BAB I
HUKUM WARIS
A. Perihal Warisan
Terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan menurut
undang-undang, yaitu:
- Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang, Cara ini dinamakan mewarisi "menurut undang-undang" atau "ab intestate"
- Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament), Cara ini dinamakan mewarisi secara "testamentair"
Asas
yang berlaku dalam hukum waris yaitu:
- Hanyalah hak-hak dan kewajiban –kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja (yang dapat dinilai dengan uang) yang dapat diwariskan, akan tetapi masih ada pengecualian tentang hal tersebut, misalnya: Hak seorang Bapak menyangkal sahnya anaknya dan di pihak lain hak seorang anak menuntut supaya ia dinyataka sebagai anak yang sah dari Bapak Ibunya, menurut undang-undang beralih pada ahli waris dari masing-masing pihak yang mempunyai hak-hak itu
- Tercancum dalam pepatah Prancis, yaitu "Le mort saisit le vif" . Apabila seorang meninggal, maka seketika itu segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Pengoperan segala hak dan kewajiban dari yang meninggal oleh para ahli waris disebut "saisin"
Menurut pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak
menuntut agar segala yang termasuk harta peninggalan yang meninggal diserahkan
padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Maksudnya penuntutan itu harus
ditujukan kepada orang yang menguasai benda warisan dengan maksud memilikinya
bukan pada seseorang yang hanya menjadi houder saja (yang menguasai
benda berdasarkan hubungan hukum dengan yang meninggal) atau seorang executeur-testamentair
atas harta peninggalan yang tidak terurus. Penuntutan hak tersebut cukup dengan
menggunakan surat gugatan.
Dalam pasal 838 B.W. ditetapkan bahwa terdapat
orang-orang yang karena perbuatannya tidak patut (onwaardig) menerima
warisan. Di antaranya:
- Seorang waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh yang meninggal
- Seorang waris yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dengan kekerasan menghalag-halangi yang meninggal membuat surat wasiat sesuai kehendaknya
Undang-undang juga menetapkan bahwa terdapat orang-orang
yang karena pekerjaannya atau karena hubungannya dengan yang meninggal, tidak
dapat memperoleh keuntungan dari surat wasiat. Di antaranya:
- Notaris yang membuat surat wasiat beserta saksi-saksinya
- Pendeta yang melayani atau dokter yang merawat yang meninggal selama sakit terahirnya.
- Perantara-perantara, termasuk anak-anak dan istri-istri orang yang tidak dapat memperoleh warisan (tussenbeide komende personen)
Dalam pasal 912 B.W ditetapkan bahwa alasan-alasan
menurut pasal 838, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian
dalam testament, akan tetapi dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah
mencoba membunuh yang meninggal. Artinya jika yang meninggal memberikan warisan
pada orang tersebut maka hal itu dianggap suatu "pengampunan".
Dalam hal ab intestate dapat dibedakan:
- Yang mewarisi "uit eigen hoodfe", yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap yang meninggal
- Yang mewarisi "bij plaatsvervulling", yaitu orang yang mendapatkan warisan tetapi orang tersebut telah meninggal lebih dulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Jika beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang , disebut mewarisi "bij staken" Karena mereka merupakan "staak" atau cabang.
B. Hak Mewarisi
Menirut Undang-Undang
Undang-undang menetapkan siapa saja yang berhak mewarisi
harta peninggalan seseorang. Karena itu, para anggota keluarga dibagi dalam
berbagai golongan. Orang-orang dari golongan pertama adalah yang berhak
mewarisi semua harta peninggalan sedangkan golongan kedua tidak berhak
mendapatkannya selama masih ada golongan pertama begitu juga seterusnya.
Yang termasuk golongan pertama adalah keturunan
dalam garis lurus ke bawah. Akan tetapi sejak tahun 1935 (Belanda tahun 1923)
hak mewarisi oleh suami atau istri dari yang meninggal dimasukkan dalam
undang-undang dengan dipersamakan dengan anak yang sah. Dan yang termasuk golongan
kedua adalah orang tua dan para saudara dari yang meninggal. Jika tidak ada
bagian pertama dan kedua, maka harta peninggalan dibagi menjadi dua, yang satu
untuk para anggota keluarga pihak ayah dan lainnya untuk para anggota keluarga
pihak ibu.
Jika seorang anak lahir di luar perkawinan tetapi diakui (erkend
natuurlijk) bagiannya tergantung dari beberapa annggota keluarga yang sah.
