kategori mereka yang dapat digarap yaitu sebagai berikut :
Pertama, Anggota Dewan (DPRD)
yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga.
Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang
masih dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang
berjumlah besar.
Namun hal yang inti dari Money
Politics adalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan
menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hokum, oleh karena itu proses
“penyampaian uang” harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun,
yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak
melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu
dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk
memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin
menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan
tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang
transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan
peluang bagi calon kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money
Politics) yang dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan
pemilu atau pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan
sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money
Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut.
Selain itu ternyata pemberian uang tidak
pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian
uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman
akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian
uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money
Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:
1.
Sistem ijon
2.
Melalui tim sukses calon
3.
Melalui orang terdekat
4.
Pemberian langsung oleh kandidat
5.
Dalam bentuk cheque
Akan tetapi tidak banyak juga Money
Politics ini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam masalah pembelian
suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang
membuat hal ini terjadi, yaitu:
- Adanya hubungan keluarga dan persahabatan
- Bakal calon bersikap ragu-ragu
- Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri
- Adanya anggota yang dianggap opportunis
Selain dari pembahasan tersebut maka ada
pula peraturan yang baku mengenai politik uang (Money Politics) ini,
yaitu dilarangnya akan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum
maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang
pesta demokrasi yang berlangsung.
Peraturan tersebut antara lain:
- BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.
- Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.
Dari
pembahasan data dan aturan yang membahas mengenai pelanggaran pemilu secara
umum maupun pemilihan umum kepala daerah (PILKADA), maka selanjutnya sanksi
pidana atau sanksi administrative yang akan diberikan oleh KPUD yang dalam hal
ini pelanggaran tersebut di laporkan oleh PANWASLU dan di sampaikan pada
Pengadilan Negeri yang akan menyidangkan kasus pelanggaran PILKADA yang
dilaporkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilu
umum maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi
politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara
ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana
partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum. Dalam hal ini
yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang yang (Money Politics)
yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang
bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum
yaitu DEMOKRASI bukanlah DEMOCRAZY. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah
untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang
diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih
selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian.
Serta juga
ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi
yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER
dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar
ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian
demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau
sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan
masa depan bangsa ini.
Dan dengarlah
wahai pewaris negeri ini untuk menemani negeri tercinta ini dalam menghadapi permasalahan
besar yang sedang kita hadapi bersama. Temani negeri ini, sobat. Hidup kalian
adalah masa depan bagi bangsa ini, dan ingat juga salah memilih dalam ajang
demokrasi ini maka akan berakibat fatal bagi kemashlahatan bangsa ini. Ingat 5
menit salah memilih maka 5 tahun akan sengsara.
DAFTAR
PUSTAKA
Antulian,
Rifa’i. DR. S.H, M.Hum. 2004. Politik uang jalan pemilihan kepala daerah.
Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Donald,
Parulian. 1997. Menggugat PEMILU. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Hidayat,
Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004. Pergulatan Partai Politik di Indonesia.
Jakarta: PT.
Rajawali Perss.
Jurnal Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam. 2004. Kepemimpinan Nasional & Good
Governance. Edisi ke-8, Juli 2004/ Jumadil Ula 1425 H. Yogyakarta.
Juliansyah,
Elvi. 2007. PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Bandung:
Mandar Maju.
Syafiee, Innu
Kencana. Drs. 1993. Sistem Pemerintahan Indonesia (MKDU). Jakarta:PT. Rineka
Cipta.
0 komentar :
Posting Komentar