Selasa, 25 November 2014

Resume Hukum Waris Dan Hukum Perjanjian

BAB I
HUKUM WARIS
A. Perihal Warisan
Terdapat dua cara untuk mendapatkan warisan menurut undang-undang, yaitu:
  1. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang, Cara ini dinamakan mewarisi "menurut undang-undang" atau "ab intestate"
  2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament), Cara ini dinamakan mewarisi secara "testamentair"
Asas yang berlaku dalam hukum waris yaitu:
  1. Hanyalah hak-hak dan kewajiban –kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja (yang dapat dinilai dengan uang) yang dapat diwariskan, akan tetapi masih ada pengecualian tentang hal tersebut, misalnya: Hak seorang Bapak menyangkal sahnya anaknya dan di pihak lain hak seorang anak menuntut supaya ia dinyataka sebagai anak yang sah dari Bapak Ibunya, menurut undang-undang beralih pada ahli waris dari masing-masing pihak yang mempunyai hak-hak itu
  2. Tercancum dalam pepatah Prancis, yaitu "Le mort saisit le vif" . Apabila seorang meninggal, maka seketika itu segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Pengoperan segala hak dan kewajiban dari yang meninggal oleh para ahli waris disebut "saisin"
Menurut pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak menuntut agar segala yang termasuk harta peninggalan yang meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai benda warisan dengan maksud memilikinya bukan pada seseorang yang hanya menjadi houder saja (yang menguasai benda berdasarkan hubungan hukum dengan yang meninggal) atau seorang executeur-testamentair atas harta peninggalan yang tidak terurus. Penuntutan hak tersebut cukup dengan menggunakan surat gugatan.
Dalam pasal 838 B.W. ditetapkan bahwa terdapat orang-orang yang karena perbuatannya tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Di antaranya:
  1. Seorang waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh yang meninggal
  2. Seorang waris yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dengan kekerasan menghalag-halangi yang meninggal membuat surat wasiat sesuai kehendaknya

Undang-undang juga menetapkan bahwa terdapat orang-orang yang karena pekerjaannya atau karena hubungannya dengan yang meninggal, tidak dapat memperoleh keuntungan dari surat wasiat. Di antaranya:
  1. Notaris yang membuat surat wasiat beserta saksi-saksinya
  2. Pendeta yang melayani atau dokter yang merawat yang meninggal selama sakit terahirnya.
  3. Perantara-perantara, termasuk anak-anak dan istri-istri orang yang tidak dapat memperoleh warisan (tussenbeide komende personen)
Dalam pasal 912 B.W ditetapkan bahwa alasan-alasan menurut pasal 838, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian dalam testament, akan tetapi dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh yang meninggal. Artinya jika yang meninggal memberikan warisan pada orang tersebut maka hal itu dianggap suatu "pengampunan".
Dalam hal ab intestate dapat dibedakan:
  1. Yang mewarisi "uit eigen hoodfe", yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap yang meninggal
  2. Yang mewarisi "bij plaatsvervulling", yaitu orang yang mendapatkan warisan tetapi orang tersebut telah meninggal lebih dulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Jika beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang , disebut mewarisi "bij staken" Karena mereka merupakan "staak" atau cabang.

B. Hak Mewarisi Menirut Undang-Undang
Undang-undang menetapkan siapa saja yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang. Karena itu, para anggota keluarga dibagi dalam berbagai golongan. Orang-orang dari golongan pertama adalah yang berhak mewarisi semua harta peninggalan sedangkan golongan kedua tidak berhak mendapatkannya selama masih ada golongan pertama begitu juga seterusnya.
Yang termasuk golongan pertama adalah keturunan dalam garis lurus ke bawah. Akan tetapi sejak tahun 1935 (Belanda tahun 1923) hak mewarisi oleh suami atau istri dari yang meninggal dimasukkan dalam undang-undang dengan dipersamakan dengan anak yang sah. Dan yang termasuk golongan kedua adalah orang tua dan para saudara dari yang meninggal. Jika tidak ada bagian pertama dan kedua, maka harta peninggalan dibagi menjadi dua, yang satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu.
Jika seorang anak lahir di luar perkawinan tetapi diakui (erkend natuurlijk) bagiannya tergantung dari beberapa annggota keluarga yang sah. Jika terdapat golongan pertama maka anak tersebut mendapat bagian sepertiga. Dan jika ia mewarisi bersama anggota kedua maka anak tersebut mendapat setengah. Kedua pembagian ini berlaku jika ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Undang-undang juga membuat pasal-pasal tentang "penggantian" (plaatsvervulling) terhadap anak yang lahir sehingga apabila ia meninggal lebih dahulu maka dapat digantikan anak-anaknya.
Terdapat tiga macam penggantian (representatie) menurut undang-undang yaitu:
1.      penggantian dalam garis lurus kebawah
2.      penggantian dalam garis samping (zijlinie)
3.      penggantian dalam garis samping dalam hal yang menjadi ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya dari pada saudara (misalnya:paman atau keponakan)
Catatan: bahwa seorang lelaki bagiannya sama dengan seorang perempuan. Dan diantara satu golongan selalu dibagi sama rata.