Jika terdapat golongan pertama maka anak tersebut mendapat bagian sepertiga.
Dan jika ia mewarisi bersama anggota kedua maka anak tersebut mendapat
setengah. Kedua pembagian ini berlaku jika ia dilahirkan dari perkawinan yang
sah. Undang-undang juga membuat pasal-pasal tentang "penggantian"
(plaatsvervulling) terhadap anak yang lahir sehingga apabila ia
meninggal lebih dahulu maka dapat digantikan anak-anaknya.
Terdapat tiga macam penggantian (representatie)
menurut undang-undang yaitu:
1.
penggantian dalam garis lurus kebawah
2.
penggantian dalam garis samping (zijlinie)
3.
penggantian dalam garis samping dalam hal
yang menjadi ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya
dari pada saudara (misalnya:paman atau keponakan)
Catatan:
bahwa seorang lelaki bagiannya sama dengan seorang perempuan. Dan diantara satu
golongan selalu dibagi sama rata.
C. Menerima atau
Menolak Warisan
Terdapat beberapa pilihan bagi para ahli waris dalam
menerima warisan, yaitu:
- Menerima Warisan, yang dibagi menjadi dua antara lain:
4
Penerimaan secara penuh (zuivere
aanvaarding) dapat dilakukan secarategas
yaitu dengan suatu akta menerima kedudukannya
sebagai ahli waris
4
Penerimaan secara diam-diam yaitu
jika ia melakukan suatu perbuatan seperti: mejual warisan atau melunasi
hutang-hutang yang meninggal.
- Menolak warisan yaitu dilakukan dengan pernyataan kepada panitera pengadilan setempat
- Memilih jalan tengah antara menerima dan menolak yang disebut juga menerima dengan "voorrech vanboedelbeschrijving" atau "beneficiaire aanvaarding" maka si waris harus menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Akibatnya yang terpenting adalah kewajiban si waris untuk melunasi hutang-hutang dibatasi menurut kekuatan warisan.
Kewajiban-kewajiban seorang ahli waris beneficiair ialah:
4
Menyatakan kehendaknya menerima
warisan secara beneficiair kepada Panitera Pengadilan Negeri atas harta
peninggalan yang didapatinya
4
Mengurus harta peninggalan
sebaik-baiknya
4
Secepatnya membereskan urusan
warisan (de boedel toteffenheid brengen)
4
Memberikan tanggungan untuk harga
benda bergerak dan tak bergerak yang tidak di serahkan kepada orang-orang yang
berpiutang yang memegang hypotheek
4
Memberikan pertanggungjawaban para
penagih hutang dan orang-orang yang menerima pemberian secara legaat
4
Memanggil orang-orang berpiutang
yang tidak terkenal , dalam surat kabar resmi
Jika suatu warisan tidak mencukupi pelunasan hutang-hutang
yang meninggal, biasanya dimintakan pada hakim supaya warisan dinyatakan pailit
(Failissementsverordening)
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan dan
penolakan warisan antara lain:
- Orang yang meninggalkan warisan tidak boleh membatasi hak para ahli waris untuk memilih tiga kemungkinan tersebut
- Pemilihan tidak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka
- Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau syarat
- Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan
- Seorang yang tidak cakap bertindak sendiri harus diwakilkan oleh orang yang berkuasa untuk itu
- Jika ahli waris yang belum menentukan sikapnya meninggal, maka hak memilih beralih pada para ahli warisnya
D. Perihal Wasiat atau
Testament
Wasiat atau Testament yaitu Pernyataan dari
seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal. Pernyataan keluar dari
satu pihak (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali. Dalam
pasal 874 B.W. menerangkan tentang arti wasiat atau testament yang mengandung
suatu syarat bahwa pernyataan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Biasanya isi testament dapat berupa:
- Erfstelling yaitu penunjukan seseorang menjadi ahli waris yang akan mendapatkan bagian dari warisan. Orangnya disebut "Testamentaire erfgnaam" (ahli waris menurut wasiat). Sebagaimana ahli waris ia dapat memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal "onder algemene title"
- Legaat yaitu Suatu pemberian kepada seseorang. Orangnya disebut "legataris" . Ia berhak menuntut penyerahan benda yang diberikan kepadanya. Ia bukan ahli waris dan hanya berhak menuntut penyerahan benda yang diberikan kepadanya.
