Senin, 01 Desember 2014

Pernikahan Terlarang



I.            Pendahuluan
Pernikahan dalam islam itu sudah jelas, hanya saja pernikahan yang dilarang islam dan di mana saja yang diperbolehkan adapun yang dimaksud dengan pernikahan yang dilarang yakni bentuk-bentuk perkawinan yang tidak boleh dilakukan. Jumhur fuqaha berpendapat, bahwa ada 4 macam Nikah fasid, nikah yang rusak atau tidak sah yakni Nikah Mut’ah yaitu kawin yang hanya untuk bersenang. kawin Shighor (tukar menukar anak perempuan atau saudara perempuan tanpa mahar),kawin Muhalil (Siasat penghalalan nenikahi matan istri yang di talaq bain atau talaq yang tidak bisa rujuk lagi) dan lain-lain. 
Bentuk perkawinan tersebut merupakan bawaan yang berasal dari zaman jahiliah yang mana pada zaman itu orang-orang bagaikan binatang yang tidak memiliki prinsip bahwa siapa yang kuat dialah yang berkuasa adapun pernikahan yang diperbolehkan atau yang dihalalkan yakni pernikahan yang sesuai dengan ketentuan syariat dengan tujuan yang baik demi menjalin hubungan suami istri demi menciptakan keluarga yang mawadah wa rahmah, dengan syarat-syarat yang telah di tentukan oleh agama islam atau syariat.
II.            Pembahasan
Ada beberapa macam nikah yang dilarang oleh syari’at. Diantaranya adalah :
  1. Nikah Mut'ah
Nikah Mut’ah adalah sebuah bentuk pernikahan yang dibatasi dengan perjanjian waktu dan upah tertentu tanpa memperhatikan perwalian dan saksi, untuk kemudian terjadi perceraian apabila telah habis masa kontraknya tanpa terikat hukum perceraian dan warisan. Nikah Mut’ah juga dinamakan Nikah Muaqqat artinya kawin untuk waktu tertentu atau nikah Munqothi artinya kawin terputus yaitu seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan untuk beberapa hari, seminggu atau sebulan, pada awal tegaknya agama Islam Nikah Mut’ah di perbolehkan oleh Rasullah SAW didalam beberapa hadits diantaranya 
Dari Qais, dia berkata “Saya pernah mendengar Abdullah bin Mas’ud RA berkata, kami pernah perang bersama Rasullah SAW tanpa membawa istri lalu kami berkata. Apakah sebaiknya kita mengebiri kemaluan kita? Lalu Rasullah SAW melarang kami berbuat demikian dan beliau memberikan keringan pada kami untuk menikahi perempuan sampai pada batas waktu tertentu dengan mas kawin pakaian” lalu Abdullah bin Mas’ud membaca ayat yang artinya: “Hai orang-orang beriman janganlah kamu mengharamkan apa yang lebih baik yang telah dihalalkan oleh Allah SWT bagimu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Q.S Maidah 5;87){Muslim 4/130} 

Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa Nikah Mut’ah tersebut tidak diperbolehkan lagi penghapusan hukum halalnya Nikah Mut’ah dan pengharamnya.
Dari Sabrah Al-Juhuni RA bahwa dia pernah bersama Rasullah SAW, lalu beliau bersabda: “Saudara-saudara! sesungguhnya aku dulu pernah memperbolehkan kalian untuk menikahi perempuan secara Mut’ah tapi Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat barang siapa masih mempunyai istri Mut’ah maka ceraikanlah dan jangan mengambil kembali mas kawin yang telah kamu berikan kepada istri Mut’ah itu {Muslim 4/132} 
وَعَن سَلَمَة الاَكوع رَضَّيَ اللهُ عَنهُ قَالَ: رَخَصَ رَسُولَ اللهُ صَلَى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ عَامَ أَوطَاس فِي المُتعَةِ ثَلاَثَةٍ أَيَّامٍ ثُمّ نَهَى عَنهَا. (رواه مسلم ) 
Artinya: Dari Salamah Al-aku’i RA berkata“Nabi telah pernah memberikan rukhsah pada waktu tahun Authas mengenai Nikah mut’ah tiga hari kemudian melarangnya” 
Menurut kesepakatan mazhab, mazhab dalam kalangan Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Nikah ini di katakan mut’ah artinya senang-senang. Karena akadnya hanya semata-mata untuk senang-senang saja, antara laki-laki dan perempuan dan untuk memuaskan nafsu belaka. Bukan untuk bergaul sebagai suami-istri untuk mendapatkan keturunan atau hidup sebagai suami-istri dengan membina rumah tangga sejahtera. Pada Kawin mut’ah bertentangan dengan hukum-hukum Al-Qur’an tetang perkawinan, tahlaq, iddah dan waris. Dalam nikah mut’ah tidak ada aturan tentang thalaq karena pernikahan itu akan berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan. 
  1. Nikah Muhallil 
Secara Etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang tadinya hukumnya adalah haram menjadi halal. Kalau di kaitkan dengan perkawinan akan berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal. Orang yang mendapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan perkawinan itu disebut Muhalil sedangkan orang yang telah halal melakukan perkawinan yang di lakukan Muhalil dinamakan Muhallah lah. 
Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, bahwa Rasullah SAW melaknat Muhallil yang(mengahalalkan) dan orang yang dihalalkan (H.R Ahmad, An-Nasa’i, dan Turmudzi mengesahkannya )
Nikah Muhalil secara terminologi ialah seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang sudah ditalak tiga setelah berakhir masa iddahnya, kemudian dia mentalaknya supaya menjadi halal kawin lagi dengan mantan suaminya yang pertama.
Imam Malik berpendapat bahwa Nikah Muhalil itu dapat dibatalkan sedangkan imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah Muhalil itu sah. Silang pendapt ini disebabkan oleh silang pendapat mereka tentang pengertian sabda Nabi SAW: “Allah mengutuk orang yang Nikah Muhalil” {H.R Ahmad dan Abu Daud}
Bagi fuqaha yang mengalami kutukan tersebut hanya dosa semata mengatakan bahwa nikah Muhalil itu sah. Sedangkan bagi Fuqaha yang mengalami kutukan tersebut adalah batalnya akad Nikah karena dipersamakan dengan larangan yang menunjukan batalnya perbuatan yang dilarang mengatakkan bahwa nikah muhalil itu tidak sah. dan dari Uqabah bin Amir ia berkata Rasullah SAW bersabda “Maukah kamu ku beritahu tentang pejahatan pinjaman ? Mereka menjawab: Mau ya Rasullah ! Rasullah bersabda “yaitu Muhallil semoga Allah melaknat Muhallil dan orang yang dihalalkannya” (H.R Ibnu Majah) 
  1. Nikah Shighar 
Definisi nikah ini sebagai mana disabdakan oleh Rasullah SAW “Nikah Shighor adalah sesorang yang berkata kepada orang lain, Nikahilah aku Dengan Putrimu, maka aku akan nikahi putriku dengan dirimu. Aku berkata, “ Nikahkanlah aku dengan Saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu” dalam hadist lain beliau bersabda : “Sesungguhnya Rasullah melarang perkawinan Shighor“ . Dari Umar RA Rasullah bersabda : “Bahwa Rasullah SAW melarang Nikah Shighor, shighor adalah seorang laki-laki menikahi putrinya dengan orang lain dengan laki-laki itu tanpa ,maskawin antara keduanya. ( Muslim 4/139)." "Dan dari Abu Hurairah RA ia berkata Rasullah SAW melarang Nikah Shighor, sedangkan Shighor yaitu seseorang laki-laki berkata; Kawinkanlah aku dengan anak perempuanmu dan aku akan mengawinkan engkau dengan anak perempuanku atau aku kawinkan engkau dengan saudara perempuanku. (H.R Ahmad dan Muslim)"
  1. Memadu Istri Dengan Bibi 
Hadits-hadits tentang larangan menghimpun seorang istri dengan bibi.  "Dari Abu Hurairah berkata; Nabi SAW melarang seorang perempuan dinikahi (secara poligami) bersama dengan bibinya dari pihak ayah atau dari pihak ibu.(H.R Jamah)". "Dan dalam riwayat lain (dikatakan): Nabi SAW melarang dimadu atau dihimpun antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah dan antara seorang perempuan dengan bibinya dari puahk ibunya. (H.R Jamaah kecuali Ibnu Majah dan At-Turmudzi)".
  1. Mahram karena Sesusuan
Menurut riwayat Abu Daud, An-Nisa’i dan Ibnu Majah dari Aisyah, keharaman karena sesusuan ini diterangkan pada hadits yang artinya “Diharamkan karena hubungan sesusuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab”. Diantaranya  adalah :
1.      Perempuan yang menyusui, karena dengan memberikan air susunya ia itu dianggap seperti ibunya sendiri.
2.      Ibu dari perempuan yang menyusui, karena dianggap sebagai neneknya.
3.      Ibu dari suami yang menyusukan karena juga karena dianggap sebagai neneknya.
4.      Saudara perempuan yang menyusui karena seperti bibi.
5.      Saudara perempuan dari suami yang wanita yang menyusui karena seperti bibinya pula.
6.      Anak dan cucu perempuan dari perempuan yang menyusui.
7.      Saudara perempuan baik dari perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.
Sebagai tambahan penjelasan sekitar susuan ini dapat dikemukakan beberapa hal :
a.       Yang dimaksud dengan susuan dengan susuan yang mengakibatkan keharamkan perkawinan ialah susuan yang diberikan pada anak yang memang masih memperoleh makanan dari air susu.
b.      Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab sebagaimana tersebut dalam hadits diatas, melihat dalil yang kuat ialah yang tidak dibatasi jumlahnya, asal seorang bayi telah menyusu dan kenyang pada seorang itu menyebabkan keharaman perkawinan. Demikian pendapat hanafi dan maliki. Menurut pendapat syafi’i, Ibnu Hamdan Imam Ahmad menurut sebagaian riwayat, membatasi sekurang-kurangnya 5 (lima) kali susuan dan mengenyangkan. Adapun pendapat Tsaur Abu Ubaid, Daud Ibnu Ali Az-Zhahirity dan Ibnu Muzakkir, sedikitnya tiga kali susuan yang menyenangkan
Larangan karena sesusuan sama seperti haram karena nasab, perempuan yang haram dinikahi karena nasab yaitu : ibu,anak perempuan, saudara perempuan, bibi, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, semuanya itu haram di nikahi berdasarkan furman Allah SWT :