C. Menerima atau Menolak Warisan
Terdapat beberapa pilihan bagi para ahli waris dalam menerima warisan, yaitu:
  1. Menerima Warisan, yang dibagi menjadi dua antara lain:
4      Penerimaan secara penuh (zuivere aanvaarding) dapat dilakukan secarategas
       yaitu dengan suatu akta menerima kedudukannya sebagai ahli waris
4      Penerimaan secara diam-diam yaitu jika ia melakukan suatu perbuatan seperti: mejual warisan atau melunasi hutang-hutang yang meninggal.
  1. Menolak warisan yaitu dilakukan dengan pernyataan kepada panitera pengadilan setempat
  2. Memilih jalan tengah antara menerima dan menolak yang disebut juga menerima dengan "voorrech vanboedelbeschrijving" atau "beneficiaire aanvaarding" maka si waris harus menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Akibatnya yang terpenting adalah kewajiban si waris untuk melunasi hutang-hutang dibatasi menurut kekuatan warisan.
Kewajiban-kewajiban seorang ahli waris beneficiair  ialah:
4      Menyatakan kehendaknya menerima warisan secara beneficiair kepada Panitera Pengadilan Negeri atas harta peninggalan yang didapatinya
4      Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya
4      Secepatnya membereskan urusan warisan (de boedel toteffenheid brengen)
4      Memberikan tanggungan untuk harga benda bergerak dan tak bergerak yang tidak di serahkan kepada orang-orang yang berpiutang yang memegang hypotheek
4      Memberikan pertanggungjawaban para penagih hutang dan orang-orang yang menerima pemberian secara legaat
4      Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal , dalam surat kabar resmi
Jika suatu warisan tidak mencukupi pelunasan hutang-hutang yang meninggal, biasanya dimintakan pada hakim supaya warisan dinyatakan pailit (Failissementsverordening)
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan dan penolakan warisan antara lain:
  1. Orang yang meninggalkan warisan tidak boleh membatasi hak para ahli waris untuk memilih tiga kemungkinan tersebut
  2. Pemilihan tidak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka
  3. Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau syarat
  4. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan
  5. Seorang yang tidak cakap bertindak sendiri harus diwakilkan oleh orang yang berkuasa untuk itu
  6. Jika ahli waris yang belum menentukan sikapnya meninggal, maka hak memilih beralih pada para ahli warisnya

D. Perihal Wasiat atau Testament
Wasiat atau Testament yaitu Pernyataan dari seseorang tentang apa yang terjadi setelah ia meninggal. Pernyataan keluar dari satu pihak (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali. Dalam pasal 874 B.W. menerangkan tentang arti wasiat atau testament yang mengandung suatu syarat bahwa pernyataan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
            Biasanya isi testament dapat berupa:
  1. Erfstelling yaitu penunjukan seseorang menjadi ahli waris yang akan mendapatkan bagian dari warisan. Orangnya disebut "Testamentaire erfgnaam" (ahli waris menurut wasiat). Sebagaimana ahli waris ia dapat memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal "onder algemene title"
  2. Legaat yaitu Suatu pemberian kepada seseorang. Orangnya disebut "legataris" . Ia berhak menuntut penyerahan benda yang diberikan kepadanya. Ia bukan ahli waris dan hanya berhak menuntut penyerahan benda yang diberikan kepadanya.
Jika dalam suatu testament terdapat beberapa orang dengan tanpa disebutkan bagian masing-masing, kemudian ada yang meninggal, maka bagiannya akan jatuh pada para waris yang lainnya. Dalam hukum waris dinamakan "aanwas" (pasal 1002 dan 1003).
Dalam suatu efstelling atau legaat, sesuai degan ketentuannya dapat:
1.      Disertai dengan suatu beban (last). Contoh: Seseorang dijadikan waris dengan beban memberikan suatu pensiun pada Ibu dari yang meninggal
2.      Digantungkan pada suatu syarat atau voorwarde yaitu suatu kejadian dikemudian hari yang pada saat pembuatan testament itu belum tentu datang atau tidak. Misalnya seorang dijadikan waris dengan syarat dari perkawinannya akan dilahirkan anak laki-laki
3.      Digantungkan pada suatu ketetapan waktu