Jika dalam suatu testament terdapat beberapa orang dengan
tanpa disebutkan bagian masing-masing, kemudian ada yang meninggal, maka
bagiannya akan jatuh pada para waris yang lainnya. Dalam hukum waris dinamakan "aanwas"
(pasal 1002 dan 1003).
Dalam suatu efstelling atau legaat, sesuai degan
ketentuannya dapat:
1.
Disertai dengan suatu beban (last).
Contoh: Seseorang dijadikan waris dengan beban memberikan suatu pensiun pada
Ibu dari yang meninggal
2.
Digantungkan pada suatu syarat atau
voorwarde yaitu suatu kejadian dikemudian hari yang pada saat pembuatan
testament itu belum tentu datang atau tidak. Misalnya seorang dijadikan waris
dengan syarat dari perkawinannya akan dilahirkan anak laki-laki
3.
Digantungkan pada suatu ketetapan waktu
Macam-macam
testament menurut bentuknya:
- Openbaar testament
Yaitu
dibuat oleh seorang notaries atas mermintaan yang meninggal dengan menghadirkan
dua orang saksi
- Olographis testament
Yaitu
harus ditulis dengan yang akan meninggalkan warisan (eigenhandig), harus
diserahkan sendiri kepada notaris (gedeponeerd) dengan dihadiri dua
orang saksi
- Testamen tertutup atau rahasia
Yaitu
dibuat sendiri oleh yang akan meninggalkan warisan tanpa harus menulis sendiri.
Ini harus selalu tertutup atau disegel. Dalam penyerahan kepada notaris harus
dihadiri oleh empat orang saksi
Syarat-syarat menjadi saksi antara lain: Dewasa, penduduk
Indonesia, mengerti benar bahasa yang digunakan dalam testament
Selain tiga macam tersebut, undang-undang juga mengenal "codicil"
yaitu akte dibawah tangan dimana orang yang akan meninggalkan warisan
menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam warisan. Misalkan pengangkatan
seorang executeur-testamentair.
Sedangkan syarat membuat testament adalah: Sudah mencapai
umur 18 tahun, atau sudah kawin, dan mempunyai pikiran sehat. Suatu testament
dapat ditarik (herroepen) setiap waktu kecuali pemberian warisan yang
diletakkan dalam perjanjian perkawinan karena sifatnya hanya satu kali.
Cara
penarikan kembali suatu testament:
4
Secara tegas (uitdrukkelijk)
yang terjadi dengan dibuatnya testament baru dan diterangkan secara tegas bahwa
testament dahulu ditarik kembali
4
Secara diam-diam (stilzwijgend)
yang terjadi dengan dibuat testament baru yang bertentangan dengan dengan
testament lama.
Yang harus diletakkan dalam bentuk testament adalah segala
perbuatan yang bersifat hanya keluar dari satu fihak saja, yang baru akan
berlaku atau mendapat kekuatan bila yang membuat itu telah meninggal.
E. Fidei-commis
Kata Fidei-commis berasal dari "fides"
artinya kepercayaan. Yaitu seolah-olah dipercayakan pada waris yang pertama
ditunjuk. Arti istilahnya adalah pemberian warisan kepada seorang waris dengan
ketentuan ia wajib menyimpan warisan itu, dan apabila si waris itu meninggal,
warisan harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan dalam
testament. Orang yang menerima warisan yang kedua disebut "verwachter".
Dan oleh undang-undang, cara ini disebut "erfstelling over de hand"
yaitu pemberian warisan secara melangkah.
Fidei-commis yang diperbolehlan undang-undang yaitu:
1.
Untuk memenuhi keinginan seseorang yang
hendak mencegah kekayaannya dihabiskan oleh anak-anaknya.
2.
Dinamai fidei-commis de residuo,
hanya ditetapkan bahwa seorang waris harus mewariskan lagi di kemudian hari apa
yang masih ketinggalan dari warisan yang di perolehnya
F. Legitieme portie
Yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang
tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Dengan kata lain
mereka tidak dapat "onterfd". Seseorang yang berhak atas hal
ini disebut "legitimaris". Ia dapat meminta pembatalan tiap
testament yang melanggar haknya dan dapat menuntut supaya diadakan pengurangan (inkorting)
terhadap segala macam pemberian warisan. Peraturan ini oleh undang-undang
dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau
testament menurut kehendaknya sendiri.