حُرِّمَتۡ عَلَيۡڪُمۡ أُمَّهَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُمۡ وَعَمَّـٰتُكُمۡ وَخَـٰلَـٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَـٰتُڪُمُ ٱلَّـٰتِىٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٲتُڪُم مِّنَ ٱلرَّضَـٰعَةِ وَأُمَّهَـٰتُ نِسَآٮِٕكُمۡ وَرَبَـٰٓٮِٕبُڪُمُ ٱلَّـٰتِى فِى حُجُورِڪُم مِّن نِّسَآٮِٕكُمُ ٱلَّـٰتِى دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡڪُمۡ وَحَلَـٰٓٮِٕلُ أَبۡنَآٮِٕڪُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَـٰبِڪُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَ‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورً۬ا رَّحِيمً۬ا
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak dari saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-saudara perempuan sesusuanmu.” (Q.S An-Nisa ayat: 23)
c.       Kadar susuan yang di haramkan perkawinan.
Sesusuan yang menyebabkan haramnya seseorang perempuan dinikahi itu mutlak. Tidak dianggap menyusui bila tidak menyusui secra sempurna, yaitu apabila seorang bayi menghisap dan menelan air susu seorang ibu dan belum akan berhenti menyusu sebelum kenyang, karena bukan dihentikan, kalau menghisap hanya sekali dua kali tidak menyebabkan haram karena belum dianggap menyusu, karena tidak ada pengaruhnya dan belum mengenyangkan. Rasullah bersabda: ”Tidaklah mengharamkan satu atau dua kali hisapan” 
Sebagian pendapat bahwa menyusui baik sedikit ataupun banyak mengharamkan, mereka beralasan dengan makna umum dari ayat dan hadits
“Dan diharamkan kawin dengan ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan”(An-Nisa ayat:23) Dalam ayat diatas tidak diterangkan beberapa kali harus menghisap susunya sehingga di jadikan dasar untuk mengharamkan menikahi ibu susuan.
Dalam kompilasi Hukum Islam, larangan kawin seperti telah diuraikan di atas dijelaskan pula secara rinci dalam bab IV, sebagai berikut :
Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
1)      Karena pertalian nasab:
2)      dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
3)      Dengan seorang wanita keturunan ayah.
4)      Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
5)      Karena pertalian kerabat semenda :
6)      Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
7)      Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
8)      Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al-dukhul.
9)      Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
10)  Karena pertalian susuan
11)  Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
12)  Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
13)  Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.
14)  Dengan seorang wanita bibi sesusuan an nenek bibi sesusuan ke atas.
15)  Dengan anak yang disusui oleh istrinya danketurunannya
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu :
1)      Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
2)      Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
3)      Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 41
1)      Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya:
2)      Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya;
3)      Wanita dengan bibinya atau keturunannya;
4)      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’i, tetapi dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempuyai 4 (empat) orang istri, yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedangkan yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
1)      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditlak tiga kali.
2)      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an
3)      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istrinya tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

III.            Penutup
Pernikahan pada dasarnya merupakan”perjanjian social” antara seorang laki-laki dengan perempuan untuk hidup bersama, yang dilandasi dengan niat ibadah untuk membangun dan membina keluarga atau rumah tangga. Secara tidak langsung Dari uraian yang telah di sampaikan ini mengajarkan kita tentang bagaimana islam memiliki prinsip ajaran yang sangat sopan, harmonis dan sangat relevan untuk diterapkan bagi umat islam semua.

DAFTAR PUSTAKA
Imam Ash-Shan’ani, Subulus-Salam.
Al-Bani, Muhammad Nashiruddin.T.T, Mukhtasar Shahih Muslim. Jakarta: pustaka azzam.
Abdurrahman Doi, Karekteristik Hukum Islam dan Perkawinan Islam, Jakarta: Raya GrafindoPersada.
H.S.A Alhamdani, Risalah Nikah. Jakarta: P.T Amani.
Marhumah, Memaknai Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan studi kritis Hadist-Hadits tantang Perkawinan. Yogjakarta: PSW UIN Yogjakarta, 2009
__________________. Kompilasi Hukum Islam

0 komentar :

Posting Komentar