Macam-macam testament menurut bentuknya:
  1. Openbaar testament
Yaitu dibuat oleh seorang notaries atas mermintaan yang meninggal dengan menghadirkan dua orang saksi
  1. Olographis testament
Yaitu harus ditulis dengan yang akan meninggalkan warisan (eigenhandig), harus diserahkan sendiri kepada notaris (gedeponeerd) dengan dihadiri dua orang saksi
  1. Testamen tertutup atau rahasia
Yaitu dibuat sendiri oleh yang akan meninggalkan warisan tanpa harus menulis sendiri. Ini harus selalu tertutup atau disegel. Dalam penyerahan kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi
Syarat-syarat menjadi saksi antara lain: Dewasa, penduduk Indonesia, mengerti benar bahasa yang digunakan dalam testament
Selain tiga macam tersebut, undang-undang juga mengenal "codicil" yaitu akte dibawah tangan dimana orang yang akan meninggalkan warisan menetapkan hal-hal yang tidak termasuk dalam warisan. Misalkan pengangkatan seorang executeur-testamentair.
Sedangkan syarat membuat testament adalah: Sudah mencapai umur 18 tahun, atau sudah kawin, dan mempunyai pikiran sehat. Suatu testament dapat ditarik (herroepen) setiap waktu kecuali pemberian warisan yang diletakkan dalam perjanjian perkawinan karena sifatnya hanya satu kali.
Cara penarikan kembali suatu testament:
4      Secara tegas (uitdrukkelijk) yang terjadi dengan dibuatnya testament baru dan diterangkan secara tegas bahwa testament dahulu ditarik kembali
4      Secara diam-diam (stilzwijgend) yang terjadi dengan dibuat testament baru yang bertentangan dengan dengan testament lama.
Yang harus diletakkan dalam bentuk testament adalah segala perbuatan yang bersifat hanya keluar dari satu fihak saja, yang baru akan berlaku atau mendapat kekuatan bila yang membuat itu telah meninggal.

E. Fidei-commis
Kata Fidei-commis berasal dari "fides" artinya kepercayaan. Yaitu seolah-olah dipercayakan pada waris yang pertama ditunjuk. Arti istilahnya adalah pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan ia wajib menyimpan warisan itu, dan apabila si waris itu meninggal, warisan harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan dalam testament. Orang yang menerima warisan yang kedua disebut "verwachter". Dan oleh undang-undang, cara ini disebut "erfstelling over de hand" yaitu pemberian warisan secara melangkah.
            Fidei-commis yang diperbolehlan undang-undang yaitu:
1.       Untuk memenuhi keinginan seseorang yang hendak mencegah kekayaannya dihabiskan oleh anak-anaknya.
2.       Dinamai fidei-commis de residuo, hanya ditetapkan bahwa seorang waris harus mewariskan lagi di kemudian hari apa yang masih ketinggalan dari warisan yang di perolehnya

F. Legitieme portie
Yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Dengan kata lain mereka tidak dapat "onterfd". Seseorang yang berhak atas hal ini disebut "legitimaris". Ia dapat meminta pembatalan tiap testament yang melanggar haknya dan dapat menuntut supaya diadakan pengurangan (inkorting) terhadap segala macam pemberian warisan. Peraturan ini oleh undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testament menurut kehendaknya sendiri.
Dalam pasa 914 B.W. ditetapkan besarnya legitieme portie bagi anak-anak yang sah. Antara lain:
1.       Jika terdapat seorang anak yang sah maka akan mendapatkan separuh dari bagian yang sebenarnya.
2.       Jika terdapat dua orang anak yang sah maka masing-masing akan mendapatkan 2/3 dari bagian yang sebenarnya
3.       Jika terdapat tiga atau lebih anak yang sah, maka masing-masing akan mendaptkan 3/4 dari bagian yang sebenarnya.
Bagi para ahli waris dalam garis lurus ke atas, dalam pasal 915, dinyatakan jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya sebagai ahli waris. Sama halnya ketentuan anak yang lahir di luar perkawinan yang diakui (yaitu dalam pasal 916).
Sebagai dasar dari perhitungan yang telah disebutkan di atas adalah harga-harga pada waktu orang yang meninggalkan warisan itu meninggal.