Dalam pasa 914 B.W. ditetapkan
besarnya legitieme portie bagi anak-anak yang sah. Antara lain:
1.
Jika terdapat seorang anak yang sah maka
akan mendapatkan separuh dari bagian yang sebenarnya.
2.
Jika terdapat dua orang anak yang sah
maka masing-masing akan mendapatkan 2/3 dari bagian yang sebenarnya
3.
Jika terdapat tiga atau lebih anak yang
sah, maka masing-masing akan mendaptkan 3/4 dari bagian yang sebenarnya.
Bagi para ahli waris dalam garis lurus ke atas, dalam pasal
915, dinyatakan jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya sebagai
ahli waris. Sama halnya ketentuan anak yang lahir di luar perkawinan yang
diakui (yaitu dalam pasal 916).
Sebagai dasar dari perhitungan yang telah disebutkan di
atas adalah harga-harga pada waktu orang yang meninggalkan warisan itu
meninggal.
G. Perihal pembagian
warisan
Pembagian dari tiap kekayaan bersama yang belum terjadi,
termuat dalam Buku II B.W. perihal boedelscheiding (pasal 1066)
yang dapat diartikan sebagai perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengakhiri
suatu keadaan. Dalam suatu kekayaan bersama harus diadakan pembagian. Sedangkan
kepada orang yang mempunyai piutang terhadap yang meninggal boleh menyita harta
peninggalan selama kekayaan belum terbagi antara para ahliwaris yang nantinya
akan membayar hutang dari yang meninggal jika harta peninggalan sudah terbagi.
Undang-undang menetapkan cara mengadakan boedelscheiding
tergantung pada keadaan. Yang terpenting para ahli waris cakap bertindak
sendiri dan berada ditempat. Akan tetapi jika terdapat ahli waris yang masih di
dawah umur maka pembagiannya dilakukan dengan suatu akte notaries dihadapan
weeskamer dengan dasar pembagian menggunakan harga taksiran.
Hal yang mempunyai hubungan erat dengan pembagian warisan
adalah inbreng yaitu pengembalian benda-benda ke dalam boedel. Hal ini
terjadi apabila semasa hidup dari yang meninggal telah memberikan benda-benda
secara schenking kepada sementara waris. Untuk perhitungannya dapat
dilakukan dengan mengembalikan benda tersebut atau dengan memperhitungkan harga
menurut taksiran. Menurut undang-undang, Inbreng diharuskan untuk para ahli
waris dalam garis lurus ke bawah, kemudian yang meninggalkan warisan berhak
menetapkan bahwa ahli waris yang menerima pemberian sewaktu yang meninggal
masih hidup, akan dibebaskan dari inbreng. Sebenarnya dasar pikiran dari
inbreng ini adalah bahwa yang meninggal harus dianggap memegang keadilan
terhadap anak-anak atau cucu-cucunya.
H.
Executeur-testamentair dan bewindvoerder
Executeur testamentair yaitu seorang yang mempunyai
tugas mengawasi orang-orang yang diberikan legaat (oleh yang meninggal)
sungguh-sungguh menerima pemberian legatnya masing-masing. Orang tersebut dapat
diberikan kuasa untuk menarik benda-benda warisan atas kekuasaanya tetapi tidak
boleh lebih dari satu tahun. Dan menurut undang-undang, seorang perempuan yang
bersuami, anak yang masih di bawah umur, dan seorang yang berada di bawah
curatele tidak boleh dijadikan executeur testamentair.
Di antara kewajiban seorang executeur testamentair
adalah:
4
Menyegel semua harta peninggalan
jika terdapat ahli waris yang dibawah umur tanpa wali, orang-orang di bawah
curatele tanpa curator, atau ahliwaris yang tidak dapat hadir sendiri
4
Membuat catatan tentang
benda-benda warisan dengan dihadiri para ahli waris
Sementara larangan bagi seorang executeur testamentair
adalah menjual barang-barang warisan dengan maksud untuk memudahkan pembagian
warisan. Akan tetapi jika tidak terdapat uang tunai untuk memenuhi legaat maka
diperbolehkan menjual barang-barang yang bergerak, sedangkan untuk penjualan
benda tidak bergerak harus mendapatkan izin dari ahli waris atau hakim.