G. Perihal pembagian warisan
Pembagian dari tiap kekayaan bersama yang belum terjadi, termuat dalam Buku II B.W. perihal boedelscheiding (pasal 1066) yang dapat diartikan sebagai perbuatan hukum yang bermaksud untuk mengakhiri suatu keadaan. Dalam suatu kekayaan bersama harus diadakan pembagian. Sedangkan kepada orang yang mempunyai piutang terhadap yang meninggal boleh menyita harta peninggalan selama kekayaan belum terbagi antara para ahliwaris yang nantinya akan membayar hutang dari yang meninggal jika harta peninggalan sudah terbagi.
Undang-undang menetapkan cara mengadakan boedelscheiding tergantung pada keadaan. Yang terpenting para ahli waris cakap bertindak sendiri dan berada ditempat. Akan tetapi jika terdapat ahli waris yang masih di dawah umur maka pembagiannya dilakukan dengan suatu akte notaries dihadapan weeskamer dengan dasar pembagian menggunakan harga taksiran.
Hal yang mempunyai hubungan erat dengan pembagian warisan adalah inbreng yaitu pengembalian benda-benda ke dalam boedel. Hal ini terjadi apabila semasa hidup dari yang meninggal telah memberikan benda-benda secara schenking kepada sementara waris. Untuk perhitungannya dapat dilakukan dengan mengembalikan benda tersebut atau dengan memperhitungkan harga menurut taksiran. Menurut undang-undang, Inbreng diharuskan untuk para ahli waris dalam garis lurus ke bawah, kemudian yang meninggalkan warisan berhak menetapkan bahwa ahli waris yang menerima pemberian sewaktu yang meninggal masih hidup, akan dibebaskan dari inbreng. Sebenarnya dasar pikiran dari inbreng ini adalah bahwa yang meninggal harus dianggap memegang keadilan terhadap anak-anak atau cucu-cucunya.
H. Executeur-testamentair dan bewindvoerder
Executeur testamentair yaitu seorang yang mempunyai tugas mengawasi orang-orang yang diberikan legaat (oleh yang meninggal) sungguh-sungguh menerima pemberian legatnya masing-masing. Orang tersebut dapat diberikan kuasa untuk menarik benda-benda warisan atas kekuasaanya tetapi tidak boleh lebih dari satu tahun. Dan menurut undang-undang, seorang perempuan yang bersuami, anak yang masih di bawah umur, dan seorang yang berada di bawah curatele tidak boleh dijadikan executeur testamentair.
           
Di antara kewajiban seorang executeur testamentair adalah:
4      Menyegel semua harta peninggalan jika terdapat ahli waris yang dibawah umur tanpa wali, orang-orang di bawah curatele tanpa curator, atau ahliwaris yang tidak dapat hadir sendiri
4      Membuat catatan tentang benda-benda warisan dengan dihadiri para ahli waris
Sementara larangan bagi seorang executeur testamentair adalah menjual barang-barang warisan dengan maksud untuk memudahkan pembagian warisan. Akan tetapi jika tidak terdapat uang tunai untuk memenuhi legaat maka diperbolehkan menjual barang-barang yang bergerak, sedangkan untuk penjualan benda tidak bergerak harus mendapatkan izin dari ahli waris atau hakim.
Sedangkan Bewindvoeder yaitu seorang yang ditugaskan untuk mengurus kekayaan yang meninggal atas wasiatnya ketika masih hidup, dan ahli waris atau legataris hanya dapat menerima penghasilan dari kekayaan tersebut. Di antara tujuan Bewind ini adalah untuk menjaga jangan sampai kekayaan dalam waktu yang singkat dihabiskan oleh ahli waris dan legataris tadi. Akan tetapi undang-undang melarang untuk melanggar larangan perihal fidei-commis.