Sedangkan Bewindvoeder yaitu seorang yang ditugaskan
untuk mengurus kekayaan yang meninggal atas wasiatnya ketika masih hidup, dan
ahli waris atau legataris hanya dapat menerima penghasilan dari kekayaan
tersebut. Di antara tujuan Bewind ini adalah untuk menjaga jangan sampai kekayaan
dalam waktu yang singkat dihabiskan oleh ahli waris dan legataris tadi.
Akan tetapi undang-undang melarang untuk melanggar larangan perihal fidei-commis.
I. Harta peninggalan
yang tidak terurus
Harta peninggalan dianggap tidak terurus jika ada suatu
warisan terbuka dan tidak seorangpun mengakuinya. Maka tanpa perintah hakim,
akan ditangani oleh Balai harta
peninggalan (weeskamer)
Secara
terperinci, kewajiban-kewajiban weeskamer antara lain:
4
Mengurus warisan yang tidak
terurus kemudian melaporkan kepada kejaksaan
Negeri setempat.
4
Membuat catatan tentang keadaan
harta peninggalan tersebut
4
Menagih piutang-piutang dan
membayar hutang-hutang yang meninggal
Dan masih terdapat kewajiban yang lainnya jika dikehendaki
oleh yang berwajib. Apabila setelah tiga
tahun belum ada seorang waris yang mengaku ataupun melaporkan diri, maka
weeskamer akan mengalihkan kepengurusan harta peninggalan tersebut kepada
Negara dan akan menjadi milik Negara.
BAB II
HUKUM PERJANJIAN
A.
Perihal Perikatan dan
Sumber-sumbernya
Perikatan dalam buku
III B.W itu, ialah : Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)
antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu
dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi
tuntutan itu. Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan benda (hak perbendaan), buku III mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang
menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hokum yang termuat dalam buku
III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum
perhutangan”, pihak yang menuntut dinamakan pihak berpiutang atau
“kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak
berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
“prestasi”, yang menururt undang-undang dapat berupa :
1.
Menyerahkan suatu barang
2.
Melakukan suatu perbuatan
3.
Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber Perikatan, oleh
undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu
persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi
kewajibannya, menurut bahasa hokum ia melakukan “wanprestasi” yang
menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak
boleh menjadi hakim sendiri. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh
seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, ini dinamakan Parate
executie.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim
dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi
haknya, dinamakan reele executie. Dalam B. W. sendiri cara
pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1.
Dalam hal-perjanjian-perjanjian
yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbutan, misalnya
tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3 m, pihak yang
lain dapat dikuasai oleh hakim untuk membongkar sendiri apa yang telah
diperbuat dengan melanggar perjanjian itu (lihat pasal 1240).
2.
Dalam hal perjanjian-perjanjian
untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibaut oleh seorang lain, misalnya
suatu garage(, pihak pihak yang berkepentingan dapat dikuasai oleh hakim untuk
membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus
dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241).
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan
yang dinamakan natuurlijke verbintenis secara tegas tidak
diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam
itu. Dalam pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap
“natuurlijke verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah
diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan
kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena
pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan
pembayaran yang tidak diwajibkan seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal
1359 tersebut.
Natuurlijke verbintenis ialah suatu
perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau boleh
juga dikatakan, suatu perikatan hokum yang tidak sempurna. Suatu
perikatan hokum yang sempurna selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya
di depan hakim. Tidak sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis : suatu
hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada.
Jika sudah ada kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke
verbintenis itu adalah suatu perikatan hokum (hanya tidak sempurna), maka
konsekwensinya, ia dapat dibikin sempurna. Misalnya dengan jalan pembaharuan
hutang (novatie) atau dengan mengadakan penanggungan hutang (borgtocht).
Kecuali, jika undang-undang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790
B. W. yang melarang untuk membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini
semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah
menjadi suatu pendapat umum :
1.
Hutang-hutang yang terjadi
karena perjudian oleh pasal 1788 tiak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
2.
Pembayaran bunga dalam hal
pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar
bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tak dapat memintanya kembali, kecuali
jika apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6
prosen).
3.
Sisa hutang seorang pailit,
setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (accoord).
B.
Sistem Buku III B. W
Buku III itu menganut asas kebebasan
dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini
dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan bahwa tiap
perjanjian “mengikat” kedua pihak. Tetapi dari peraturan tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal
tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja oleh leluasa untuk
membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur
dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan
peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III itu. Dengan kata lain
peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam buku III B. W. itu hanya disediakan
dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri.
Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya hanya
merupakan “hokum pelengkap” (aanvullend recht), bukan hokum keras atau
hokum yang memaksa.
Sistem yang dianut oleh buku III itu juga lazim
dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang
dianut oleh Buku II perihal hokum perbendaan. Disitu orang tidak diperkenankan
untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang
diatur dalam B.W. sendiri. Di situ dianut suatu sistem “tertutup”.
C.
Macam-macam
Perikatan
1.
Perikatan bersyarat
(voorwaardelijk)
Perikatan
barsyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
2.
Perikatan yang
digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling).
Perbedaan
antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu
kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan
yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum
dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang.
3.
Perikatan yang
membolehkan memilih
Ini
adalah suatu perikatan, dimana dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,
ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu
juta rupiah.
4.
Perikatan
tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair)
Ini
adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa
orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan
semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
5.
Perikatan yang dapat
dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Pada
asasnya – jika tidak diperjanjikan lain – antara pihak-pihak yang semula suatu
perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu selalu berhak
menuntut pemenuhan perjanjian untuk
sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi
sebagian.
6.
Perikatan dengan
penetapan hukuman (strafbeding)
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenalkan suatu
hukuman, apabila ia tidak menempati kewajibannya.
Hakim
mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian telah
sebahagian dipenuhi.
D.
Perikatan-perikatan yang
lahir dari undang-undang
Sebagaimana telah diterangkan,
suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari persetujuan.
Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas :
1)
Yang lahir dari undang-undang
saja,
2)
Yang lahir dari undang-undang
karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa perbuatan
yang diperbolehkan, atau yang melanggar hukuman (onrechtmating).
Suatu perikatan lagi yang lahir dari
undang-undang karena perbuatan yang diperbolehkan ialah yang dinamakan “zaakwaarneming” (pasal 1354). Ini
terjadi jika seorang dengan sukarela dan dengan tidak meminta mengurus
kepentingan-kepentingan orang lain.
Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang
karena perbuatan seseorang yang melanggar hokum, diatur dalam pasal 1365 B.W.
pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hokum (“onrechtmatige
daad”) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena
kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat
digugat di depan hakim, sekarang oleh hakim diartikan sebagai “onrechtmatig” : jika
dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada
seorang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu.
Selanjutnya menurut pasal 1367 B.W. seseorang
juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah
pengawasannya atau yang bekerja padanya.
Lazimnya pasal ini diartikan terbatas (limitatief),
yaitu seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam
hubungan-hubungan dan hal-hal sebagai berikut :
a.
Orang tua atau wali untuk anak
yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan
orang tua atau perwalian itu padanya.
b.
Majikan untuk buruhnya, dalam
melakukan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka.
c.
Guru sekolah dan kepala tukang
untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah pengawasan mereka.
E.
Perikatan-perikatan yang
lahir dari perjanjian
Untuk suat perjanjian yang sah harus terpenuhi
empat syarat, yaitu :
a.
Perizinan yang bebas dari
orang-orang yang mengikatkan diri.
b.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian.
c.
Suatu hal tertentu yang
diperjanjikan.
d.
Suatu sebab (oorzaak) yang
halal, artinya tidak terlarang (pasal 1320).
Kemauan yang bebas sebagai syarat
pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu
telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling)
atau penipuan (bedrog).
Paksaan terjadi
jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takun terhadap ancaman.
Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasiannya jika ia tidak menyetujui
suatu perjanjian.
Kekhilafan dapat
terjadi, mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian.
Penipuan terjadi,
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak
benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk
karenanya untuk memberikan perizinan.
Kedua belah pihak
harus cakap menurut hokum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah
diterangkan, beberpa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan “tidak cakap”
untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hokum. Mereka itu, seperti orang
dibawah umumr, orang di bawah pengawasan (curatele) dan perempuan yang telah
kawin (pasal 1130 B. W.)
Yang diperjanjikan
dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas
atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang,
jika terjadi perselisihan.
Selanjutnya
undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak
(Causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata oorzaak
atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang
dimaksudkan dengan kata itu, ialah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki
oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu.
Menurut pasal 1335,
suatu perjanjian yang tidak memakai suatu causa atau dibuat dengan suatu causa
yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
Adapun suatu causa
yang tidak diperbolehkan ialah yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan atau ketertiban umum.
Selanjutnya, causa
sebagai syarat untuk suatu perjanjian yang sah harus diperbedakan lagi dari
causa yang dimaksudkan oleh pasal 1336 B.W. dalam pasal ini perkataan causa
berarti : kejadian yang menyebabkan terjadinya suatu hutang, misalnya
jual beli barang atau pinjam meminjam uang antara kedua pihak.
Pasal 1338 B.W., menetapkan
bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah “berlaku sebagai undang-undang”
untuk mereka yang membuatnya. Dengan kalimat ini dimaksudkan tidak lain, bahwa
suatu perjanjian yang dibuat secara sah, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, mengikat
kedua belah pihak.
Dalam pasal 1338 itu
pula ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Maksudnya bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Dalam pasal 1338 itu
pula, ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Maksud kalimat ini, bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Pasal 1339
menetapkan, bahwa, suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang
dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang menurut
sifatnya perjanjian itu – dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan atau
undang-undang.
Selanjutnya pasal
1347 B.W. menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim
diperjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijk beding), meskipun pada suatu
waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum
dalam perjanjian. Oleh karena apa yang dinamakan “gebruikelijk beding” ini
menurut undang-undang harus dianggap sebagai dicantumkan dalam perjanjian,
akibatnya ia dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang tergolong hokum
pelengkap (aanvullend recht), sebagaimana halnya dengan kebanyakan
pasal-pasal dalam buku III B.W.
Ketentuan pasal 1317
yang membolehkan seseorang jika ia dalam suatu perjanjian telah minta
diperjanjikan suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu pada seorang lain,
untuk meminta pula diperjanjikannya sesuatu hak untuk seorang pihak ketiga.
Pasal 1316 mengatur
apa yang dinamakan “perjanjian garansi” dalam perjanjian seperti itu, si A
berjanji pada si B, bahwa seorang pihak ketiga Cakan melakukan suatu perbuatan.
Penuntutan yang
diajukan pada hakim oleh seorang yang menghutangkan berdasarkan pada pasal 1341
itu dinamakan “actiopauliana”. Di depan hakim harus dibuktikan, bahwa
perbuatan si berhutang itu sungguh-sungguh merugikan pada orang-orang yang
menghutangkannya.
F.
Perihal risiko,
wanprestasi dan keadaan memaksa
Kata risiko, berarti kewajiban untuk memikul
kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya
risiko ini dalam B.W.
Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu
perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian
itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih
penyerahannya.
Menurut pasal 1460, dalam hal suatu perjanjian
jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya,
perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli, meskipun ia belum
diserahkan dan masih berada di tangan si penjual.
Akan tetapi dalam hal perjanjian pertukaran
barang (ruiling), yang juga merupakan suatu perjanjian yang meletakkan
kewajiban timbal balik (wederkerig) kita melihat suatu peraturan mengenai
risiko yang berlainan, bahkan sebaliknya dari apa yang ditetapkan dalam hal
perjanjian jual beli. Pasal 1545 menetapkan, bahwa jika dalam suatu
perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, sebelum
dilakuakan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus di luar
kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran dianggap dengan sendirinya
hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta
kembalinya barang itu.
Berhubungan dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai
kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus
ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya berlaku dalam hal suatu barang yang sudah dibeli, tetapi
belum diserahkan hapus.
Hal-hal yang dapat dituntut dari
seorang debitur yang lalai ?
Pertama, ia dapat meminta
pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.
Kedua, ia dapat meminta
penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena
perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak
sebagaimanamestinya.
Ketiga, ia dapat menuntut
pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita
olehnya sebagain akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
Keempat, dalam hal suatu
perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak
memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya
perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.
Pasal 1266 B. W. yang menentukan bahwa tiap
perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa
kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian.
Penggantian kerugian, dapat
dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, scaden en interessen”
(pasal 1243 dsl).
Yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan
penggantian itu, tidak hanya yang berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah
dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si
berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan
(interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berpiutang tidak
lalai (winstderving).
G.