I. Harta peninggalan yang tidak terurus
Harta peninggalan dianggap tidak terurus jika ada suatu warisan terbuka dan tidak seorangpun mengakuinya. Maka tanpa perintah hakim, akan ditangani oleh  Balai harta peninggalan (weeskamer)
Secara terperinci, kewajiban-kewajiban weeskamer antara lain:
4      Mengurus warisan yang tidak terurus kemudian melaporkan kepada kejaksaan
 Negeri setempat.
4      Membuat catatan tentang keadaan harta peninggalan tersebut
4      Menagih piutang-piutang dan membayar hutang-hutang yang meninggal
Dan masih terdapat kewajiban yang lainnya jika dikehendaki oleh yang berwajib. Apabila  setelah tiga tahun belum ada seorang waris yang mengaku ataupun melaporkan diri, maka weeskamer akan mengalihkan kepengurusan harta peninggalan tersebut kepada Negara dan akan menjadi milik Negara.


BAB II
HUKUM PERJANJIAN
A.     Perihal Perikatan dan Sumber-sumbernya
Perikatan dalam  buku III B.W itu, ialah : Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hak perbendaan), buku III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hokum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan “hukum perhutangan”, pihak yang menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menururt undang-undang dapat berupa :
1.      Menyerahkan suatu barang
2.      Melakukan suatu perbuatan
3.      Tidak melakukan suatu perbuatan
Mengenai sumber-sumber Perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hokum ia melakukan wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, ini dinamakan Parate executie.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan reele executie. Dalam B. W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
1.      Dalam hal-perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan melakukan suatu perbutan, misalnya tidak akan membuat suatu pagar tembok yang lebih tinggi dari 3 m, pihak yang lain dapat dikuasai oleh hakim untuk membongkar sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu (lihat pasal 1240).
2.      Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat dibaut oleh seorang lain, misalnya suatu garage(, pihak pihak yang berkepentingan dapat dikuasai oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya, atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241).
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan natuurlijke verbintenis secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan dengan perikatan semacam itu. Dalam pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan, bahwa terhadap “natuurlijke verbintenissen” yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah diperkenankan untuk meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayaran tersebut dianggap sah. Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan seperti yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Natuurlijke verbintenis ialah suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau boleh juga dikatakan, suatu perikatan hokum yang tidak sempurna. Suatu perikatan hokum yang sempurna selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya di depan hakim. Tidak sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis : suatu hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada.
Jika sudah ada kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke verbintenis itu adalah suatu perikatan hokum (hanya tidak sempurna), maka konsekwensinya, ia dapat dibikin sempurna. Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang (novatie) atau dengan mengadakan penanggungan hutang (borgtocht). Kecuali, jika undang-undang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790 B. W. yang melarang untuk membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini semuanya termasuk dalam golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat umum :
1.      Hutang-hutang yang terjadi karena perjudian oleh pasal 1788 tiak diizinkan untuk menuntut pembayaran.
2.      Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia tak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarnya itu melampaui bunga menurut undang-undang (6 prosen).
3.      Sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian (accoord).
B.     Sistem Buku III B. W
 Buku III itu menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut,  tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian “mengikat” kedua pihak. Tetapi dari peraturan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja oleh leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam buku III B. W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya hanya merupakan “hokum pelengkap” (aanvullend recht), bukan hokum keras atau hokum yang memaksa.
Sistem yang dianut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh Buku II perihal hokum perbendaan. Disitu orang tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Di situ dianut suatu sistem “tertutup”.
C.     Macam-macam Perikatan         
1.      Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Perikatan barsyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
2.      Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling).
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya. Misalnya meninggalnya seseorang.
3.      Perikatan yang membolehkan memilih
Ini adalah suatu perikatan, dimana dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
4.      Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair)
Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5.      Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
Pada asasnya – jika tidak diperjanjikan lain – antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian  untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.