Perihal hapusnya
perikatan-perikatan
1)
Pembayaran
Yang dimaksudkan oleh
undang-undang dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan
tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Oleh pasal 1382 B.W., apa yang
disebut diatas, sudah disinggung adanya kemungkinan menggantikan hak-hak
seorang berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang berpiutang ini, dinamaka “subrogatie”,
yang diatur dalam pasal-pasal 1400 s/d 1403 B.W. Subrogatie, harus diperbedakan
dengan cessie (pemindahan suatu piutang), yang biasanya merupakan suatu akibat
penjualan piutang itu. Dalam hal subrogatie, hutang telah terbayar
lunas oleh seorang pihak ketiga. Hanya perikatan hutang-hutang masih hidup
terus karena pihak ketiga itu lalu menggantikan hak-hak si berpiutang terhadap
diri si berpiutang. Cessie, suatu perbuatan pemindahan suatu
piutang kepada seorang yang telah membeli piutang itu.
Subrogatie yang terjadi dengan
perjanjian, diatur dalam pasal 1401. Menurut pasal itu ada dua kemungkinan :
a.
Seorang pihak ketiga dating
kepada si berhutang dan menyatakan dia
hendak membayar hutang si berhutang. Pembayaran itu diterima baik oleh si
berpiutang.
b.
Si berhutang meminjam uang dari
seorang pihak ketiga untuk dipakai membayar hutangnya.
2)
Penawaran pembayaran tunai
diikuti oleh penyimpanan
Ini, Suatu cara pembayaran
untuk menolong si berhutang dalam hal si berhutang tidak suka menerima
pembayaran.barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si ebrhutang atau
ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jikalau ia tetap
menolaknya, maka barang itu disimpan di suatu tempat atas tanggungan si
berpiutang.
3)
Pembayaran hutang
Suatu pembuatan perjanjian
baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan
baru. Menurut pasal 1415, kehendak untuk mengadakan suatu pembaharuan
hutang itu, harus secara jelas dari perbuatan para pihak (dalam pasal ini
perkataan akte berarti perbuatan).
4)
Kompensasi atau perhitungan
hutang timbale balik
Jika seorang yang berhutang,
mempunyai suatu piutang pasa si berhutang, sehingga dua orang itu sama-sama
berhak utuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang
antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama.
Menurut pasal 1426 perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak
perlu para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu.
Pada umumnya undang-undang
tidak menghiraukan sebab-sebab yang menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam
pasal 1429, disebutkan tiga kekecualian piutang-piutang yang tidak boleh
diperhitungkan satu sama lain :
a.
Jika satu pihak menuntut
dikembalikannya barang miliknya dengan secara melawan hak telah diambil oleh
pihak lawannya.
b.
Jika satu pihak menuntut
dikembalikannya suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan pada pihak lawan
itu.
c.
Jikalau satu pihak menuntut
diberikannya suatu tunjangan nafkan yang telah menjadi hak.
Jika seorang penanggung hutang
(borg) ditagih, sedangkan orang yang ditanggung (si berhutang) mempunyai suatu
piutang pada si penagih, si penanggung hutang itu berhak untuk meminta diadakan
perhitungan antara kedua piutang itu. Ini sesuai dengan asas yang dianut oleh
undang-undang, bahwa perikatan penanggungan hutang itu hanya syuatu bentuk
belaka dari perikatan pokok, yaitu perjanjian pinjaman uang antara si
berhutang dengan si berpiutang.
5)
Percampuran hutang
Ini terjadi jika si berhutang kawin
dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang
menggantikan hak-hak si berpiutang karena menjadi warisan ataupun sebaliknya.
6)
Pembebasan hutang
Suatu perjanjian baru dimana
si berpiutang dengan suka rela membebaskan si berhutang daru segala
kewajibannya. Perikatan hutang piutang itu telah hapus karena pembebasan,
kalau pembebasan itu diterima baik oleh si berhutang, sebab ada juga
kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka dibebaskan dari hutangnya.
7)
Hapusnya barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian
Menurut pasal 1444, jika
suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu
larangan yang dikeluarkan oleh pemeruntah, tidak boleh diperdagangkan atau
hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja
hapus atau hilangnya barang itu sama sekali diluar kesalahan si berhutang dan
sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
8)
Pembatalan perjanjian
Perjanjian-perjanjian yang
dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak
sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan atau penipuan atau
pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa
keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum
dibuat.
Ada
pula kekuasaan yang oleh ordonansi woeker (stbl.1938-524) diberikan pada
hakim untuk membatalkan perjanjian. Jikalau ternyata antara kedua belah pihak
telah diletakkan kewajiban timbale balik yang satu sama lain jauhtidak seimbang
dan ternyata pula satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau
dalam keadaan terpaksa.
0 komentar :
Posting Komentar