6.      Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding)
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenalkan suatu hukuman, apabila ia tidak menempati kewajibannya.
Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.
D.    Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
Sebagaimana telah diterangkan, suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari persetujuan. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas :
1)      Yang lahir dari undang-undang saja,
2)      Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan orang ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan, atau yang melanggar hukuman (onrechtmating).
Suatu perikatan lagi yang lahir dari undang-undang karena perbuatan yang diperbolehkan ialah yang dinamakan  zaakwaarneming” (pasal 1354). Ini terjadi jika seorang dengan sukarela dan dengan tidak meminta mengurus kepentingan-kepentingan orang lain.
Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seseorang yang melanggar hokum, diatur dalam pasal 1365 B.W. pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hokum (“onrechtmatige daad”) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar kerugian itu.
Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang oleh hakim diartikan sebagai “onrechtmatig” : jika dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada seorang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu.
Selanjutnya menurut pasal 1367 B.W. seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya.
Lazimnya pasal ini diartikan terbatas (limitatief), yaitu seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam hubungan-hubungan dan hal-hal sebagai berikut :
a.       Orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya.
b.      Majikan untuk buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka.
c.       Guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah pengawasan mereka.
E.     Perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian
Untuk suat perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu :
a.       Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
c.       Suatu hal tertentu yang diperjanjikan.
d.      Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang (pasal 1320).
 Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog).
Paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takun terhadap ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasiannya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.
Kedua belah pihak harus cakap menurut hokum untuk bertindak sendiri. Sebagaimana telah diterangkan, beberpa golongan orang oleh undang-undang dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hokum. Mereka itu, seperti orang dibawah umumr, orang di bawah pengawasan (curatele) dan perempuan yang telah kawin (pasal 1130 B. W.)
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. 
Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (Causa) yang diperbolehkan. Secara letterlijk kata oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu, ialah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu.
Menurut pasal 1335, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu causa atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
Adapun suatu causa yang tidak diperbolehkan ialah yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Selanjutnya, causa sebagai syarat untuk suatu perjanjian yang sah harus diperbedakan lagi dari causa yang dimaksudkan oleh pasal 1336 B.W. dalam pasal ini perkataan causa berarti : kejadian yang menyebabkan terjadinya suatu hutang, misalnya jual beli barang atau pinjam meminjam uang antara kedua pihak.
Pasal 1338 B.W., menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah “berlaku sebagai undang-undang” untuk mereka yang membuatnya. Dengan kalimat ini dimaksudkan tidak lain, bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah, artinya  tidak bertentangan dengan undang-undang, mengikat kedua belah pihak.
Dalam pasal 1338 itu pula ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksudnya bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Dalam pasal 1338 itu pula, ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud kalimat ini, bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.
Pasal 1339 menetapkan, bahwa, suatu perjanjian tidak saja mengikat pada apa yang dicantumkan semata-mata dalam perjanjian, tetapi juga pada apa yang menurut sifatnya perjanjian itu – dikehendaki oleh keadilan, kebiasaan atau undang-undang.
Selanjutnya pasal 1347 B.W. menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijk beding), meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum dalam perjanjian. Oleh karena apa yang dinamakan “gebruikelijk beding” ini menurut undang-undang harus dianggap sebagai dicantumkan dalam perjanjian, akibatnya ia dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang tergolong hokum pelengkap (aanvullend recht), sebagaimana halnya dengan kebanyakan pasal-pasal dalam buku III B.W.
Ketentuan pasal 1317 yang membolehkan seseorang jika ia dalam suatu perjanjian telah minta diperjanjikan suatu hak, atau jika ia memberikan sesuatu pada seorang lain, untuk meminta pula diperjanjikannya sesuatu hak untuk seorang pihak ketiga.
Pasal 1316 mengatur apa yang dinamakan “perjanjian garansi” dalam perjanjian seperti itu, si A berjanji pada si B, bahwa seorang pihak ketiga Cakan melakukan suatu perbuatan.
Penuntutan yang diajukan pada hakim oleh seorang yang menghutangkan berdasarkan pada pasal 1341 itu dinamakan  “actiopauliana”.  Di depan hakim harus dibuktikan, bahwa perbuatan si berhutang itu sungguh-sungguh merugikan pada orang-orang yang menghutangkannya.


F.      Perihal risiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
Kata risiko, berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya risiko ini dalam B.W.
Pasal 1237 menetapkan, bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460, dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli, meskipun ia belum diserahkan dan masih berada di tangan si penjual.
Akan tetapi dalam hal perjanjian pertukaran barang (ruiling), yang juga merupakan suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik (wederkerig) kita melihat suatu peraturan mengenai risiko yang berlainan, bahkan sebaliknya dari apa yang ditetapkan dalam hal perjanjian jual beli. Pasal 1545 menetapkan, bahwa jika dalam suatu perjanjian pertukaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, sebelum dilakuakan penyerahan antara kedua belah pihak, barang itu hapus di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian pertukaran dianggap dengan sendirinya hapus dan pihak yang sudah menyerahkan barangnya berhak untuk meminta kembalinya barang itu.
Berhubungan dengan sifatnya, pasal 1460 sebagai kekecualian itu, menurut pendapat yang lazim dianut, pasal tersebut harus ditafsirkan secara sempit, sehingga ia hanya berlaku dalam  hal suatu barang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan hapus.
Hal-hal yang dapat dituntut dari seorang debitur yang lalai ?
Pertama, ia dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat.
Kedua, ia dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimanamestinya.
Ketiga, ia dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagain akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian.
Keempat, dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian.
Pasal 1266 B. W. yang menentukan bahwa tiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian.
Penggantian kerugian, dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, scaden en interessen” (pasal 1243 dsl).
Yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya yang berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berpiutang tidak lalai (winstderving).
G.    Perihal hapusnya perikatan-perikatan
1)      Pembayaran
Yang dimaksudkan oleh undang-undang dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Oleh pasal 1382 B.W., apa yang disebut diatas, sudah disinggung adanya kemungkinan menggantikan hak-hak seorang berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang berpiutang ini, dinamaka “subrogatie”, yang diatur dalam pasal-pasal 1400 s/d 1403 B.W. Subrogatie, harus diperbedakan dengan cessie (pemindahan suatu piutang), yang biasanya merupakan suatu akibat penjualan piutang itu. Dalam hal subrogatie, hutang telah terbayar lunas oleh seorang pihak ketiga. Hanya perikatan hutang-hutang masih hidup terus karena pihak ketiga itu lalu menggantikan hak-hak si berpiutang terhadap diri si berpiutang. Cessie, suatu perbuatan pemindahan suatu piutang kepada seorang yang telah membeli piutang itu.
Subrogatie yang terjadi dengan perjanjian, diatur dalam pasal 1401. Menurut pasal itu ada dua kemungkinan :
a.       Seorang pihak ketiga dating kepada  si berhutang dan menyatakan dia hendak membayar hutang si berhutang. Pembayaran itu diterima baik oleh si berpiutang.
b.       Si berhutang meminjam uang dari seorang pihak ketiga untuk dipakai membayar hutangnya.
2)      Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
Ini, Suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berhutang tidak suka menerima pembayaran.barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada si ebrhutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jikalau ia tetap menolaknya, maka barang itu disimpan di suatu tempat atas tanggungan si berpiutang. 
3)      Pembayaran hutang
Suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru. Menurut pasal 1415, kehendak untuk mengadakan suatu pembaharuan hutang itu, harus secara jelas dari perbuatan para pihak (dalam pasal ini perkataan akte berarti perbuatan).
4)      Kompensasi atau perhitungan hutang timbale balik
Jika seorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pasa si berhutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak utuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut pasal 1426 perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak perlu para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu.
Pada umumnya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam pasal 1429, disebutkan tiga kekecualian piutang-piutang yang tidak boleh diperhitungkan satu sama lain :
a.       Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan secara melawan hak telah diambil oleh pihak lawannya.
b.       Jika satu pihak menuntut dikembalikannya suatu barang yang dititipkan atau dipinjamkan pada pihak lawan itu.
c.       Jikalau satu pihak menuntut diberikannya suatu tunjangan nafkan yang telah menjadi hak.
Jika seorang penanggung hutang (borg) ditagih, sedangkan orang yang ditanggung (si berhutang) mempunyai suatu piutang pada si penagih, si penanggung hutang itu berhak untuk meminta diadakan perhitungan antara kedua piutang itu. Ini sesuai dengan asas yang dianut oleh undang-undang, bahwa perikatan penanggungan hutang itu hanya syuatu bentuk belaka dari perikatan pokok, yaitu perjanjian pinjaman uang antara si berhutang dengan si berpiutang.
5)      Percampuran hutang
Ini terjadi jika si berhutang kawin dalam percampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang menggantikan hak-hak si berpiutang karena menjadi warisan ataupun sebaliknya.
6)      Pembebasan hutang
Suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan suka rela membebaskan si berhutang daru segala kewajibannya. Perikatan hutang piutang itu telah hapus karena pembebasan, kalau pembebasan itu diterima baik oleh si berhutang, sebab ada juga kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka dibebaskan dari hutangnya.
7)      Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemeruntah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sekali diluar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
8)       Pembatalan perjanjian
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan atau penipuan atau pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat.
   Ada pula kekuasaan yang oleh ordonansi woeker (stbl.1938-524) diberikan pada hakim untuk membatalkan perjanjian. Jikalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban timbale balik yang satu sama lain jauhtidak seimbang dan ternyata pula satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan terpaksa.

0 komentar :

Posting Komentar